Pelanggaran
HAM dan Minta Maaf
Sumarsih, Anggota
Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan
SUMBER
: KOMPAS, 21 April 2012
Pada awal Kabinet Indonesia Bersatu II
terbentuk, Presiden SBY meminta agar penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu
diselesaikan melalui pendekatan kesejahteraan. Permintaan Presiden tersebut
dikemukakan Menko Polhukam dalam pertemuan dengan korban dan keluarga korban
pelanggaran HAM pada 29 September 2011.
Untuk itu, sebuah tim penuntasan kasus
dibentuk dan diketuai oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto. Apa hasilnya? Masih
harus ditunggu.
Tulisan Franz Magnis-Suseno SJ di harian ini
pada 24 Maret lalu cukup menyejukkan. Ia mengajak kita mendukung sekiranya
Presiden mau meminta maaf atas segala pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada
masa lampau, termasuk pelanggaran HAM dalam tsunami antikomunis pasca-G30S.
Banyak orang mengatakan pula, pemaafan bisa
menjadi pintu masuk penyelesaian kasus. Namun, untuk pelanggaran HAM berat,
apakah sesederhana itu? Kepada siapa ”maaf” itu disampaikan tanpa kejelasan
siapa yang dinyatakan telah berbuat salah?
Kiranya terlalu naif apabila kesalahan pelaku
pelanggaran HAM berat begitu mudah diambil alih oleh negara: tak ada lagi
penjeraan, rentan akan keberulangan, dan justru merupakan hadiah impunitas bagi
pelaku.
Tengoklah Undang-Undang
Kepastian hukum merupakan sebuah kebutuhan.
Tanpa itu, yang terwujud adalah bujukan, tipuan, rayuan, rekayasa yang
menghasilkan penyelesaian kasus secara tidak bermartabat.
Kita perlu ingat bahwa telah ada
undang-undang yang mengatur penyelesaian pelanggaran HAM: Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Soalnya, sekarang bukan undang-undang itu
yang tidak berdaya, melainkan ada kesengajaan memandulkannya. Tepatkah jika
kesengajaan itu diimbangi dengan pemaafan?
Hal yang disampaikan Menko Polhukam tentang
penuntasan kasus pelanggaran HAM masa silam sepintas lalu memberi harapan
sementara bagi korban/keluarga korban. Bersamaan dengan itu timbul
kekhawatiran, konsep di atas kertas sulit direa- lisasikan karena terganjal
oleh tiadanya jaminan legal.
Demikian pula dengan perlakuan-perlakuan yang
terkesan manusiawi oleh sebagian pejabat. Membiayai pergi haji atau memberi
bantuan uang kepada beberapa gelintir korban, misalnya, tidaklah menyelesaikan
masalah. Justru menimbulkan iri hati bagi keluarga korban lain yang tidak
mendapat perlakuan sama. Terkecuali kalau memang itulah yang ingin dicapai
pemerintah: memangkas persamaan sikap para korban/keluarga korban.
Sekarang terdapat beberapa kasus pelanggaran
HAM masa lalu yang masih menggantung meski sudah diselidiki oleh Komnas HAM dan
dinyatakan merupakan pelanggaran HAM berat. Tragedi Trisakti dan Semanggi I (13
November 1998), Semanggi II (24 September 1999), Penculikan dan Penghilangan
Orang secara Paksa 1997/1998, Tragedi 13-15 Mei 1998, serta Tragedi Talangsari,
Lampung.
Kasus-kasus itu tidak tepat jika diselesaikan
dengan pendekatan kesejahteraan. Harus melalui pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan kasus yang dilakukan
Komnas HAM merupakan pengungkapan kebenaran yang seharusnya menjadi pintu masuk
untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur di dalam UU No
26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dapat dicatat pula bahwa Komnas HAM sedang
atau telah melakukan penyelidikan terhadap Tragedi ’65 (G30S), tetapi belum
mengumumkan hasilnya. Apakah kasus ini bisa dibawa ke pengadilan HAM ad hoc
atau tidak merupakan masalah tersendiri karena para pelaku pelanggaran HAM dan
korbannya sudah banyak yang meninggal. Demikian pula dengan alat bukti yang
tidak lagi mudah ditemukan karena tragedi itu terjadi sudah cukup lama: 46
tahun yang lalu.
Perlu Berpikir Ulang
Penulis sadar bahwa hukum tidak menjanjikan
keadilan karena rekayasa-rekayasa begitu marak di negeri ini. Namun,
penyelesaian dengan jalan maaf-memaafkan juga tidak lebih dari sebuah bentuk
rekayasa pula yang apabila dikalkulasi akan lebih menguntungkan pelaku
pelanggaran HAM.
Mereka akan merasa tidak lagi menanggung dosa
atas perbuatan masa lalu karena tanggung jawab mereka sudah diambil alih oleh
negara. Mereka bisa melenggang kangkung tanpa beban dan dengan bebas turut
terlibat dalam perjalanan politik bangsa.
Itulah yang harus dipikir ulang oleh negara,
dalam hal ini pemerintah, apabila ingin memperbaiki moral bangsa menuju bangsa
yang bermartabat melalui penyelesaian secara tuntas terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar