Kultur
Birokrasi Jakarta
David Krisna Alka, Peneliti Ma'arif Institute for
Culture and Humanity
dan Populis Institute Jakarta
dan Populis Institute Jakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 10 April 2012
Hiruk-pikuk menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta seyogianya disertai dengan konsep dan praksis birokrasi seperti apa
yang akan diajukan oleh calon pasangan gubernur - wakil gubernur periode
mendatang. Sebagaimana diketahui, Pilkada DKI Jakarta akan diikuti empat pasang
calon gubernur - wakil gubernur dari jalur parpol dan dua pasang calon gubernur
- wakil gubernur dari jalur independen.
Keempat calon pasangan gubernur - wakil gubernur DKI Jakarta dari
jalur parpol tersebut adalah pasangan Fauzi Bowo dan Nachrawi Ramli, duet Joko
Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pasangan Hidayat Nur Wahid dan Didik
J Rachbini serta pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono. Sedangkan kedua calon
pasangan gubernur - wakil gubernur DKI dari jalur independen adalah pasangan
Faisal Basri dan Biem Benyamin serta pasangan Hendardji Soepandji dan Achmad
Riza Patria.
Birokrasi berhubungan erat dengan kebutuhan publik, sosial dan
ekonomi warganya. Jika salah satu dari pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur itu menang, lantas apakah bisa dijamin bahwa birokrasi di Ibukota
Republik Indonesia ini tak menghambat 'jalan' keberlangsungan hidup warganya?
Begitu banyak pengalaman kesulitan yang dialami warga masyarakat
ketika berhadapan dengan para birokrat dalam mengurus suatu keperluan. Sebagian
warga DKI, misalnya, pernah ruwet bila berhadapan dengan birokrat negara ini
saat mengurus kartu tanda penduduk (KTP). Demikian pula saat mengurus kenaikan
pangkat, mendapatkan sertifikasi sah sebagai seorang guru, mengurus perjalanan
naik haji, dan lain sebagainya. Sebagian birokrat DKI itu bukan meringankan,
tapi malah terkesan membuat susah warganya.
'Untuk apa cepat-cepat,
kalau bisa diperlambat, karena lebih banyak uang yang didapat!' demikianlah kira-kira
prinsip yang dianut sebagian birokrat negara ini. Irasional. Itulah sebagian
gambaran etos kerja para birokrat di Indonesia. Ucapan dan tindakan itu yang
mesti dilenyapkan. Terkadang, rasa enggan, khawatir dan cemas, menggerogoti
rakyat kecil saat hendak berurusan dengan para birokrat. Sebab, masyarakat
kecil tak mampu memberi uang sebagai 'jalan
tol' mempercepat masalah prosedur perizinan.
Sebagian masyarakat yang tak memiliki uang atau tak punya sanak
saudara di kantor pemerintahan, enggan dan menahan hati bila berhubungan dengan
para birokrat yang bersikap seperti itu. Bahkan, mereka (para birokrat)
terkesan tak lagi punya rasa malu ketika praktik seperti itu berada
seterang-terangnya di depan mata.
'Daki' birokrasi yang
berbelit-belit, penuh ketidakpastian, mahal dan bermalas-malasan, hingga kini
masih sulit dienyahkan. Dalam prinsip pelayanan publik, ukurannya adalah
seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memerhatikan aspek-aspek keadilan
dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan yang
diberikan. Semestinya kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
terpenuhi, baik itu kebutuhan menyangkut pemerataan maupun layanan birokrasi
kepada rakyat kecil.
Organisasi pemerintahan seperti apa yang diperlukan di negara ini?
Diperlukan sebuah organisasi pemerintahan yang ditata dengan manajemen yang
mampu merespon kebutuhan rakyat dengan cepat. Birokrasi yang mampu mengelola
perubahan dan mengelola ketidakpastian dengan prinsip keadilan.
Etika Birokrat
Pemerintah bertanggung jawab secara moral dan konstitusional atas
tindakan-tindakan yang membuat susah rakyatnya. Landasan bagi setiap tindakan
pegawai negara seharusnya diletakkan pada prinsip-prinsip moral dan etika
konstitusional.
Buat apa sumpah jabatan dan motto pegawai negeri sipil (PNS), abdi
negara dan abdi masyarakat harus dilembagakan, bila menjadi kata-kata kosong
belaka. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan
perilaku pegawai negara dan juga perilaku para politisi supaya berlandaskan
pada nilai-nilai moral konstitusional.
Bukankah penghayatan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila bagi setiap
warga negara Indonesia menjadi implikasi logis dari loyalitasnya kepada negara?
Jika para birokrat dan para politisi tak lagi memiliki landasan moral ini, tak
ayal, loyalitasnya terhadap Republik ini perlu dipertanyakan!
Budayawan Mochtar Lubis (1985:4) sudah lama mengeluhkan tentang
budaya birokrasi yang ditandai oleh hierarki yang amat kuat, tunduk pada
penguasa, setia dan merasa berutang budi pada sang 'patron' atau bos, cenderung menyetujui sesuatu untuk menghindarkan
kontroversi, dan senantiasa menyembunyikan perasaan di balik senyuman.
Artinya, kepentingan bagi sekelompok elite dan yang banyak duit
seringkali lebih didahulukan. Sedangkan kepentingan publik, khususnya untuk
warga miskin yang tidak punya uang untuk menyuap, akan diurus kemudian.
Tak ayal, mayoritas rakyat miskin ketika berhadapan dengan sistem
birokrasi yang elitis selalu dihantui ketakutan. Rakyat kebanyakan pun
menghadapi hambatan dan sukar menjangkau apa yang mereka harapkan.
Barangkali, akal sehat mereka tentu akan berkata, buat apa memilih
dalam Pilkada DKI Jakarta jika kelak sama saja, tak akan ada perubahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar