Selasa, 10 April 2012

Sistem Pembayaran dan Budaya Belanja


Sistem Pembayaran dan Budaya Belanja
Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 10 April 2012




Sistem pembayaran haru mampu membuka akses keuangan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, baik yang di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian, mobilisasi dari modal dapat dilakukan secara aman dan efisien."

WALLMART baru saja terinspirasi oleh Michelle Obama dengan memperkenalkan logo makanan yang sehat dalam rangka rencana membuat perilaku baru pada konsumsi masyarakat Amerika Serikat. Masyarakat dunia disuguhi ketangguhan Ibu Negara Amerika Serikat dalam melakukan pushup yang menakjubkan itu. Masyarakat mulai menyadari akan pentingnya hidup sehat, sebuah perubahan pandangan yang akhirnya mengubah perilaku masyarakat. Masyarakat Amerika Serikat sangat bergantung pada pertumbuhan konsumsi masyarakat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi mereka.

Secara absolut pertumbuhan ekonomi memang sangat bergantung pada pertumbuhan konsumsi di negara adidaya tersebut, tetapi kualitas konsumsi masyarakat selama ini justru terabaikan. Masyarakat Amerika Serikat masih terjebak oleh obesitas yang pada gilirannya meningkatkan risiko penyakit. Karena itu, sangatlah penting memiliki sistem pembayaran yang tangguh agar perekonomian sebuah negara mampu mencapai tahap pembangunan ekonomi yang tinggi sehingga sokongan sektor konsumsi merupakan pangsa terbesar dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Tanpa dukungan sistem pembayaran, pertumbuhan konsumsi sangat berpotensi memiliki kinerja yang buruk dan tidak berkelanjutan. Sistem pembayaran skala besar dan skala kecil, termasuk retail, sangat penting bagi pertumbuhan konsumsi masyarakat selain juga tingkat pendapatan.

Thorstein Veblen, misalnya, membaca budaya konsumsi merupakan bagian penting dari globalisasi yang menciptakan kelas menengah baru yang sangat besar. Kelas menengah menuntut kesiapan sistem pembayaran bukan hanya sebagai sarana untuk meningkatkan konsumsi mereka, melainkan juga sarana menciptakan kesejahteraan mereka. Selama ini peran penting sistem pembayaran justru dapat dianggap sudah diabaikan dalam menjelaskan meningkatnya paham budaya belanja di masyarakat.

Yang mungkin lebih menonjol ialah semangat meningkatkan proteksi konsumen dalam konteks kepentingan masyarakat pembeli. Sebaliknya, di China saat ini kekuatan terpenting mereka ialah kekuatan ekonomi politik yang membawa kepentingan surplus produsen. Dengan skema kekuatan produsen, sistem ekonomi akan lebih didesain untuk menciptakan sistem pembayaran yang pro bagi aktivitas produsen. Produsen akan berupaya meningkatkan surplus produksinya sehingga diperlukan biaya modal yang semurah-murahnya. Sistem pembayaran harus dapat berjalan seiring dengan sistem moneter yang menciptakan biaya modal murah. Sebaliknya, sistem pembayaran berbasis surplus konsumen justru lebih berorientasi kepada penetapan biaya modal yang fleksibel.

Sistem pembayaran dituntut untuk menciptakan biaya transaksi yang semurah-mu rahnya dengan skala ekonomi. Sebaliknya, sistem ekonomi berbasis surplus produsen lebih berkepentingan kepada pembia yaan usaha. Mereka juga lebih berkepentingan dengan sistem pembayaran yang memiliki koneksi dengan sistem ekspor dan impor. Jerman, misalnya, tidak tertarik untuk menjadikan mata uang mereka sebagai mata uang devisa dunia. Namun karena desakan investor dunia, mereka menjadikan mata uang Jerman sebagai alternatif cadangan devisa dunia. Dengan demikian, sistem pembayaran Jerman pada mulanya memang hanya didesain untuk menciptakan sistem pembayaran yang pro bagi aktivitas ekonomi di dalam negeri.

Jerman zaman dahulu berbeda dengan Jerman saat ini. Pada era depresi besar 1929, justru hanya Prancis yang merupakan negara dengan surplus neraca perdagangan. Negara seperti Jerman terperangkap dengan era yang disebut oleh Christine Frederick (1929) sebagai cara untuk mematahkan kebuntuan dari rendahnya standar kehidupan masyarakat melalui kebebasan untuk berbelanja. Toh, Jerman tetap tenggelam oleh resesi pada saat itu. Saat ini Jerman berbeda. Produktivitas Jerman merupakan yang tertinggi di Uni Eropa. Hal itu dapat terjadi karena Jerman mampu menjaga tingkat infl asi secara terkontrol melalui kebijakan bank sentral Uni Eropa (ECB).

Sistem pembayaran Jerman mampu menciptakan biaya transaksi yang sangat murah bagi sistem ekonomi Jerman, yang secara bersamaan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi tetapi juga produktivitas mesin ekonomi yang tinggi. Dengan demikian, sistem pembayaran tidak bisa sematamata bagi kepentingan surplus produsen, tetapi juga surplus konsumen. Resultan dari tarik-menarik antara kedua kekuatan ini dapat dilihat dari rendahnya unit labour cost di Jerman. Artinya, surplus konsumen dan surplus produsen tidak mematikan antara yang satu dan lainnya seperti yang dapat dilihat dalam buku teks pelajaran ekonomi. Hal itu dapat terjadi dengan desain sistem pembayaran yang optimum antara kepentingan keduanya.

Optimalitas itu bergantung pada desain seperti juga yang menjadi dasar dari pengembangan produk di Apple semasa Steve Jobs masih hidup. Idealnya sistem pembayaran Indonesia memiliki desain antara sistem pembayaran Jerman dan Amerika Serikat, yakni budaya belanja tidak menegasikan budaya produksi. Selain itu, sistem pembayaran juga harus pro terhadap kebijakan industri. Dengan demikian, financial inclusion pasar domestik harus ditingkatkan. Sistem pembayaran harus bergerak kepada sistem yang mendukung branchless banking. Sistem pembayaran harus mampu membuka akses keuangan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, baik yang di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian, mobilisasi dari modal dapat dilakukan secara aman dan efisien.

Untuk itu, infrastruktur pembayaran juga harus memiliki sistem cadangan yang memadai dengan kapasitas transaksi yang juga harus lebih besar daripada yang selama ini telah diprediksikan. Jika budaya konsumsi terus meningkat dengan pesat, sistem manajemen risiko dalam sistem pembayaran juga dituntut untuk berjalan dengan baik.

Selama ini infrastruktur pembayaran justru dianggap given, padahal kapasitas transaksi ekonomi sangat bergantung padanya. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk memodernisasi sistem pembayaran sesuai dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi.

Dengan belajar dari Ibu Negara Amerika Serikat yang mampu push-up secara sempurna, sistem pembayaran di Indonesia juga harus dimanfaatkan untuk membentuk perilaku masyarakat yang juga sehat konsumsinya. Sistem pembayaran tidak akan mampu menciptakan perilaku konsumsi masyarakat yang sehat, tetapi diperlukan kebijakan lainnya untuk mendukung perilaku yang sehat tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Tinbergen, peraih Nobel Ekonomi dari Belanda, bahwa untuk mencapai dua tujuan diperlukan minimal..(?)..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar