Memberantas
Korupsi
Nelson Alwi, Budayawan dan kolumnis, tinggal di
Padang
SUMBER : REPUBLIKA, 10 April 2012
Di
negeri ini tak sedikit pemegang kekuasaan menjadi koruptor. Pelbagai media
massa tiada henti melansir beragam kasus keterlibatan mereka. Sementara, banyak
pihak menilai bahwa selama ini penanganan tindak pidana korupsi para koruptor
masih tebang pilih, tidak atau belum efektif sama sekali.
Terkait
itu, sebagaimana diberitakan sejumlah media pada Jumat (30/3), tiga pucuk
pimpinan lembaga penegak hukum, yakni Jaksa Agung Basrief Arief, Kapolri
Jenderal Timur Pradopo, dan Ketua KPK Abraham Samad, Kamis (29/3), bertempat di
Sasana Pradana Kejakgung, Jakarta, telah menandatangani nota kesepahaman
pemberantasan korupsi.
Kesepakatan
untuk bekerja sama memetakan titik rawan korupsi sekaligus mengantisipasi dan
atau memberantasnya merupakan kiprah yang patut diapresiasi. Agar tetap solid
dan ajeg, tidak mengambang sebagai sebuah pernyataan tertulis belaka, perlu
senantiasa disemangati, diawasi, serta diingatkan. Apalagi, kapan dan di
manapun masyarakat, sudah teramat sering dihadapkan pada ketidakproduktifan
sepak terjang para pejabat negara.
Masa lalu Jan de Marre, penyair Belanda, pada dekade-dekade pertengahan abad
ke-18 gigih menyerukan pemberantasan korupsi yang mengharu biru maskapai
perdagangan Belanda VOC (CR Boxer: 1979).
“Demi
masa depan anak cucu, kita mesti bahu-membahu memerangi korupsi. Kita berjuang
habis-habisan sesuai posisi serta kemampuan kita masing-masing,“ kata Marre.
Dan, seperti diketahui, melalui catatan sejarah, imbauan atau anjuran Marre
tidak pernah dilaksanakan dengan kesatupaduan yang konkret.
Pada
penghujung abad XVIII, tepatnya 1799, VOC dinyatakan bangkrut dan bubar.
Masalahnya, para pejabat tinggi Kerajaan Belanda, semisal JC van Leur dan W
Coolhaas, tampil meyakinkan bahwa bukanlah korupsi yang menjadi faktor penyebab
mundurnya VOC. Mereka, dua oknum yang suka menangguk di air keruh itu, menunjuk
EIC (Serikat Dagang Inggris yang berniaga ke Hindia Timur) yang tetap sumringah
di tengah kompleksitas korupsi serta penyalahgunaan wewenang di kalangan
sebagian besar abdinya.
Nyatanya
memang tak beda dengan kemajuan serta pusparagam pembangunan fisik yang juga
digembargemborkan para pentolan rezim Orde Baru. Citranya kurang lebih seumpama
sebuah kusen lapuk yang dalam setiap kesempatan selalu diolesi cat minyak
bewarna-warni. Seperti halnya EIC, Orde Baru yang menoleransi menjamurnya
korupsi akhirnya pun harus gulung tikar.
Sulit
memungkiri bahwa salah satu pendorong maraknya tuntutan reformasi pada 1990-an
yang pada 21 Mei 1998 ber hasil melengserkan Presiden Soeharto karena semakin
melemahnya fundamental perekonomian negara. Kondisi ekonomi terus-menerus
digerogoti pengua sa dan pengusaha yang semata-mata ingin memperkaya atau menyenangkan
diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.
Dan,
sekadar pembanding, kita juga bisa membuka lembaran riwayat pudarnya pamor
kerajaan Mataram. Setali tiga uang dengan kronologis atau pemicu meledaknya
Revolusi Prancis maupun kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina (Ong
Hok Ham: 2000).
Merajalelanya
praktik patronase, suap, gratifikasi, korupsi, dan main pengaruh di kalangan
para politikus dan pejabat berimbas ke segenap sektor kehidupan. Dan,
melorotnya daya tahan masyarakat menghadapi pelbagai kesulitan serta
ketidakpastian yang akhirnya berujung pada perlawanan atau pemberontakan.
Ironisnya,
pada era keterbukaan sekarang, korupsi tetap merebak di lingkaran pemegang
kekuasaan atau penyelenggara negara. Tak heran, pengamat asing menyinyalir,
korupsi sudah menjadi semacam way of life
di Indonesia. Bahkan, Transparency
International menobatkan negeri ini sebagai salah satu negara terkorup di
jagat raya.
Masalahnya,
selama ini korupsi belum dianggap sebagai musuh bersama, kata mantan ketua KPK
Taufiqurrahman Ruki. Keberadaan serta kinerja lembaga penegak hukum bahkan
sering diintervensi atau diobok-obok. Mereka yang berteriak tangkap koruptor
justru terindikasi mendiskreditkan dan atau melemahkan daya upaya KPK tatkala
kalangannya sendiri yang dijadikan tersangka.
Kemitraan
Uraian
di atas mengisyaratkan bahwa kebatilan, kezaliman, apalagi korupsi yang
konvergen menuju goyahnya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara akan
lebih bertenaga lagi mengena bila dihadapi secara bersama. Karena itu, tak
berlebihan kalau kita berpengharapan besar serta menyambut baik nota
kesepahaman pemberantasan korupsi yang sudah ditandatangani jaksa agung,
kapolri, dan ketua KPK.
Namun,
perlu digarisbawahi, terlaksananya kerja sama antaraparatur pemerintah yang
punya tugas pokok serta kewenangan masing-masing pada hakikatnya bergantung
pada keterbukaan atau kemampuan mengomunikasikan kaidah-kaidah moralitas yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, konsepsi kemitraan yang didasari
cita-cita dan rasa kebersamaan niscaya akan lebih efektif menyelesaikan setiap
persoalan.
Pemikiran
demikian seyogianya diformulasikan sekaligus diimplementasikan dalam usaha
memberantas korupsi dan atau mencegah kian berkembang biaknya praktik-praktik
koruptif di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar