DPR,
Penghematan dan Kegagalan Rekrutmen
Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie
Center
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 April 2012
DPR
kembali mendapatkan kritik dan sorotan tajam publik. Kali ini dipicu rencana
studi banding para anggotanya. Sebagaimana kita ketahui bersama DPR akan
memasuki masa reses pada April ini. Seperti masa-masa reses terdahulu, DPR juga
akan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri di masa reses kali ini.
Salah
satu komisi yang akan melakukan kunjungan kerja itu adalah Komisi VIII. Komisi
DPR yang membidangi masalah agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan ini akan
melakukan kunjungan kerja ke Denmark dan Norwegia dalam rangka mencari
masukan guna menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan Gender.
Selain
Komisi VIII, Komisi I juga berencana melakukan kunjungan kerja ke empat negara,
yaitu Republik Cek, Polandia, Afrika Selatan, dan Jerman. Komisi I berdalih
kunjungan kerja ini dalam rangka mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia
di negara-negara itu dan Kementerian Pertahanan Jerman terkait informasi
pabrikan tank Leopard.
Namun,
sejumlah pihak menilai rencana itu kontraproduktif dengan upaya penghematan
yang saat ini digalakkan pemerintah akibat defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) menyusul pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM).
Bahkan,
Menko Perekonomian Hatta Rajasa turut menyoroti tingkah laku anggota DPR yang
gemar melakukan perjalanan dinas dan studi banding ke luar negeri. Hatta
berharap DPR juga melakukan penghematan sebagaimana dilakukan
kementerian-kementerian dan lembaga negara. Lebih jauh, ia menyarankan agar
studi banding dalam rangka penyusunan sebuah RUU dapat dilakukan melalui
teknologi internet.
Publik
tentu patut miris melihat kinerja para wakil mereka di parlemen. Sejatinya DPR
dapat menjadi sebuah lembaga negara yang berwibawa dan terhormat melalui
peningkatan sisi sensitivitas para anggotanya. Faktor utama penyebab rendahnya
sisi sensitivitas para anggota dewan dapat ditelaah dalam dua kemungkinan.
Pertama,
sebagian besar anggota dewan agaknya masih belum dapat menghalau citra DPR di
masa lalu sebagai sebuah institusi politik yang sangat inferior di hadapan
lembaga eksekutif.
Di
masa Orde Baru, DPR dipandang sebagai institusi politik yang lemah akibat terlampau
dominannya lembaga eksekutif sehingga DPR mengalami perasaan rendah diri di
hadapan publik. Kini, setelah saluran demokrasi terbuka dan terjadi penambahan
kewenangan politik, DPR pun mengalami euforia politik berlebihan hingga lupa
diri.
Kedua,
kewenangan besar yang dimiliki DPR dewasa ini secara tidak langsung telah
membuat para anggota dewan cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap aspirasi
publik. Sebagaimana kita ketahui bersama, melalui empat tahap amendemen
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kini DPR telah menjelma menjadi sebuah lembaga
yang memiliki kewenangan sangat besar. Hal itu antara lain terlihat jelas dalam
beberapa pasal hasil amendemen, seperti Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20 A, Pasal
21, Pasal 22, Pasal 22 A, dan Pasal 22 B.
Besarnya
kewenangan dan kekuasaan DPR akan semakin terasa dalam hal relasi dengan
lembaga eksekutif. Watak legislative heavy sangat menonjol dalam
praktik-praktik pengawasan DPR terhadap pemerintah. Watak itu juga terlihat
dalam hal pemilihan para pejabat kunci negara, seperti Gubernur Bank Indonesia,
Kapolri, dan jabatan politik kenegaraan lainnya.
Hampir
tidak ada kebijakan lembaga eksekutif yang tidak dapat diintervensi oleh DPR.
Intervensi politik berlebihan dari DPR terhadap lembaga eksekutif berpotensi
menimbulkan berbagai distorsi dalam implementasi sistem presidensialisme di
Indonesia.
Kegagalan
Rekrutmen
Sulit
dipungkiri bahwa sesungguhnya sumbu utama kekuasaan DPR bukanlah berada di
daerah pemilihan tempat para anggota dewan tersebut berasal, melainkan berada
di kantor dewan pimpinan pusat masing-masing partai politik.
Dominasi
partai politik terasa sangat kental mewarnai sepak terjang DPR pada era
reformasi. Partai politik telah menjadikan DPR sebagai the site of power
struggle bagi segala kepentingan mereka. Loyalitas para anggota dewan kepada
elite pimpinan partai politik jauh lebih tinggi ketimbang loyalitas kepada
konstituen mereka di daerah pemilihan.
Dalam
konteks itu, kita dapat mengerti mengapa berbagai kritik publik terhadap
kinerja DPR tidak kunjung mendapat tanggapan memuaskan. Karena itu, hemat
penulis, segala upaya untuk melakukan pembenahan terhadap DPR tidak akan
membuahkan hasil maksimal tanpa juga melakukan hal serupa di tubuh partai
politik.
Jika
diletakkan dalam konteks kehidupan kepartaian di Indonesia, tingkah laku
memprihatinkan yang selama ini dipertontonkan para anggota dewan sangat terkait
erat dengan masalah rekrutmen partai politik. Bukan perkara sulit untuk tampil
menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih memuja euforia politik
seperti Indonesia saat ini.
Keengganan
partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika
sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif (caleg) turut memberikan
andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas
kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah dengan
minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) caleg bersangkutan.
Padahal,
informasi mengenai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk
melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah pada
caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik tentu lebih mudah menguji janji
kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini.
Kesalahan
partai politik dalam proses perekrutan caleg inilah yang kemudian mendorong
munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan
etika para anggota dewan.
Realitas
itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai politik lebih
cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finansial semata dalam
melakukan perekrutan caleg. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar