Selasa, 10 April 2012

Subsidi BBM dan Restorasi Pembangunan Indonesia


Subsidi BBM dan Restorasi Pembangunan Indonesia
Teddy Lesmana, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 10 April 2012

Bandingkan dengan "Meluruskan Visi Energi" di Republika 07 April 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/meluruskan-visi-energi.html




TIAP tahun selalu ada APBN baru yang diumum kan pemerintah. Salah satu unsur APBN yang mendapat perhatian masyarakat adalah subsidi BBM yang disediakan dalam APBN. Oleh karena itu, penting sekali bahwa masyarakat memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai kedua masalah ini dan hubungannya satu sama lain, (Widjojo Nitisastro, 6 Januari 1982).“

Akhir bulan lalu, setelah melalui perdebatan yang amat sengit di DPR dan aksi demonstrasi mahasiswa, akhirnya disepakati harga BBM tidak naik per 1 April. Namun, syaratnya sebagaimana tercantum pada penambahan ayat dalam Pasal 7 ayat 6(a) menyebutkan bahwa dalam hal harga ratarata ICP pada kurun waktu kurang dari enam bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15%. Pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya.

Terkait dengan APBN dan subsidi BBM, ungkapan mendiang salah satu begawan ekonomi Indonesia tiga deka de lalu di awal tulisan ini terasa masih relevan hingga kini. Polemik mengenai penaikan harga BBM dan beban subsidi BBM ini sudah berlangsung puluhan tahun. Itu kian berkembang menjadi permasalahan yang tidak semata-mata berada di dalam ranah ekonomi.

Akan tetapi, kini menjadi persoalan politik yang kian kompleks. Pencampuradukan antara persoalan ekonomi dan politik ini bahkan kian mengaburkan esensi persoalan ketika Indonesia sudah seharusnya menyadari bahwa negara dan bangsa ini perlu mempersiapkan diri agar tidak mengalami krisis energi dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

Di sisi lain, memang harus diakui, persoalan masih belum efektifnya birokrasi dan penggunaan anggaran seharusnya lebih banyak diarahkan untuk memperkuat kapasitas bangsa dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, persoalan harga dan subsidi BBM yang selalu berulang ini merupakan cerminan dari ketiadaan visi jangka panjang dan buruknya pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam yang kita miliki.

Pengelolaan SDA dan Hartwick Rule

Persoalan subsidi BBM dan B BBM sebenarnya harus ditempatkan dalam frame yang tidak semata-mata dipersempit hanya merupakan persoalan penghematan anggaran. BBM seharusnya dihemat karena merupakan barang tak terbarukan (non-renewable). Apalagi, harga energi itu memang tidak murah jika kita menghitung pula biaya ekonomi dan lingkungan termasuk dimensi etika dalam intergenerational equity.

Menarik pula menyimak pernyataan Benjamin K Sovacool (2011) yang menyebutkan bahwa demonstrasi menanggapi penaikan harga bahan bakar menunjukkan minimnya pemahaman terhadap tata kelola dan literasi mengenai energi. Tata kelola di sini merujuk kepada pembuatan kebijakan terhadap energi yang transparan, stabil, dan partisipatif. Sementara literasi mengacu kepada pendidikan dan pemahaman masyarakat mengenai energi.

Ada suatu kecenderungan umum bahwa negara kaya sumber daya alam justru mengalami apa yang disebut sebagai paradox of plenty. Negara-negara kaya akan sumber daya alam seharusnya menikmati berkah yang dimiliki tersebut dan memiliki pertumbuhan serta akumulasi PDB yang harusnya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara yang miskin potensi sumber daya alam. Dalam konteks tersebut, Indonesia juga masuk kategori negara yang tergolong paradoks itu.

Bagaimana harus menyikapinya? Ada suatu kaidah yang amat dikenal dalam ranah ekonomi sumber daya, yakni Hart wick Rule. Kaidah ini menyebutkan, untuk mempertahankan level konsumsi, harus diimbangi dengan tingkat investasi yang sama dengan nilai pendapatan dari ekstraksi sumber daya alam tersebut pada etiap titik waktu.

Ada studi menarik yang dilakukan Bank Dunia (2006) yang dituangkan dalam dituangkan dalam salah satu bab buku Where is the Wealth Nations, yang melakukan simulasi counterfactual terhadap beberapa negara kaya sumber daya alam. Studi tersebut mencoba menjelaskan apa yang terjadi jika negara-negara kaya akan sumber daya alam tersebut menginvestasikan hasil pendapatan dari eksploitasi SDA mereka sebagai investasi produktif ke dalam berbagai aset yang dapat menghasilkan pendapatan abadi, termasuk kepada investasi penguatan modal insani (human capital) pada 1970 dan bagaimana posisi mereka pada 2000.

Studi yang menggunakan analisis data runtut waktu (time series) tersebut menyimpulkan negara-negara yang bijak menginvestasikan hasil SDA mereka ke dalam berbagai aset produktif akan mampu menghindari resource curse dan mampu menjamin kesejahteraan di masa depan. Demikian pula dengan negara miskin SDA yang menyadari pentingnya akumulasi tabungan netto dan tidak boros dalam penggunaan SDA seperti dilakukan Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara tersebut memiliki kesadaran yang tinggi terhadap konservasi dan pengembangan energi alternatif yang akhirnya mampu bertahan. Mereka bahkan mengungguli negara­negara yang memiliki kekayaan alam melimpah.

Komitmen Pemerintah

Dalam situasi seperti sekarang ini, ketika penaikan harga BBM selalu berimbas pada masalah politik dan ekonomi, pemerintah seyogianya bisa mengambil pelajaran berharga. Telah lama bangsa ini terlenakan oleh ungkapan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya.

Betul memang bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan SDA, tetapi tidak semua SDA yang dimiliki Indonesia dalam kondisi berlimpah. Sebagaimana halnya minyak, dengan tingkat konsumsi yang kini mencapai sekitar 450 juta barel per tahun dan diperkirakan masih akan terus meningkat. Cadangan minyak Indonesia sekitar 3,7 miliar barel diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 8-12 tahun ke depan. Pada saat itu, sangat mungkin kebutuhan energi khususnya BBM akan sepenuhnya diimpor dari luar negeri.

Pemerintah seharusnya menjadikan persoalan energi dan BBM ini bukan hanya persoalan pencitraan politik, melainkan harus diletakkan dalam suatu kerangka berpikir yang fundamental dan visioner. Sudah saatnya Indonesia merestorasi pola pemanfaatan energi ini untuk benar-benar diarahkan bagi penciptaan akumulasi aset yang mampu menghasil kan pendapatan yang berkesinambungan untuk kesejahteraan rakyat secara inklusif--sebagaimana termaktub dalam kaidah yang disebutkan Hartwick tadi.

Pemerintah juga harus memberikan penjelasan dengan terang kepada rakyat seperti yang dikatakan Profesor Widjojo Nitisastro lebih dari tiga dekade yang lalu. Jangan sampai negara dan bangsa ini mengalami seperti kata pepatah, `Sudah jatuh, tertimpa tangga pula', jika pemanfaatan SDA tidak benar­-benar diarahkan untuk penguatan kapasitas bangsa ini untuk dapat tetap berdiri tegak di dekade-­dekade bahkan hingga abad­-abad yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar