Kompensasi BBM dan Pragmatisme Partai
Shodiq Adi Winarko, Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 03 April 2012
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM telah menimbulkan kegeraman
di tengah masyarakat. Berbagai aliansi rakyat bergabung dalam satu visi,
menggagalkan rencana kenaikan harga BBM. Mahasiswa yang dalam hal ini berdiri
di garda terdepan, terus berupaya menggalakkan banyak massa dengan keyakinan
untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
Ketua Fraksi Hanura, Wiranto, menjadi sosok tunggal yang dicap
media sebagai 'pemberontak'. Wakil Sekjen DPP PD Ramadhan Pohan sempat pula
menuding Ketua Umum DPP Partai Hanura itu berada di belakang gerakan
penggulingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan memanfaatkan isu
kenaikan harga BBM.
Terlepas dari benar tidaknya upaya pelengseran SBY, agaknya sikap
cemas SBY pantas dijadikan pertanda. Terlihat dari statemennya, SBY mengamini
adanya upaya pelengseran terhadap dirinya sendiri. Lantas sebenarnya, siapakah
yang berani menjamin jika harga BBM tidak naik maka perekonomian Indonesia akan
stabil? Dan, jika rencana kenaikan harga BBM benar nyata adanya, apakah jaminan
kompensasi pemerintah pantas dijadikan solusi?
Memang berbeda, kebijakan Presiden SBY menaikkan harga BBM dengan
deretan presiden sebelumnya. Kebijakan presiden-presiden sebelum SBY agaknya
hanya untuk menyelamatkan keuangan negara saja, tanpa dibarengi adanya
kompensasi. Sedangkan SBY, kebijakan menaikkan harga BBM telah dibarengi dengan
kompensasi. Di antaranya terdapat program bantuan langsung, penambahan raskin,
beasiswa, dan sarana transportasi.
Namun ingat, dalam hal ini, BLT bukanlah harapan tunggal rakyat.
Bahkan, sebenarnya rakyat tidak menghendaki adanya BLT sebagai jawaban kenaikan
harga BBM. BLT hanya merupakan sebuah pemberian yang terpaksa harus diambil
rakyat.
Bagi kebanyakan orang, dana kompensasi ini masih bisa dimaklumi
jika benar bisa berhasil menyentuh semua rakyat kecil tanpa terkecuali.
Apalagi, jika dampak kenaikan harga BBM yang melanda rakyat, dapat terus
diobati dengan program kompensasi ini. Tentu bukan sementara, melainkan dalam
jangka waktu sebatas kenaikan harga BBM berlaku.
Hanya dengan begitu, setidaknya luka hati rakyat dapat terobati.
Sebab, manakala dana kompensasi hanya bersifat sementara, maka hal BLT tidaklah
berbeda dengan hiburan rakyat semata dan tidak akan menjadi alternatif solusi
yang baik.
Lalu, bagaimana dengan proses pelaksanaannya? Mampukah pemerintah
memastikan bahwa dana kompensasi BBM senilai sekitar Rp 25 triliun itu sampai
di tangan rakyat miskin tanpa terkecuali?
Mari kita ambil masalah raskin. Sering dalam kenyataannya, raskin
yang diterima masyarakat ternyata hanya lah beras peras dan tak jarang pula
berbau apek. Itu pun terkadang pengalokasiannya tidak tepat sasaran. Tentu
kejadian ini disebabkan adanya pihak-pihak tertentu yang telah memanipulasinya.
Ini menandakan dana itu bisa jadi tidak sepenuhnya diterima oleh rakyat,
melainkan tersendat di tangan para pelaksananya.
Belum lagi, program padat karya. Dalam pelaksanaannya, program ini
sangat rawan akan manipulasi administratif. Apalagi, jika program ini
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah setempat, semakin akan menyulitkan
proses pengkontrolan.
Memang, belum terbukti adanya kasus korupsi dari program ini,
namun siapa yang berani menjamin bahwa program padat karya terbebas dari
praktik korupsi?
Ajang Korupsi?
Terlebih sekarang, partai-partai politik sedang menempatkan
dirinya dalam wilayah pragmatisme. Masalah pemilu, misalnya, rasanya publik
telah mengetahui adanya fenomena 'kutu
loncat' dan 'pecah kongsi' pada
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
Pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto, yang memenangi Pilkada 2007,
pecah menjelang pemilihan kembali. Begitu pun dengan beberapa kandidat lainnya,
salah satunya Dede Yusuf yang berpindah dari Fraksi PAN ke Partai Demokrat. Di
sisi lain, saat ini berbagai partai juga sedang disibukkan dengan penggalangan
dana pemilu. Maka, jika menitikberatkan sumber dana partai kepada penjelasan
Cornelis Lay (1994) atau pun studi Dodi Ambardi (2009), kita patut khawatir
akan terjadinya manipulasi dana kompensasi. Apalagi, jarak waktu pelaksanaannya
yang terlihat bersamaan, ditambah para pelaksananya yang didominasi oleh
kader-kader partai.
Sumber dana partai yang dimaksud itu terbagi menjadi dua. Pertama,
dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader partai di eksekutif, legislatif,
maupun BUMN. Kedua, dana yang berasal dari sumbangan para pemilih modal besar.
Dari kedua sumber dana tersebut, cara pertama-lah yang sekarang
banyak diwaspadai banyak pihak. Bagaimana tidak, belajar dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, dana kompensasi sering kali menjadi lahan
basah praktik korupsi, walau pun tidak terhendus media.
Namun, kini masyarakat telah bersifat partisipatif dalam
menghadapi gejolak perpolitikan di negeri ini. Meminjam istilah Cak Nun, "Kepercayaan rakyat sudah sangat minim
terhadap partai, maka jangan-lah memperparah keadaan dengan penggalangan dana
yang bathil."
Inilah akar masalah yang patut mendapatkan perhatian lebih dari
berbagai pihak. Hal ini penting, sebab dana kompensasi merupakan hak penuh
rakyat. Jika dana itu juga ikut dimanipulasi, jangan heran jika rakyat akan
bertindak lebih sporadis dan bahkan anarkis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar