Rabu, 11 April 2012

ASEAN dan Sengketa Laut China Selatan

ASEAN dan Sengketa Laut China Selatan
Rizal Sukma, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012



Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, minggu lalu, berakhir dengan menyisakan satu persoalan rumit.

Negara-negara ASEAN belum berhasil menyatukan sikap mengenai bagaimana mengelola sengketa di Laut China Selatan yang belakangan ini kian panas. Proses pengelolaan sengketa yang melibatkan China dan empat negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei) itu kini memasuki tahapan penting dengan adanya rencana menyusun Code of Conduct (CoC) yang nantinya akan disepakati oleh semua negara anggota ASEAN dan China.

Namun, ASEAN belum menemukan titik pandang yang sama mengenai bagaimana perumusan CoC harus dilakukan. Negara-negara ASEAN terbelah dalam mendudukkan posisi dan peran China. Di satu pihak, sebagian negara ASEAN berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan Vietnam, bersikukuh ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dulu sebelum menyodorkan draf CoC untuk dinegosiasikan dengan China.

Pihak China tampaknya berpandangan bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa melibatkan mereka sejak awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang enggan merundingkan CoC setelah ASEAN memiliki posisi bersama mengenai masalah ini. Bagi China, keterlibatannya sejak awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN masih memiliki perbedaan pendapat, akan memberi keuntungan strategis dan taktis. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Presiden Hu Jintao, dalam lawatannya ke Kamboja beberapa hari sebelum KTT Ke-20 ASEAN, meminta bantuan Kamboja agar ASEAN ”tidak terburu-buru” dalam menyelesaikan rancangan CoC.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kapan China harus dilibatkan, ASEAN belum menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam CoC.

Filipina masih bersikukuh bahwa harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai wilayah- wilayah mana yang disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian negara ASEAN lainnya berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat sengketa atas kedaulatan dan yurisdiksi di Laut China Selatan mustahil diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk menyelesaikan sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme yang dapat mendorong kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah konflik dan mengelola krisis, serta menanggulangi insiden di laut.

Perburuk Citra ASEAN

Negara-negara ASEAN perlu menyadari bahwa perbedaan yang berlarut-larut di antara mereka akan melemahkan posisi dan memperburuk citra ASEAN. Perbedaan pendapat mengenai bentuk dan waktu keterlibatan China dalam perumusan CoC telah melahirkan spekulasi mengenai besarnya pengaruh China dalam melanggengkan perbedaan pendapat di tubuh ASEAN.

Keputusan Kamboja, sebagai tuan rumah KTT Ke-20 ASEAN, untuk tidak memasukkan soal Laut China Selatan ke dalam agenda resmi KTT dilihat sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan China terhadap negara itu. Dengan kata lain, apabila ASEAN tidak dapat menyatukan sikap sesegera mungkin, spekulasi yang mengatakan bahwa China berkemampuan dan berkepentingan untuk menekan ASEAN akan mendapat pembenaran.

Ketidakmampuan ASEAN merumuskan posisi bersama mengenai CoC juga akan melahirkan kritik bahwa keinginan ASEAN untuk memiliki suara yang sama sebagai satu komunitas dalam komunitas global bangsa-bangsa (ASEAN Community in a Global Community of Nations) masih merupakan cita-cita yang jauh dari harapan. Hal ini tentu saja berdampak pada keinginan ASEAN untuk tetap memainkan peran sentral di kawasan Asia Timur, khususnya dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar.

Mengikuti kehendak Kamboja untuk melibatkan China dari awal dalam merancang CoC, yang notabene merupakan keinginan RRC, akan melemahkan kredibilitas dan independensi ASEAN sebagai sebuah komunitas regional. ASEAN tidak perlu tunduk kepada tekanan negara besar mana pun dalam memutuskan apa yang menjadi kepentingannya di kawasan.

ASEAN tidak perlu terpengaruh pada posisi Beijing yang keberatan apabila ASEAN menyatukan posisinya terlebih dahulu sebelum memasuki meja perundingan dengan China. Sebab, seperti yang diamanatkan oleh Bali Concord III, ASEAN harus berusaha sekuat mungkin untuk berbicara dengan satu suara.

Namun, harus diakui pula, adalah tidak realistis apabila pandangan dan posisi China diabaikan sama sekali dalam proses ini. Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya CoC menjadi sebuah kenyataan akan bergantung pada kesediaan Beijing juga.

Oleh karena itu, ASEAN harus mencari bentuk konsultasi yang wajar dengan Beijing dalam proses merancang CoC tanpa harus melepaskan hak ASEAN untuk merumuskan posisi bersama terlebih dahulu. Hal itu antara lain dapat dilakukan melalui jalur-jalur tidak resmi (second track) atau jalur-jalur setengah resmi lainnya.

Indonesia berkewajiban, dan mampu, memainkan peran positif dan aktif untuk mencari jalan keluar dari kemacetan yang ada sekarang ini. Untuk itu, Indonesia—misalnya—dapat memulai dengan memprakarsai penyelenggaraan sebuah konferensi setengah resmi mengenai Laut China Selatan yang melibatkan para pejabat dan pakar dari negara-negara ASEAN dan China.

Kebuntuan diplomatik kadang kala dapat dipecahkan justru melalui pertemuan-pertemuan tidak resmi atau setengah resmi di antara pihak-pihak yang sedang bertikai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar