Ancaman
Kemerdekaan Hakim
Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Kota Baru,
Kalimantan Selatan
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012
Tak lama lagi pilar penyangga lembaga
peradilan sebagai kekuasaan negara yang merdeka akan roboh.
Skema pelemahan penegakan hukum dan
intervensi politik terus merongrong independensi peradilan melalui cara-cara
yang inkonstitusional. Padahal, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan sikap
kemandirian hakim dari campur tangan pihak mana pun dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Intervensi otoritas politik terhadap hukum
paling mutakhir adalah rencana pemidanaan hakim yang melanggar kode etik dalam
memutus perkara. Diskursus itu mencuat dalam pleno Badan Legislasi DPR, belum
lama ini, yang membahas draf rencana perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung.
Latar belakang pemikiran tersebut bertolak
dari sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap hakim yang dinilai kurang
memberikan efek jera. Komisi III mengusulkan DPR memiliki kewenangan pengawasan
terkait putusan-putusan hakim yang dianggap kontroversial dan menjadi perhatian
publik. Di sinilah kemurnian putusan hakim akan diuji oleh semesta kepentingan
politik di dalamnya.
Upaya kekuasaan legislatif merecoki dunia
peradilan melalui produk-produk legislasi tersebut merupakan tindakan
inkonstitusional, mencabik imunitas yudisial, mencederai kemerdekaan hakim dan
cita-cita negara hukum yang steril dari otoritas mana pun. Ini pelanggaran
terbesar, di mana kekuasaan legislatif berusaha mengangkangi kekuasaan yudikatif.
Padahal, secara ketatanegaraan, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power).
Imunitas Yudisial
Idealnya, hasil kerja profesional hakim tidak
bisa direvisi oleh otoritas nonyudisial karena akan menyesatkan publik.
Masyarakat menjadi tidak percaya peradilan, marwah hakim turun, putusan sebagai
mahkota hakim tidak bertaji karena dimentahkan otoritas di luar pengadilan.
Padahal, entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya
imunitas yudisial atas hakim yang mengadili perkara. Karena itu, sepatutnya
kita kembali kepada norma dasar universal dan konstitusi negara kita bahwa
putusan hakim tidak boleh diintervensi atau diperbaiki oleh otoritas di luar
pengadilan.
Sebagai bentuk kontrol putusan pengadilan, UU
telah memberikan saluran resmi berupa upaya hukum. Dengan demikian, revisi
putusan hakim hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum yang lebih tinggi. Di
sinilah putusan hakim akan tergambar: apakah ada unsur pelanggaran kode etik,
salah menerapkan UU, dan sebagainya.
Jika dalih kegelisahan publik terhadap
kredibilitas hakim disebabkan makin jamak vonis bebas koruptor yang dianggap
kontroversial dan melenceng dari semangat pemberantasan korupsi, tidak berarti
putusan secara serampangan bisa diobok-obok otoritas nonyudisial. Hal yang
perlu diluruskan justru paradigma vonis bebas sebagai bentuk perlakuan hukum
terhadap seseorang yang menuntut kecermatan dan ketepatan prosedural dari
seorang hakim karena berimplikasi terhadap pemidanaan. Ada instrumen-instrumen
metodologi yang menjadi acuan hakim agar menerapkan hukum secara tepat dan
adil.
Nasib Hakim
Proses membangun profesionalisme tak bisa
sekonyongkonyong dengan menegakkan kode etik formalistis dan sanksi pemidanaan.
Hakim juga manusia biasa: punya keluarga, butuh peningkatan kualitas pendidikan
dan kesejahteraan memadai untuk menunjang tugas pokoknya.
Banyak hakim di daerah yang masih mengontrak
rumah petak, ke kantor naik angkot bersama pihak berperkara, dan meminjam uang
ke bank untuk menyambung hidup. Padahal, UU No 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengamanatkan bahwa hakim adalah pejabat negara yang mendapatkan
jaminan kesejahteraan atau tunjangan yang memadai dari negara.
Hakim selama ini (sengaja) diabaikan
kesejahteraannya oleh negara. Tunjangannya 11 tahun jalan di tempat dan gajinya
empat tahun terkunci. Bahkan, jika dihitung secara matematis, kini nasibnya
kalah tinggi dengan pegawai negeri sipil. Gaji hakim masa kerja 0 tahun Rp
1.976.000, lebih rendah dibandingkan dengan PNS pada golongan dan masa kerja
yang sama, yakni Rp 2.064.100.
Ada skema besar pelemahan penegakan hukum
melalui pemiskinan hakim. Ketika ”dapur” hakim diabaikan, ada ruang hukum bisa
ditawar, praktik suap tetap abadi, hakim tak fokus bekerja. Itulah sebabnya
hakim di daerah gencar mengampanyekan aksi mogok sidang sebagai bentuk protes
ketidakadilan negara.
Yakinlah, di Indonesia masih banyak hakim
berhati jujur yang tak kenal waktu memancangkan pilar-pilar keagungan hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar