Rabu, 11 April 2012

Jangan (Lagi) Sakiti Nelayan


Jangan (Lagi) Sakiti Nelayan
Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan;
Pelaku Usaha Budidaya Laut dan Tambak
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012



Akibat isu kenaikan harga BBM yang digulirkan pemerintah sejak sebulan terakhir, masyarakat pesisir di sejumlah daerah dan nelayan di pulau-pulau kecil harus ikut menanggung derita.

Harga solar dan bensin meroket di atas Rp 7.000 per liter, bahkan di Sumenep sempat menyentuh Rp 16.000 per liter. Bersama merebaknya isu tersebut, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) juga terjadi di sejumlah daerah pesisir lainnya. Harga komoditas sembilan bahan pokok—termasuk gas elpiji—pun melambung 25-30 persen.

Seusai mengamati Sidang Paripurna DPR yang merevisi UU Migas, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai nakhoda kapal RI pilihan rakyat tidak sempat meminta maaf atas keresahan masyarakat di pesisir. Isu sentral perekonomian nasional yang digulirkan menjelang bulan April telah membuat keluarga nelayan meradang. Tak terhitung kerugian materi dan kedongkolan nelayan akibat tidak bisa melaut karena harga eceran BBM di atas harga kewajaran.

Kita patut mengapresiasi kejujuran SBY bahwa selama menjabat sebagai presiden, harga BBM naik sebanyak tiga kali dan harga BBM turun tiga kali pula. Akan tetapi, perlu dicatat, dihapusnya harga subsidi minyak tanah yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat miskin sangat menyakitkan perasaan nelayan. Untuk menyiasati mahalnya solar dan bensin, minyak tanah terpaksa dicampur oli untuk digunakan melaut agar mesin kapal irit dan ekonomis.

”Jauh Layar dari Tiang”

Minyak tanah sangat dibutuhkan keluarga nelayan di rumah ataupun di atas kapal untuk menanak nasi, menjerang air, menggoreng ikan hasil tangkapan. Pak SBY yang lahir di kota pesisir Pacitan, Jawa Timur, tentunya lebih paham betapa susahnya hidup keluarga nelayan, apalagi tanpa kehadiran minyak tanah.

Sekadar mengingatkan, nelayan tradisional Pacitan menggunakan biduk bercadik untuk menerjang Samudra Indonesia, dan setiap hari bertaruh nyawa demi menghidupi keluarganya. Bedanya, dulu ikan masih mudah ditangkap di tepi pantai Teluk Teleng, tidak jauh dari rumah tempat SBY dilahirkan.

Naik-tidaknya harga BBM, bagaimanapun, tetap akan menyulitkan kehidupan nelayan; mereka yang di laut dimainkan gelombang, di darat jadi bulan-bulanan tengkulak. Banyak program pemerintah diklaim menyejahterakan nelayan. Sebutlah seperti pengadaan seribu kapal hibah dan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Akan tetapi, program tersebut ibarat jauh layar dari tiangnya.

Simak pengadaan kapal nelayan 30 GT seharga Rp 1,5 miliar per unit. Menurut kalkulasi di atas kertas, setiap kapal dengan jaring purse seine atau payang dalam satu trip (tujuh hari) diyakini mampu menghasilkan empat ton ikan. Biaya melaut kapal dengan menggunakan marine engine 173 PK butuh Rp 40 juta-Rp 60 juta, sedangkan hasilnya bisa mencapai Rp 80 juta.

Kelompok nelayan kurang mampu harus menggandeng mitra yang bersedia memodali usaha melaut. Sistem keuntungan pun diterapkan bagi hasil dengan pemilik modal. Sisanya dibagi dengan anak buah kapal (ABK). Jika hasil tangkapan tak mampu menutup biaya operasional, hal itu akan menjadi beban kelompok. Tentu menjadi sangat ironis jika pada akhirnya kapal tersebut disita oleh pemilik modal akibat akumulasi utang kelompok yang tak mampu memenuhi kesepakatan kuota hasil tangkapan.

Bagi kelompok nelayan mandiri, modal melaut tak jadi masalah. Hasil tangkapan dibagi dengan 25 anggota kelompok yang merangkap ABK. Rata-rata setiap nelayan memperoleh Rp 30.000-Rp 50.000 per hari, berikut bonus jika mendapat ikan lebih dari yang ditargetkan.

Sayangnya, pengadaan kapal bantuan untuk nelayan tak diimbangi dengan melestarikan sumber daya ikan. Degradasi sumber daya ikan terbukti menyebabkan banyak kapal tuna memilih parkir daripada melaut.

Sebagai ilustrasi, 15 tahun lalu, hook rate kapal longline dengan 100 mata pancing adalah lima ekor ikan tuna. Saat ini per 1.000 mata pancing dengan umpan tiruan atau ikan bandeng hanya diperoleh tiga ekor ikan tuna seberat 50-70 kg per ekor seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per kg.

Dua tahun lalu, pemerintah mencanangkan penggunaan gas sebagai pengganti solar dan bensin untuk perahu nelayan tradisional. Di Pelabuhan Lekok, Kabupaten Pasuruan, misalnya, 250 tabung berisi compressed natural gas dibagikan kepada nelayan tradisional. Asumsinya mampu menghemat 10-16 persen biaya operasional. Ternyata kini tabung gas hanya jadi pajangan di rumah nelayan. Sebagian bahkan terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain tidak mempunyai stasiun pompa gas, pasokan gas tidak dikirim rutin dan akhirnya terhenti sama sekali dengan berbagai alasan. Nelayan kembali melaut menggunakan solar atau bensin di tengah cuaca ekstrem dan hasil tangkapan yang tidak pasti pula.

Dipersulit Birokrasi

Birokrasi juga ikut andil mempersulit nelayan dalam hal perizinan. Sangat disesalkan, terjadi dualisme dan diskriminasi dalam pengurusan izin kapal. Akibat berbelitnya prosedur perizinan, nelayan cenderung diperlakukan sebagai sapi perahan.

Administratur pelabuhan di bawah Kementerian Kelautan dan Perhubungan mewajibkan kapal nelayan memiliki surat ukur kapal, pas tahunan, sertifikat kelaikan dan pengawakan. Namun, tak semua lokasi tempat pendaratan ikan dilengkapi fasilitas tersebut sehingga nelayan bersama kapalnya harus menempuh ratusan kilometer—tentu dengan biaya tidak sedikit—untuk mendapatkan sertifikat laik laut.

Biaya ini belum termasuk ongkos administrasi pengurusan di luar ketentuan yang mencapai puluhan kali lipat. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan masih mewajibkan pula perahu nelayan mengantongi surat izin usaha perikanan (SIUP) dan izin penangkapan (SIPI/SIKPI). Nelayan harus memilikinya agar kapal tidak ditangkap saat melaut karena dianggap ilegal.

Di negeri bahari ini profesi nelayan makin tak diminati karena sarat ketakpastian dan kental nuansa kemiskinan. Warisan budaya bahari yang jadi entitas bangsa Indonesia sejak zaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit lambat laun memudar sinarnya dan nyaris tenggelam bukan oleh ganasnya gelombang.

Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir jadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan harga BBM, harga bahan pokok, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistem pesisir, serta semakin maraknya penangkapan ikan secara ilegal. Perlahan tetapi pasti, kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang setia menekuni kearifan budaya bahari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar