Sistem
Pembayaran dan Budaya Belanja
Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking
Crisis
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 10 April 2012
“Sistem pembayaran haru mampu membuka akses keuangan
seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, baik yang di perkotaan maupun di
perdesaan. Dengan demikian, mobilisasi dari modal dapat dilakukan secara aman
dan efisien."
WALLMART
baru saja terinspirasi oleh Michelle Obama dengan memperkenalkan logo makanan
yang sehat dalam rangka rencana membuat perilaku baru pada konsumsi masyarakat
Amerika Serikat. Masyarakat dunia disuguhi ketangguhan Ibu Negara Amerika
Serikat dalam melakukan pushup yang menakjubkan itu. Masyarakat mulai menyadari
akan pentingnya hidup sehat, sebuah perubahan pandangan yang akhirnya mengubah
perilaku masyarakat. Masyarakat Amerika Serikat sangat bergantung pada
pertumbuhan konsumsi masyarakat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi mereka.
Secara
absolut pertumbuhan ekonomi memang sangat bergantung pada pertumbuhan konsumsi
di negara adidaya tersebut, tetapi kualitas konsumsi masyarakat selama ini
justru terabaikan. Masyarakat Amerika Serikat masih terjebak oleh obesitas yang
pada gilirannya meningkatkan risiko penyakit. Karena itu, sangatlah penting
memiliki sistem pembayaran yang tangguh agar perekonomian sebuah negara mampu
mencapai tahap pembangunan ekonomi yang tinggi sehingga sokongan sektor
konsumsi merupakan pangsa terbesar dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Tanpa
dukungan sistem pembayaran, pertumbuhan konsumsi sangat berpotensi memiliki kinerja
yang buruk dan tidak berkelanjutan. Sistem pembayaran skala besar dan skala
kecil, termasuk retail, sangat penting bagi pertumbuhan konsumsi masyarakat
selain juga tingkat pendapatan.
Thorstein
Veblen, misalnya, membaca budaya konsumsi merupakan bagian penting dari
globalisasi yang menciptakan kelas menengah baru yang sangat besar. Kelas
menengah menuntut kesiapan sistem pembayaran bukan hanya sebagai sarana untuk
meningkatkan konsumsi mereka, melainkan juga sarana menciptakan kesejahteraan
mereka. Selama ini peran penting sistem pembayaran justru dapat dianggap sudah
diabaikan dalam menjelaskan meningkatnya paham budaya belanja di masyarakat.
Yang
mungkin lebih menonjol ialah semangat meningkatkan proteksi konsumen dalam
konteks kepentingan masyarakat pembeli. Sebaliknya, di China saat ini kekuatan
terpenting mereka ialah kekuatan ekonomi politik yang membawa kepentingan
surplus produsen. Dengan skema kekuatan produsen, sistem ekonomi akan lebih
didesain untuk menciptakan sistem pembayaran yang pro bagi aktivitas produsen.
Produsen akan berupaya meningkatkan surplus produksinya sehingga diperlukan
biaya modal yang semurah-murahnya. Sistem pembayaran harus dapat berjalan
seiring dengan sistem moneter yang menciptakan biaya modal murah. Sebaliknya,
sistem pembayaran berbasis surplus konsumen justru lebih berorientasi kepada
penetapan biaya modal yang fleksibel.
Sistem
pembayaran dituntut untuk menciptakan biaya transaksi yang semurah-mu rahnya
dengan skala ekonomi. Sebaliknya, sistem ekonomi berbasis surplus produsen
lebih berkepentingan kepada pembia yaan usaha. Mereka juga lebih berkepentingan
dengan sistem pembayaran yang memiliki koneksi dengan sistem ekspor dan impor.
Jerman, misalnya, tidak tertarik untuk menjadikan mata uang mereka sebagai mata
uang devisa dunia. Namun karena desakan investor dunia, mereka menjadikan mata
uang Jerman sebagai alternatif cadangan devisa dunia. Dengan demikian, sistem
pembayaran Jerman pada mulanya memang hanya didesain untuk menciptakan sistem
pembayaran yang pro bagi aktivitas ekonomi di dalam negeri.
Jerman
zaman dahulu berbeda dengan Jerman saat ini. Pada era depresi besar 1929,
justru hanya Prancis yang merupakan negara dengan surplus neraca perdagangan. Negara
seperti Jerman terperangkap dengan era yang disebut oleh Christine Frederick
(1929) sebagai cara untuk mematahkan kebuntuan dari rendahnya standar kehidupan
masyarakat melalui kebebasan untuk berbelanja. Toh, Jerman tetap tenggelam oleh
resesi pada saat itu. Saat ini Jerman berbeda. Produktivitas Jerman merupakan
yang tertinggi di Uni Eropa. Hal itu dapat terjadi karena Jerman mampu menjaga
tingkat infl asi secara terkontrol melalui kebijakan bank sentral Uni Eropa
(ECB).
Sistem
pembayaran Jerman mampu menciptakan biaya transaksi yang sangat murah bagi
sistem ekonomi Jerman, yang secara bersamaan memiliki tingkat konsumsi yang
tinggi tetapi juga produktivitas mesin ekonomi yang tinggi. Dengan demikian,
sistem pembayaran tidak bisa sematamata bagi kepentingan surplus produsen,
tetapi juga surplus konsumen. Resultan dari tarik-menarik antara kedua kekuatan
ini dapat dilihat dari rendahnya unit labour
cost di Jerman. Artinya, surplus konsumen dan surplus produsen tidak
mematikan antara yang satu dan lainnya seperti yang dapat dilihat dalam buku
teks pelajaran ekonomi. Hal itu dapat terjadi dengan desain sistem pembayaran
yang optimum antara kepentingan keduanya.
Optimalitas
itu bergantung pada desain seperti juga yang menjadi dasar dari pengembangan
produk di Apple semasa Steve Jobs masih hidup. Idealnya sistem pembayaran
Indonesia memiliki desain antara sistem pembayaran Jerman dan Amerika Serikat,
yakni budaya belanja tidak menegasikan budaya produksi. Selain itu, sistem
pembayaran juga harus pro terhadap kebijakan industri. Dengan demikian,
financial inclusion pasar domestik harus ditingkatkan. Sistem pembayaran harus
bergerak kepada sistem yang mendukung branchless banking. Sistem pembayaran
harus mampu membuka akses keuangan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia,
baik yang di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian, mobilisasi dari
modal dapat dilakukan secara aman dan efisien.
Untuk
itu, infrastruktur pembayaran juga harus memiliki sistem cadangan yang memadai
dengan kapasitas transaksi yang juga harus lebih besar daripada yang selama ini
telah diprediksikan. Jika budaya konsumsi terus meningkat dengan pesat, sistem
manajemen risiko dalam sistem pembayaran juga dituntut untuk berjalan dengan
baik.
Selama
ini infrastruktur pembayaran justru dianggap given, padahal kapasitas transaksi
ekonomi sangat bergantung padanya. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk
memodernisasi sistem pembayaran sesuai dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi
berbasis konsumsi.
Dengan
belajar dari Ibu Negara Amerika Serikat yang mampu push-up secara sempurna, sistem pembayaran di Indonesia juga harus
dimanfaatkan untuk membentuk perilaku masyarakat yang juga sehat konsumsinya.
Sistem pembayaran tidak akan mampu menciptakan perilaku konsumsi masyarakat
yang sehat, tetapi diperlukan kebijakan lainnya untuk mendukung perilaku yang sehat
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Tinbergen, peraih Nobel Ekonomi dari
Belanda, bahwa untuk mencapai dua tujuan diperlukan minimal..(?).. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar