Musim
Berburu Persenan
Laras Susanti, Peneliti
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
SUMBER
: KOMPAS, 21 April 2012
Korupsi menyebar bak virus ke setiap sendi
kehidupan di negeri ini. Namun, tidak ada langkah kentara dalam pemberantasan
korupsi.
Di tingkat pusat perselingkuhan eksekutif dan
legislatif mirip opera sabun televisi. Mereka berselingkuh untuk saling berbagi
persenan. Simak kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Sekretaris Kementerian
Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Mindo
Rosalina Manulang telah terbukti bersalah dan divonis oleh pengadilan tipikor.
Kasus itu terus bergulir. Kini memasuki babak
baru. Tak hanya Nazaruddin, politikus Partai Demokrat, yang ditetapkan sebagai
tersangka. Rekan Nazaruddin, Angelina Sondakh, juga ditetapkan sebagai
tersangka. Jalan terang membongkar kasus itu kian terbuka. Rosa berniat
melaporkan seorang menteri yang ditengarai juga turut menikmati persenan.
Kasus korupsi wisma atlet SEA Games
menunjukkan, pengadaan barang dan jasa rentan untuk disabotase pemburu
persenan. Ini bukan hal baru. Berburu persenan jamak dilakukan partai politik.
Sukses memasukkan kadernya di DPR adalah peluang. Sering kali bukan peluang
untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, melainkan peluang menghidupi partai
politik.
Sejarah mencatat, sejumlah anggota DPR
periode sebelumnya (2004-2009) terjerat kasus serupa. Sesuai catatan Kompas
(29/2), Saleh Djasit (Fraksi Golkar), Al Amin Nasution (Fraksi PPP), dan Abdul
Hadi Jamal (Fraksi PAN) adalah beberapa yang terjerat kasus korupsi.
Saleh Djasit terjerat di sektor pengadaan
mobil pemadam kebakaran. Sektor alih fungsi hutan lindung menjerat Al Amin.
Pada kasus pembangunan bandara dan pelabuhan kawasan Indonesia timur mengalir
dana Rp 1 miliar kepada Abdul Hadi Jamal.
Tidak hanya pada tingkat pusat, sejumlah
anggota DPRD pun berkomplot dengan pejabat daerah. Baru-baru ini anggota DPRD
Provinsi DKI Jakarta diduga korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi.
Sejumlah kasus di atas menunjukkan janji-janji pemberantasan korupsi hanya
manis di bibir, tapi rudin implementasi. Bahkan, sebagian besar pejanji
mengkhianatinya.
Kejahatan Sistematis
Berburu persenan dilakukan secara sistematis.
Tujuannya, mengelabui aparatur penegak hukum. Pada banyak kasus persenan
diperoleh dengan menjalankan prosedur yang terkesan transparan. Dalam kasus
wisma atlet SEA Games diketahui bahwa tender dilakukan secara terbuka, tetapi
pemenang telah ditentukan. Penentuan pemenang dilakukan dengan transaksi antara
Sekretaris Kemenpora dan perusahaan rekanan.
Perusahaan rekanan tak lain milik Nazaruddin.
Sejumlah persenan diberikan guna memuluskan rencana. Untuk proyek bernilai Rp
191 miliar, Angie diduga menerima Rp 5 miliar. Tak hanya Angie, I Wayan Koster
dan ”sang menteri” juga diduga menerima, bahkan untuk ”sang menteri” mencapai 8
persen. Praktik inilah yang membuat negara rugi. Anggaran digelembungkan,
tetapi pada implementasinya dana realisasi proyek ditekan. Selisihnya digunakan
untuk bagi-bagi persenan. Akhirnya, proyek tidak diselesaikan tepat waktu dan
spesifikasi pekerjaan yang telah ditentukan disimpangkan.
Meski telah jamak terjadi, tak mudah menjerat
pemburu persenan. Tarik-menarik kepentingan amat kuat terasa. KPK harus melalui
beragam rintangan untuk memulangkan dan meminta keterangan dari Nazaruddin.
Sejumlah rekayasa dilakukan guna melemahkan
KPK, mulai dari tuduhan pertemuan dengan tersangka sampai penyiksaan terhadap
Nazaruddin. Tujuannya jelas: menghalang-halangi penyidikan kasus tersebut. Ketertutupan
Nazaruddin membuat penyidikan semakin sulit. Belum lagi drama ”lupa ingatan”
yang dipertontonkan rekan-rekan Nazaruddin.
Tak hanya itu, rintangan pun datang dari
tekanan politik yang dilakukan rekan sejawat mereka di DPR. Kita tentu tak
pernah lupa pada ancaman potong anggaran dan pembubaran KPK yang keluar dari
sejumlah anggota DPR. Pernyataan itu bertentangan dengan kehendak rakyat.
Padahal, kita semua tahu bahwa DPR adalah wakil rakyat.
Logika yang digunakan justru berangkat dari
kehendak terus berburu persenan untuk diri sediri dan golongan. Jika tertangkap
saat berburu, segala upaya dilakukan. Upaya itu tentu saja kontraproduktif
untuk pemberantasan korupsi. Akhirnya, tidak mudah bagi penegak hukum untuk
mengungkap sindikat pemburu persenan di DPR.
Makin Gencar
Dalam 2012 ini bisa diprediksi gerakan
berburu persenan akan semakin gencar dilakukan sebab Pemilu 2014 tinggal dua
tahun lagi. Dibutuhkan banyak dana untuk ”bertempur” sebab politik di sini
berbiaya mahal.
Kini rasanya sulit menemukan partai politik
yang ideologis. Maka, langkah pragmatis bernama politik uang pun diayunkan.
Dukungan rakyat diperoleh lewat bagi-bagi uang. Tidak tanggung-tanggung:
ratusan juta sampai miliaran rupiah digelontorkan. Banyaknya jumlah uang yang
dikeluarkan membuat partai politik harus berhitung dan mencari
sebanyak-banyaknya pemasukan.
Tidak hanya itu. Tekanan terhadap penegak
hukum akan semakin gencar. Semakin banyak yang dijerat oleh pasal korupsi,
semakin khawatirlah partai politik. Gesekan antarpartai juga akan semakin
kentara. Tindakan saling mengunci dilakukan guna mencegah munculnya pelaku
kooperatif seperti Agus Condro.
Maka, penegak hukum harus bekerja
ekstrakeras. Meskipun tidak mudah, bukan berarti penegak hukum tidak mampu
mengungkap korupsi. Di sinilah batu uji untuk penegak hukum. Batu uji guna
membuktikan penegakan hukum tidak terkooptasi oleh kepentingan politik.
Penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang
yang dilakukan pada kasus Nazaruddin adalah sebuah terobosan yang patut
didukung. Upaya mencegah terjadinya praktik berburu persenan harus dilakukan
pula. Kita tentu berharap perubahan UU Partai Politik memungkinkan terobosan
berarti. Terobosan yang tentu saja berpihak pada upaya mencegah politik uang
itu.
Dua tahun rasanya menjadi masa yang cukup
untuk menilai implementasi janji-janji partai politik memberantas korupsi.
Tantangan kini ditawarkan: mampukah mereka menggunakan dua tahun ke depan untuk
merealisasikan janji atau setidak-tidaknya tidak kembali menjadi bagian dari
sindikat pemburu persenan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar