Rabu, 11 April 2012

Ancaman Kemerdekaan Hakim


Ancaman Kemerdekaan Hakim
Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Kota Baru, Kalimantan Selatan
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012



Tak lama lagi pilar penyangga lembaga peradilan sebagai kekuasaan negara yang merdeka akan roboh.

Skema pelemahan penegakan hukum dan intervensi politik terus merongrong independensi peradilan melalui cara-cara yang inkonstitusional. Padahal, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan sikap kemandirian hakim dari campur tangan pihak mana pun dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Intervensi otoritas politik terhadap hukum paling mutakhir adalah rencana pemidanaan hakim yang melanggar kode etik dalam memutus perkara. Diskursus itu mencuat dalam pleno Badan Legislasi DPR, belum lama ini, yang membahas draf rencana perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Latar belakang pemikiran tersebut bertolak dari sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap hakim yang dinilai kurang memberikan efek jera. Komisi III mengusulkan DPR memiliki kewenangan pengawasan terkait putusan-putusan hakim yang dianggap kontroversial dan menjadi perhatian publik. Di sinilah kemurnian putusan hakim akan diuji oleh semesta kepentingan politik di dalamnya.

Upaya kekuasaan legislatif merecoki dunia peradilan melalui produk-produk legislasi tersebut merupakan tindakan inkonstitusional, mencabik imunitas yudisial, mencederai kemerdekaan hakim dan cita-cita negara hukum yang steril dari otoritas mana pun. Ini pelanggaran terbesar, di mana kekuasaan legislatif berusaha mengangkangi kekuasaan yudikatif. Padahal, secara ketatanegaraan, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).

Imunitas Yudisial

Idealnya, hasil kerja profesional hakim tidak bisa direvisi oleh otoritas nonyudisial karena akan menyesatkan publik. Masyarakat menjadi tidak percaya peradilan, marwah hakim turun, putusan sebagai mahkota hakim tidak bertaji karena dimentahkan otoritas di luar pengadilan. Padahal, entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya imunitas yudisial atas hakim yang mengadili perkara. Karena itu, sepatutnya kita kembali kepada norma dasar universal dan konstitusi negara kita bahwa putusan hakim tidak boleh diintervensi atau diperbaiki oleh otoritas di luar pengadilan.

Sebagai bentuk kontrol putusan pengadilan, UU telah memberikan saluran resmi berupa upaya hukum. Dengan demikian, revisi putusan hakim hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum yang lebih tinggi. Di sinilah putusan hakim akan tergambar: apakah ada unsur pelanggaran kode etik, salah menerapkan UU, dan sebagainya.

Jika dalih kegelisahan publik terhadap kredibilitas hakim disebabkan makin jamak vonis bebas koruptor yang dianggap kontroversial dan melenceng dari semangat pemberantasan korupsi, tidak berarti putusan secara serampangan bisa diobok-obok otoritas nonyudisial. Hal yang perlu diluruskan justru paradigma vonis bebas sebagai bentuk perlakuan hukum terhadap seseorang yang menuntut kecermatan dan ketepatan prosedural dari seorang hakim karena berimplikasi terhadap pemidanaan. Ada instrumen-instrumen metodologi yang menjadi acuan hakim agar menerapkan hukum secara tepat dan adil.

Nasib Hakim

Proses membangun profesionalisme tak bisa sekonyongkonyong dengan menegakkan kode etik formalistis dan sanksi pemidanaan. Hakim juga manusia biasa: punya keluarga, butuh peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan memadai untuk menunjang tugas pokoknya.

Banyak hakim di daerah yang masih mengontrak rumah petak, ke kantor naik angkot bersama pihak berperkara, dan meminjam uang ke bank untuk menyambung hidup. Padahal, UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa hakim adalah pejabat negara yang mendapatkan jaminan kesejahteraan atau tunjangan yang memadai dari negara.

Hakim selama ini (sengaja) diabaikan kesejahteraannya oleh negara. Tunjangannya 11 tahun jalan di tempat dan gajinya empat tahun terkunci. Bahkan, jika dihitung secara matematis, kini nasibnya kalah tinggi dengan pegawai negeri sipil. Gaji hakim masa kerja 0 tahun Rp 1.976.000, lebih rendah dibandingkan dengan PNS pada golongan dan masa kerja yang sama, yakni Rp 2.064.100.

Ada skema besar pelemahan penegakan hukum melalui pemiskinan hakim. Ketika ”dapur” hakim diabaikan, ada ruang hukum bisa ditawar, praktik suap tetap abadi, hakim tak fokus bekerja. Itulah sebabnya hakim di daerah gencar mengampanyekan aksi mogok sidang sebagai bentuk protes ketidakadilan negara.

Yakinlah, di Indonesia masih banyak hakim berhati jujur yang tak kenal waktu memancangkan pilar-pilar keagungan hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar