Selasa, 10 April 2012

Eksistensialisme ala Jokowi


Eksistensialisme ala Jokowi
A Rudyanto Soesilo, Dosen Ilmu Filsafat dan Etika
pada Program Pascasarjana Unika Soegijapranata Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 10 April 2012




SEORANG Jokowi kok ikut-ikutan mengadu nasib ke Ibu Kota, untuk menjadi pemimpin’’. Kira-kira demikian grundelan sebagian masyarakat Jawa Tengah, utamanya warga Kota Solo. Pertimbangan dari penyikapan itu bermacam-macam, bisa atas dasar rasa sayang, karena merasa kehilangan, atau bisa juga karena ora mercayani.

Bertolak dari rasa tidak memercayai niat dan hasil akhirnya itulah maka Joko Widodo, yang Senin kemarin menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta terkait dengan pencalonannya itu dikilani, dari kira-kira prestasinya yang wah hingga menjadi salah satu nominator world class, masuk daftar nominasi wali kota terbaik sedunia versi The City Major Foundation itu mungkin karena suatu kebetulan.

Bahkan ada yang mengukur bahwa jatahnya hanya wilayah Solo dan sekitarnya, yang Kota Budaya dan dinamisasinya lebih ke arah rural area, bukan urban area sebagaimana DKI Jakarta. Grundelan itu lalu berkembang ke arah jatah tadi. Ada dua pemikiran yang mendasari yakni fatalistis dan eksistensialis.

Pemikiran fatalistis (fate: nasib) lebih mendasarkan pada paham bahwa manusia hanya mengikuti garis hidup yang sudah ditentukan sebelumnya (essence). Hal itu berbeda dari eksistensialisme yang lebih mendalilkan bahwa manusialah yang harus merintis dan mengukir garis hidupnya.

Adalah slogan pemikir Sartre yaitu existence precede essence yang intinya mengartikan upaya manusia mengukir dan memperjuangkan hidup, pada akhirnya sangat menentukan nasibnya. Eksistensialisme itu kemudian tercatat telah mengobarkan semangat manusia modern untuk mengubah nasibnya dengan mengupayakan —kadang dengan berdarah-darah— berbagai kemajuan untuk umat, seperti dilakukan Steve Jobs dan para penemu lainnya.

Memberi Kesempatan

Kembali ke grundelan soal jatah tadi, alangkah masuk akalnya apabila dunia memberi kesempatan kepada Steve Jobs, Albert Einstein, ataupun Thomas Alfa Edison yang dianggap tidak maju sekolahnya tapi sejarah mencatat mereka telah mengubah dunia lewat kecemerlangan karyanya.

Ada lagi Sedijatmo, walaupun berbeda. Sedijatmo tatkala menjadi pejabat PLN 1961 diminta membangun 7 menara listrik bertegangan tinggi di atas rawa-rawa Ancol Jakarta. Dia bersusah payah membangun 2 menara dengan fondasi konvensional. Lima lainnya? Dia bingung mengingat 7 menara itu dibutuhkan untuk mengalirkan energi dari pusat tenaga listrik di Tanjung Priok ke GOR Senayan, tempat penyelenggaraaan Asian Games 1962. Sejarah pula mencatatnya, ia menemukan fondasi cakar ayam untuk mendirikan 5 menara lainnya di atas tanah labil.

Berkaca dari fakta itu, alangkah indahnya bila kita memberi kesempatan, bahkan mendorong Jokowi berkiprah pada pilkada di DKI Jakarta pada 11 Juli mendatang. Penulis mendasarkan Ibu Kota  sebagai big village yang bisa menjadi barometer mengukur keberhasilan gaya kepemimpinan.

Kita butuh pemimpin berintegritas dan berkadar moralitas tinggi, berorientasi kepada rakyat kecil sebagai mayoritas, dan berani menanggung risiko dari fokus perjuangannya.

Ketakutan bahwa Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terombang-ambing dalam rimba raya Ibu Kota tampaknya dijawab tegas lewat pernyataan bahwa semua konsep pembangunan DKI  sudah ada, tinggal pelaksanaannya yang butuh kepemimpinan dengan komitmen tinggi dan dukungan rakyat. Terpilih atau tidaknya memang bukan tujuan final.

Tapi majunya dia dalam kontes kepemimpinan di Ibu Kota merupakan exercise menyegarkan dan mengobarkan semangat rakyat akan secercah harapan bahwa negara ini akan dikelola pemimpin yang berhati jernih. Seandainya dia tidak berani bereksistensi, mungkin hanya tetangganya yang tahu ada Jokowi yang pedagang mebel. Berarti, Indonesia kehilangan peluang untuk mendapatkan pemimpin baru.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar