Harta Koruptor
Sudjito, Guru
Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak,
Dhana Widyatmika, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dan
pencucian uang terkait dengan rekening gendut yang dilaporkan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan.
Dhana Widyatmika (DW) memiliki harta yang
tidak sebanding dengan golongan kepegawaiannya berupa rekening senilai Rp 60
miliar dan beberapa harta lain (Kompas, 9/3/2012).
Benarkah dugaan kejahatan itu? Kita tunggu
hasil pemeriksaan pihak yang berwenang. Dalam sikap hormat terhadap hukum,
khususnya asas praduga tak bersalah, layak kasus itu jadi perhatian dan
pelajaran bagi siapa pun yang cinta harta. Ada orang miskin dengan cepat
menjadi kaya, tetapi setelah kaya justru tak bahagia karena terbebani oleh
hartanya dan secara tragis harta mengantarkannya ke penjara.
Ironis dan tragis, tapi sering terjadi di
kalangan elite politik dan birokrasi. Mestinya harta merupakan perhiasan dan
sarana hidup sehingga kehidupan lebih bahagia dan bermartabat.
Hukum positif sebenarnya telah cukup banyak
memberi rambu-rambu tentang tata cara perolehan dan penggunaan harta yang sah
dan benar. Moralitas hukum pun telah memberi ajaran mendasar tentang perbuatan-
perbuatan yang patut atau tidak patut dilakukan seseorang terhadap harta.
Mengapa mereka melanggar ugeran-ugeran itu? Beberapa pesan moral berikut pantas
kita perhatikan bersama.
Pertama, kejujuran. Setiap orang mesti jujur
dalam perolehan dan penggunaan harta. Bersikap terbuka ketika ada orang
mempertanyakannya. Tidak perlu khawatir atau waswas karena di atas kejujuran
segalanya mudah dipertanggungjawabkan. Apabila DW memang jujur, maka tegarlah
menghadapi pemeriksaan. Apabila tidak ada politik uang, maka tenang-tenanglah
para politikus, tak perlu bersilat lidah.
Namun, awas, pengalaman mengajarkan bahwa
pemilu, pilkada, dan sejenisnya selalu sarat dengan politik uang. Ujung-
ujungnya menyeret siapa pun yang terlibat untuk disidang di meja hijau dan
selanjutnya meringkuk di hotel prodeo. Becik ketitik ala ketara.
Kedua, pada harta kita ada hak-hak pihak
lain. Pihak lain itu tetangga, sanak saudara, fakir- miskin, bahkan negara.
Kewajiban membayar zakat dan pajak tak boleh dilalaikan. Apabila hak-hak mereka
kita berikan, berarti harta kita bersih. Harta bersih itu akan menjadi ”teman” kita, menghiasi kehidupan kita,
sehingga hidup terasa nyaman dan indah. Akrab, dihormati, dan disegani oleh
sesama dan dilin- dungi oleh negara. Yuk, kita mawas diri dengan kewajiban ini.
Sebaliknya, pemerintah jangan gegabah
mengatasnamakan negara untuk memeras rakyat dengan pajak atau sejenisnya.
Rakyat bukan sapi perahan atau tumbal untuk tegaknya pemerin- tahan yang
gonjang-ganjing, defisit keuangan, sebab salah urus.
Ketiga, berbuat keutamaan dengan bederma
kepada fakir- miskin. Minta-minta itu hina, dilarang, dan hanya dibenarkan
apabila kepepet: tidak ada makanan dan minuman barang sedikit pun untuk mengisi
perutnya yang kelaparan. Betapapun dilarang, kini secara sosial semakin banyak
saudara kita yang terpaksa minta-minta karena kemiskinan struktural. Itu hina,
tetapi sedikit lebih baik daripada mencuri atau korupsi.
Berilah mereka walau hanya seteguk air dan
sesuap nasi dengan cara terhormat, mendidik, diiringi senyum ramah. Jangan
sekali-kali mengumpatnya. Larangan memberi kepada anak jalanan tak boleh
sekadar mengurangi kemacetan lalu lintas dan kerawanan sosial, tetapi wajib
diikuti langkah konsekuen berupa pengayoman, perlindungan, dan pemenuhan hak
hidup mereka secara layak oleh negara.
Keempat, jangan sekali-kali mendaku dan
bermental sebagai orang miskin. Belajarlah menjadi orang kaya. Sikap
seolah-olah miskin dan diikuti dengan perburuan harta secara rakus, serakah,
dan menghalalkan segala cara dilukiskan sebagai ”mengumpulkan bara api”. Harta seperti itu panas dan membakar diri
dan keluarganya apabila dia makan.
Tidak ”Barokah”
Dalam bahasa awam, harta demikian tidak
barokah. Sebaliknya, orang yang belajar kaya akan suka bederma dan tabu
mengulurkan tangan di bawah. Dia sadar akan hal-hal yang dapat merendahkan
harga diri dan martabatnya. Alangkah indah kehidupan bersama ini jika
nirkemiskinan dan disemarakkan perlombaan belajar jadi orang kaya.
Orang yang sudah kaya (politikus, pengusaha,
pegawai pajak, pegawai bea cukai, notaris, birokrat, dan lain-lain) tentu tidak
perlu lagi belajar memberi, tetapi bersihkan hartamu dan tingkatkan kadar
kedermawananmu dengan ikhlas.
Kita, sebagaimana Gayus, DW, ataupun para
koruptor, hanyalah manusia biasa yang rentan terhadap berjangkitnya harta kotor
dan panas. Tapi kita bersyukur di negeri ini ada UU Pencucian Uang. UU itu
tidak perlu berlaku bagi kita kalau harta sudah kita bersihkan sendiri terlebih
dulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar