Jumat, 13 April 2012

DPR, Penghematan dan Kegagalan Rekrutmen

DPR, Penghematan dan Kegagalan Rekrutmen
Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 April 2012


DPR kembali mendapatkan kritik dan sorotan tajam publik. Kali ini dipicu rencana studi banding para anggotanya. Sebagaimana kita ketahui bersama DPR akan memasuki masa reses pada April ini. Seperti masa-masa reses terdahulu, DPR juga akan melakukan kunjungan kerja ke luar negeri di masa reses kali ini.

Salah satu komisi yang akan melakukan kunjungan kerja itu adalah Komisi VIII. Komisi DPR yang membidangi masalah agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan ini akan melakukan kunjungan kerja ke Denmark dan Norwegia dalam rangka  mencari masukan guna menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesetaraan Gender. 

Selain Komisi VIII, Komisi I juga berencana melakukan kunjungan kerja ke empat negara, yaitu Republik Cek, Polandia, Afrika Selatan, dan Jerman. Komisi I berdalih kunjungan kerja ini dalam rangka mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara-negara itu dan Kementerian Pertahanan Jerman terkait informasi pabrikan tank Leopard.

Namun, sejumlah pihak menilai rencana itu kontraproduktif dengan upaya penghematan yang saat ini digalakkan pemerintah akibat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menyusul pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa turut menyoroti tingkah laku anggota DPR yang gemar melakukan perjalanan dinas dan studi banding ke luar negeri. Hatta berharap DPR juga melakukan penghematan sebagaimana dilakukan kementerian-kementerian dan lembaga negara. Lebih jauh, ia menyarankan agar studi banding dalam rangka penyusunan sebuah RUU dapat dilakukan melalui teknologi internet.

Publik tentu patut miris melihat kinerja para wakil mereka di parlemen. Sejatinya DPR dapat menjadi sebuah lembaga negara yang berwibawa dan terhormat melalui peningkatan sisi sensitivitas para anggotanya. Faktor utama penyebab rendahnya sisi sensitivitas para anggota dewan dapat ditelaah dalam dua kemungkinan.

Pertama, sebagian besar anggota dewan agaknya masih belum dapat menghalau citra DPR di masa lalu sebagai sebuah institusi politik yang sangat inferior di hadapan lembaga eksekutif.

Di masa Orde Baru, DPR dipandang sebagai institusi politik yang lemah akibat terlampau dominannya lembaga eksekutif sehingga DPR mengalami perasaan rendah diri di hadapan publik. Kini, setelah saluran demokrasi terbuka dan terjadi penambahan kewenangan politik, DPR pun mengalami euforia politik berlebihan hingga lupa diri.

Kedua, kewenangan besar yang dimiliki DPR dewasa ini secara tidak langsung telah membuat para anggota dewan cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap aspirasi publik. Sebagaimana kita ketahui bersama, melalui empat tahap amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kini DPR telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar. Hal itu antara lain terlihat jelas dalam beberapa pasal hasil amendemen, seperti Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20 A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 A, dan Pasal 22 B.

Besarnya kewenangan dan kekuasaan DPR akan semakin terasa dalam hal relasi dengan lembaga eksekutif. Watak legislative heavy sangat menonjol dalam praktik-praktik pengawasan DPR terhadap pemerintah. Watak itu juga terlihat dalam hal pemilihan para pejabat kunci negara, seperti Gubernur Bank Indonesia, Kapolri, dan jabatan politik kenegaraan lainnya.

Hampir tidak ada kebijakan lembaga eksekutif yang tidak dapat diintervensi oleh DPR. Intervensi politik berlebihan dari DPR terhadap lembaga eksekutif berpotensi menimbulkan berbagai distorsi dalam implementasi sistem presidensialisme di Indonesia.

Kegagalan Rekrutmen

Sulit dipungkiri bahwa sesungguhnya sumbu utama kekuasaan DPR bukanlah berada di daerah pemilihan tempat para anggota dewan tersebut berasal, melainkan berada di kantor dewan pimpinan pusat masing-masing partai politik.

Dominasi partai politik terasa sangat kental mewarnai sepak terjang DPR pada era reformasi. Partai politik telah menjadikan DPR sebagai the site of power struggle bagi segala kepentingan mereka. Loyalitas para anggota dewan kepada elite pimpinan partai politik jauh lebih tinggi ketimbang loyalitas kepada konstituen mereka di daerah pemilihan.

Dalam konteks itu, kita dapat mengerti mengapa berbagai kritik publik terhadap kinerja DPR tidak kunjung mendapat tanggapan memuaskan. Karena itu, hemat penulis, segala upaya untuk melakukan pembenahan terhadap DPR tidak akan membuahkan hasil maksimal tanpa juga melakukan hal serupa di tubuh partai politik.

Jika diletakkan dalam konteks kehidupan kepartaian di Indonesia, tingkah laku memprihatinkan yang selama ini dipertontonkan para anggota dewan sangat terkait erat dengan masalah rekrutmen partai politik. Bukan perkara sulit untuk tampil menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih memuja euforia politik seperti Indonesia saat ini.

Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif (caleg) turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah dengan minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) caleg bersangkutan.

Padahal, informasi mengenai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik tentu lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini.

Kesalahan partai politik dalam proses perekrutan caleg inilah yang kemudian mendorong munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota dewan.

Realitas itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai politik lebih cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finansial semata dalam melakukan perekrutan caleg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar