Bisul di
Bumi Cenderawasih
Hilmy Konstantinus Deo Amal, Alumnus Universitas Katolik
Parahyangan Bandung
SUMBER : SUARA KARYA, 11 April 2012
Papua sebuah wilayah di ujung paling timur Indonesia, oleh
sebagian orang dikenang sebagai pulau 'surga' yang memiliki kekayaan dan
keindahan alam yang begitu mempesona. Dan, oleh sebagian orang pula, dikenang
sebagai wilayah yang rawan, daerah gembong separatis. Meningkatnya eskalasi
tindak kekerasan di bumi Cenderawasih tersebut, menjadikan wilayah ini
lagi-lagi menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh berbagai pihak.
Terakhir, pesawat komersial Trigana Air ditembaki oleh orang tak
dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Akibatnya, satu orang tewas dan 4
lainnya mengalami luka-luka. Jajaran kepolisian pun kini telah menyebarkan
pasukan di sejumlah titik di Puncak Jaya, terutama di daerah selatan PT
Freeport Indonesia untuk menangkap kelompok bersenjata yang menembaki pesawat
Twin Otter tersebut. (SK, 9/4'12).
Sejenak kita semua termenung dan berpikir, apa yang salah dengan
kebijakan pemerintah terhadap Papua? Apakah otonomi khusus yang diberikan
pemerintah sejak 2001 masih belum mampu meredam hasrat teman-teman dari Papua
untuk merdeka? Kita seakan terjebak dalam lingkaran setan saling
tuding-menuding. Pemerintah selama ini merasa sudah cukup banyak
menggelontorkan dana untuk pembangunan di Papua, namun di sisi lain,
orang-orang Papua di level akar rumput, merasa tidak mendapatkan manfaat dari
kebijakan pemerintah.
Papua sebagai bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) memiliki sejarah panjang. Penuh perjuangan mungkin
itulah kira-kira pandangan para veteran dalam operasi pembebasan Irian Barat
atau yang dikenal dengan operasi Trikora pada tahun 1961, yang saat itu
dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Papua akhirnya menjadi bagian dari
wilayah Republik Indonesia setelah diadakannya referendum yang dikenal dengan Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969. Sejak Papua kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi, selama itu pula rakyat Papua terus hidup dalam berbagai dimensi
konflik.
Papua hingga hari ini di mata sebagian rakyat Indonesia kerap
dipandang sebagai wilayah yang sarat akan konflik, baik vertikal maupun
horizontal. Paling tidak, hingga hari ini ada 3 wilayah di Indonesia yang masih
sangat rentan terhadap isu separatisme, yaitu Aceh (GAM), Maluku (RMS), dan
Papua (OPM). Namun dalam beberapa tahun belakangan ini bisa dikatakan Papua-lah
yang sering kali bergejolak.
Dalam berbagai literatur studi konflik, ada begitu banyak variable
yang dapat dipergunakan dalam menjelaskan dan memetakan konflik di bumi Papua.
Salah satu teori besar (grand theory)
dalam studi konflik adalah teori Protracted
Social Conflict yang dikemukan oleh Edward Azar.
Ada beberapa penyebab konflik mendasar menurut Azar. Pertama, communal content (masyarakat). Dalam konteks Papua di
mana terjadi sentimen antara warga asli Papua dengan para pendatang (non Papua)
yang pada gilirannya kerap kali menyebabkan pertikaian di tingkat akar rumput
antara penduduk lokal dengan warga pendatang. Hal ini masih diperparah lagi
dengan kian banyaknya aparatur birokrasi di tanah Papua yang berasal dari luar
Papua sehingga menyulut api kecemburuan sosial di antara warga masyarakat
Papua.
Kedua, basic needs (kebutuhan dasar). Kebutuhan dalam hal ini
tidak sebatas pada pemenuhan kebutuhan ekonomi semata tapi jauh dari itu
ketertinggalan dan keterbelakangan yang terjadi di Papua saat ini adalah karena
masih rendahnya tingkat pendidikan yang dienyam oleh masyarakat Papua. Untuk
memperoleh sebuah kemajuan tentunya perlu suatu usaha luar biasa untuk
mendongkrak tingkat dan mutu pendidikan secara merata khususnya terhadap masyarakat
asli Papua.
Ketiga, governance
(pemerintah). Meningkatnya tindak kekerasan di Papua, sekali lagi menunjukkan
betapa represifnya pemerintah kita dalam menangai isu separatisme di bumi
Papua. Sudah menjadi rahasia umum bagi rakyat Papua manakala menyaksikan para
pemuka adat di Papua yang dicurigai dan sinyalir terlibat OPM, langsung
diberangus dengan cara-cara represif.
Dalam menghadapi 3 permasalahan utama di atas, pemerintah Republik
Indonesia coba mengambil langkah instan dengan memberikan Otonomi Khusus
melalui Peraturan Pemerintan No 21 Tahun 2001. Hal ini jelas ditujukan hanya
untuk meredam gejolak sementara di tanah Papua. Setiap wilayah khususnya Papua
sangat butuh pembangunan namun penggelontoran dana dari pemerintah pusat, yang
tanpa mekanisme kontrol dan pengawasan ketat, justru akan menjadi lahan subur
bagi para koruptor di tingkat daerah dan juga tidak akan membawa perubahan
substansial pada situasi di sana.
Akumulakasi dari pengabaian pemerintah terhadap masalah-masalah
fundamental di Papua pada gilirannya akan menjadi bisul dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bisul ini sewaktu-waktu bisa pecah dan dapat
menyebabkan rasa sakit dan perih bagi segenap rakyat Indonesia
Sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2011 menemukan
dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana Otonomi Khusus Provinsi Papua periode
2008-2010. Dana sebesar Rp 1,85 triliun yang seharusnya digunakan untuk program
pendidikan dan kesehatan ternyata justru didepositokan di bank. Kasus ini
semakin menunjukan lemahnya kemampuan aparatur di tingkat daerah dalam
mengelola dana otsus.
Menanggapi situasi yang kian memanas, belum lama ini sempat muncul
pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa bahwa pemerintah punya
banyak 'rencana-rencana besar' untuk
pembangunan Papua ke depan. Semoga pernyataan Hatta bukanlah sekedar 'angin surga' yang dihembuskan oleh
pemerintah, melainkan merupakan rencana aksi nyata yang sesegera mungkin akan
dilaksanakan. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar