Sabtu, 21 April 2012

Pelanggaran HAM dan Minta Maaf


Pelanggaran HAM dan Minta Maaf
Sumarsih, Anggota Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan
SUMBER : KOMPAS, 21 April 2012



Pada awal Kabinet Indonesia Bersatu II terbentuk, Presiden SBY meminta agar penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pendekatan kesejahteraan. Permintaan Presiden tersebut dikemukakan Menko Polhukam dalam pertemuan dengan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM pada 29 September 2011.

Untuk itu, sebuah tim penuntasan kasus dibentuk dan diketuai oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto. Apa hasilnya? Masih harus ditunggu.

Tulisan Franz Magnis-Suseno SJ di harian ini pada 24 Maret lalu cukup menyejukkan. Ia mengajak kita mendukung sekiranya Presiden mau meminta maaf atas segala pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lampau, termasuk pelanggaran HAM dalam tsunami antikomunis pasca-G30S.

Banyak orang mengatakan pula, pemaafan bisa menjadi pintu masuk penyelesaian kasus. Namun, untuk pelanggaran HAM berat, apakah sesederhana itu? Kepada siapa ”maaf” itu disampaikan tanpa kejelasan siapa yang dinyatakan telah berbuat salah?

Kiranya terlalu naif apabila kesalahan pelaku pelanggaran HAM berat begitu mudah diambil alih oleh negara: tak ada lagi penjeraan, rentan akan keberulangan, dan justru merupakan hadiah impunitas bagi pelaku.

Tengoklah Undang-Undang

Kepastian hukum merupakan sebuah kebutuhan. Tanpa itu, yang terwujud adalah bujukan, tipuan, rayuan, rekayasa yang menghasilkan penyelesaian kasus secara tidak bermartabat.

Kita perlu ingat bahwa telah ada undang-undang yang mengatur penyelesaian pelanggaran HAM: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Soalnya, sekarang bukan undang-undang itu yang tidak berdaya, melainkan ada kesengajaan memandulkannya. Tepatkah jika kesengajaan itu diimbangi dengan pemaafan?

Hal yang disampaikan Menko Polhukam tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM masa silam sepintas lalu memberi harapan sementara bagi korban/keluarga korban. Bersamaan dengan itu timbul kekhawatiran, konsep di atas kertas sulit direa- lisasikan karena terganjal oleh tiadanya jaminan legal.

Demikian pula dengan perlakuan-perlakuan yang terkesan manusiawi oleh sebagian pejabat. Membiayai pergi haji atau memberi bantuan uang kepada beberapa gelintir korban, misalnya, tidaklah menyelesaikan masalah. Justru menimbulkan iri hati bagi keluarga korban lain yang tidak mendapat perlakuan sama. Terkecuali kalau memang itulah yang ingin dicapai pemerintah: memangkas persamaan sikap para korban/keluarga korban.

Sekarang terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih menggantung meski sudah diselidiki oleh Komnas HAM dan dinyatakan merupakan pelanggaran HAM berat. Tragedi Trisakti dan Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999), Penculikan dan Penghilangan Orang secara Paksa 1997/1998, Tragedi 13-15 Mei 1998, serta Tragedi Talangsari, Lampung.

Kasus-kasus itu tidak tepat jika diselesaikan dengan pendekatan kesejahteraan. Harus melalui pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan kasus yang dilakukan Komnas HAM merupakan pengungkapan kebenaran yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur di dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Dapat dicatat pula bahwa Komnas HAM sedang atau telah melakukan penyelidikan terhadap Tragedi ’65 (G30S), tetapi belum mengumumkan hasilnya. Apakah kasus ini bisa dibawa ke pengadilan HAM ad hoc atau tidak merupakan masalah tersendiri karena para pelaku pelanggaran HAM dan korbannya sudah banyak yang meninggal. Demikian pula dengan alat bukti yang tidak lagi mudah ditemukan karena tragedi itu terjadi sudah cukup lama: 46 tahun yang lalu.

Perlu Berpikir Ulang

Penulis sadar bahwa hukum tidak menjanjikan keadilan karena rekayasa-rekayasa begitu marak di negeri ini. Namun, penyelesaian dengan jalan maaf-memaafkan juga tidak lebih dari sebuah bentuk rekayasa pula yang apabila dikalkulasi akan lebih menguntungkan pelaku pelanggaran HAM.

Mereka akan merasa tidak lagi menanggung dosa atas perbuatan masa lalu karena tanggung jawab mereka sudah diambil alih oleh negara. Mereka bisa melenggang kangkung tanpa beban dan dengan bebas turut terlibat dalam perjalanan politik bangsa.

Itulah yang harus dipikir ulang oleh negara, dalam hal ini pemerintah, apabila ingin memperbaiki moral bangsa menuju bangsa yang bermartabat melalui penyelesaian secara tuntas terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar