Selasa, 03 April 2012

Keliru Paham Soal Setoran Haji

Keliru Paham Soal Setoran Haji
(Tanggapan kepada Effnu Subiyanto)
Iwan Supriadi, Kepala Sub Bidang Layanan Informasi Publik,
Pusat Informasi dan Humas, Kementerian Agama RI
SUMBER : REPUBLIKA, 03 April 2012



Dalam Opini “Kisruh Bunga Setoran Haji“ tulisan Effnu Subiyanto di harian Republika, Rabu 28 Maret 2012, terdapat kesalahan-kesalahan yang perlu disampaikan koreksinya. Hemat penulis, kesalahan-kesalahan itu mencakup beberapa hal berikut.
Pada alinea kelima, Effnu menulis, “Bahwa bargaining positioning (position?) Kemenag dalam melindungi kepentingan calon jamaah haji (CJH) Indonesia di hadapan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak maksimal.“ Di akhir alinea ini Effnu melanjutkan, “Kekuatan diplomasi kita dengan Kementerian Urusan Haji (KUH) Arab Saudi tidak dalam posisi seimbang.“
Sebagai sebuah pendapat, Effnu sah-sah saja berpandangan demikian. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa hubungan antardua negara dalam urusan haji tidak dapat disamakan dengan hubungan perdagangan komoditas barang dan jasa pada umumnya, di mana “pembeli adalah raja“. Bagi umat Islam Indonesia, ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan hukumnya wajib bagi yang mampu.Tempat pelaksanaanya hanya di Makkah, Arab Saudi.
Sementara itu, bagi Arab Saudi, jamaah haji yang datang tidak harus dari Indonesia. Seandainya tidak ada satu orang pun dari Indonesia yang berhaji ke sana, tidak menjadi persoalan sedikit pun bagi Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Banyak negara lain yang meminta kuota hajinya ditambah. Banyaknya jamaah haji Indonesia, bukan hanya menjadi faktor kekuatan, tetapi juga bisa sekaligus menjadi faktor kelemahan, dalam konteks bargaining position.
Negara dengan jumlah jamaah yang sedikit, termasuk Malaysia, dari aspek kapasitas akomodasi yang tersedia, mempunyai keleluasaan dan kemudahan dalam memilih, termasuk jika harus menempatkan semua jamaahnya di hotel. Seandainya semua jamaah haji Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 200 ribu orang itu akan ditempatkan seluruhnya di hotel, apa kapasitas hotel yang ada di Makkah mencukupi? Apalagi, kalau jaraknya harus dekat dengan Masjidil Haram. Sebagai negara yang bersahabat baik, Indonesia bersamasama dengan Kerajaan Arab Saudi terus berupaya untuk menyediakan layanan yang lebih baik bagi jamaah haji.
Pada alinea kedelapan, Effnu menulis, “Dana besar setiap tahun dari setoran awal haji, sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan bargaining positioning (position?) dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Seperti misalnya, melakukan kontrak jangka panjang untuk pemondokan jamaah yang paling dekat dengan Masjidil Haram.“ Ini menunjukkan ketidaktahuan Effnu.
Pertama, kontrak pemondokan itu bukan dilakukan oleh Kementerian Agama dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi atau dengan KUH-nya. Pemondokan itu disewa Kementerian Agama dari pemiliknya, orang per orang. Pemilik pemondokan itu juga bukan perusahaan. Kedua, keinginan untuk kontrak jangka panjang tidak perlu menunggu ide dari Effnu. Persoalannya, apakah pemilik pemondokan di Makkah itu bersedia menyewakan rumahnya secara jangka panjang (multiyears).
Oleh karena setiap tahun harga sewa pemondokan mengalami kenaikan, para pemilik itu menghendaki negosiasi dan sewa dilakukan secara tahunan. Bahkan, dalam konteks penyediaan pemondokan bagi jamaah, Kementerian Agama berkeinginan untuk membangun sendiri pemondokan di Arab Saudi karena dana yang tersedia sangat memadai jika digunakan untuk itu. Namun, Pemerintah Arab Saudi tidak mengizinkan.
Di alinea kesembilan, Effnu menulis, “Menteri Agama bahkan baru saja memindahkan dana setoran awal Rp 20 triliun ke sukuk yang diklaim memberikan tingkat suku bunga lebih besar.“
Perlu diluruskan bahwa pemindahan dana dari bank penerima setoran dana haji ke sukuk oleh menteri agama itu pertimbangan utamanya adalah keamanan (security). Jika di rekening giro atau deposito maka tidak ada yang menjamin akan mengganti seluruhnya jika ada apa-apa (misalnya bank yang digunakan untuk menempatkan dana itu kolaps). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya menjamin maksimal dua miliar rupiah. Sukuk dijamin oleh negara 100 persen.
Pada bagian berikutnya, Effnu juga menulis bahwa ketika mendaftar, “Setiap calon (haji) harus membayar minimal Rp 20 juta.“ Tampaknya Effnu tidak mengikuti informasi yang mutakhir sehingga yang ditulis itu sudah kedaluarsa.
Sejak Mei 2010, besaran setoran awal itu Rp 25 juta.
Rakyat negeri ini boleh bertanya tentang berapa bunga bank dari dana setoran awal yang dilakukan oleh calon jamaah haji. Perlu diinformasikan bahwa dana yang disetor ke rekening atas nama menteri agama (tentu bukan menteri agama sebagai pribadi!) itu, sebagaimana namanya telah menunjukkan (yaitu “setoran awal“), sesungguhnya merupakan uang muka dalam bahasa sehari-hari. Transaksi atau akad antara calon jamaah dan Kementerian Agama bukan transaksi penyimpanan dana dalam bentuk tabungan, giro atau deposito karena Kementerian Agama bukan lembaga keuangan.
Oleh karena itu, bagi calon jamaah yang menyetor (lebih tepatnya: membayar), tidak memperoleh bunga. Adalah benar bahwa dana itu ada bunganya setelah berada di bank dalam waktu tertentu. Namun, hak yang diperoleh oleh calon jamaah yang sudah mendaftar dan melakukan setoran awal tersebut antara lain adalah dicantumkannya yang bersangkutan dalam waiting list. Tambahan dana yang oleh Effnu disebut “bunga“ itu, dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji, disebut manfaat atau dana hasil optimalisasi. Dana ini digunakan untuk membiayai berbagai komponen dalam operasional haji yang sekaligus menjadi subsidi bagi jamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar