Selasa, 03 April 2012

Konstitusionalitas Harga BBM

Konstitusionalitas Harga BBM
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER : SINDO, 03 April 2012



Belum lagi diundangkan, RUU APBNP 2012 yang baru disepakati dalam Sidang Paripurna DPR pekan lalu sudah pasti akan diuji di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal yang akan diuji dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 adalah rumusan Pasal 7 ayat (6A).Pasal itu pada dasarnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jika dalam kurun waktu enam bulan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBNP. Rumusan Pasal 7 ayat (6A) itu hadir tidak di ruang hampa. Dia bukan hanya proses yuridis.

Agaknya, agenda politik 2014 membuat ruang perdebatan APBN berubah, dari instrumen ekonomi menjadi instrumen politik. Pembahasan RUU APBN yang biasanya tidak terkait langsung BBM berubah menjadi dua kubu yang saling bertolak belakang, menolak atau menerima kemungkinan kenaikan harga BBM. Tulisan ini tidak akan mengulas sisi perdebatan ataupun sisi kepentingan politik tersebut. Tulisan ini hanya akan berfokus pada konstitusionalitas norma terkait harga BBM tersebut.

Pasal 7 Ayat (6) Bertentangan dengan Konstitusi

Saya berpendapat, yang justru bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 7 ayat (6) UU APBN 2011 yang mengatur, “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Pasal itu menutup sama sekali kemungkinan kenaikan harga BBM selama pelaksanaan APBN 2012. Rumusan demikian baru pertama kali ini ada dalam sejarah Republik. Dalam UU APBN sebelumnya, tidak pernah ada rumusan yang melarang kenaikan harga BBM demikian.

Karena itu, sejarah Republik mencatat ada 38 kali kenaikan harga BBM. Rumusan Pasal 7 ayat (6) mengunci sama sekali kewenangan eksekutif untuk mengambil kebijakan yang diperlukan jika ternyata harga BBM perlu disesuaikan. Karena itu, rumusan demikian minimal bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya tentang makna “dikuasai oleh negara”, bagi bumi ,air ,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 001-021-022/PUUI/ 2003.

MK memutuskan “dikuasai oleh negara” atas kekayaan alam—termasuk BBM—dilakukan melalui lima fungsi, yaitu mengadakan: kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Lebih jauh, MK menegaskan, dari lima fungsi penguasaan negara itu, hanya terkait fungsi pengaturan yang melibatkan parlemen. Sedangkan soal fungsi kebijakan, pengurusan, pengelolaan, bahkan pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah. Konsisten dengan putusan MK tersebut, soal kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya menjadi wilayah kewenangan pemerintah, yang jika dilarang sama sekali justru bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Terkait Pasal 7 ayat (6) tersebut, MK telah menerima permohonan pengujiannya yang diajukan Bgd Syafri dkk. Permohonan terdaftar dengan register nomor 13/PUU-X/2012. Pemohon berpendapat, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidaklah tepat. Pemohon menyarankan harga BBM bersubsidi seharusnya malah perlu dinaikkan secara bertahap sampai harga jual keekonomiannya. Karena itu, pemohon meminta Pasal 7 ayat (6), yang tidak membuka peluang kenaikan harga BBM, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 7 Ayat (6A) Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Sebaliknya, saya tidak sependapat dengan kalangan yang mengatakan rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBN Perubahan 2012 bertentangan dengan UUD 1945. Memang benar, MK pernah memutuskan dalam perkara Nomor 002/ PUU-I/2003 bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945. Namun, putusan tersebut tidak serta-merta berarti Pasal 7 ayat (6A) menjadi bertentangan pula dengan konstitusi.

Pertimbangan MK menyatakan, “campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak”. Sesuai dengan putusan MK terkait makna “dikuasai oleh negara” di atas serta putusan terkait “minyak dan gas bumi”, rumusan Pasal 7 ayat (6A) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM justru telah sejalan dengan putusan MK sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Argumen yang mengatakan bahwa Pasal 7 ayat (6A) bertentangan dengan UUD 1945 karena menyerahkan harga BBM semata-mata pada mekanisme pasar justru tidak memahami dengan baik makna Pasal 7 ayat (6A) tersebut. Rumusan Pasal 7 ayat (6A) RUU APBNP 2012 justru berbeda dengan Pasal 28 ayat (2) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar semata sehingga wajar dibatalkan oleh MK. Pasal 7 ayat (6A) justru tidak semata-mata tunduk pada harga pasar. Pasal 7 ayat (6A) justru tidak otomatis memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM meskipun harga minyak di pasar dunia mengalami kenaikan atau penurunan.

Pasal 7 ayat (6A) justru memberikan syarat yang tidak ringan bahwa pemerintah baru bisa menyesuaikan harga jika sudah mencapai minimal 15% dalam kurun waktu enam bulan. Kalau semata tunduk pada mekanisme pasar, berapa pun kenaikan harga minyak dunia, dalam rentang waktu berapa pun, harga BBM dapat disesuaikan pemerintah. Syarat persentase dan jangka waktu yang tidak ringan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 7 ayat (6A) tidak semata-mata menimbang harga minyak di pasaran, tetapi mendorong pemerintah untuk menjadikan kenaikan harga BBM sebagai opsi terakhir.

Kalau dicermati, perdebatan yang memunculkan rumusan Pasal 7 ayat (6A) di Sidang Paripurna DPR semangatnya justru untuk tidak otomatis menaikkan harga BBM meskipun harga minyak dunia sudah jauh dari asumsi APBN. Artinya, rumusan Pasal 7 ayat (6A) justru melindungi kepentingan masyarakat kecil yang dapat terimbas karena kenaikan harga BBM. Rumusan demikian, karena itu, justru sejalan dengan putusan MK yang berpendapat, “harga BBM dan harga gas bumi dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu”.

Apalagi, kalaupun harga BBM dinaikkan, tidaklah mengikuti harga pasar semata. Kalaupun harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000,harga itu masih di bawah harga pasar sehingga masih ada subsidi atas harga eceran BBM tersebut. Itu adalah bukti nyata bahwa harga BBM tidak ditetapkan pemerintah semata-mata dengan mempertimbangkan harga di pasaran. Lebih jauh lagi rumusan Pasal 7 ayat (6A) juga mengatur bahwa kewenangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM diikuti dengan membuat “kebijakan pendukungnya”.

Hal demikian, sekali lagi, menunjukkan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (6A) bukan hanya berbicara penyesuaian harga BBM, melainkan juga melalui norma “kebijakan pendukungnya”. Pemerintah didorong untuk “memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu” sebagaimana dipersyaratkan oleh putusan MK. Apalagi,kebijakan pendukung itu biasanya berupa bantuan langsung, beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, dan sebagainya, yang sangat berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat. Maka itu, makin jelas bahwa Pasal 7 ayat (6A) tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 maupun putusan MK sebelumnya.

Akhirnya kita tunggu saja putusan MK atas perkara 13/PUU-X/2012 yang menguji Pasal 7 ayat (6) maupun pengujian Pasal 7 ayat (6A). Untuk lebih efisien, saya menyarankan agar MK menggabungkan saja dua perkara tersebut. Saya meyakini, insya Allah, MK bisa menjadi pemutus yang adil dan melaksanakan tugasnya mengawal konstitusi. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar