Hakim
Dunia-Akhirat
Nur Kholis Anwar, Direktur Center for Study of
Islamic and Politic (CSIP)
UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 April 2012
Ibarat
pertunjukan wayang, hakim adalah kesatria yang berperan sebagai pembela
kebenaran dan penegak keadilan. Dalam teologi keagamaan, hakim sebagai wakil
Tuhan di bumi. Apa yang menjadi keputusan hakim adalah final.
Keputusan
hakim yang gegabah akan berakibat fatal terhadap proses hukum selanjutnya.
Karena itu, tidak semua orang bisa menjadi hakim. Selain independen, hakim juga
harus mempunyai profesionalitas tinggi untuk memutuskan suatu perkara hukum.
Di
Indonesia, hakim disebut sebagai pejabat negara setingkat dengan eksekutif dan
yudikatif. Sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Hakim, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pemberian
Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas. Dengan demikian, bisa dikatakan posisi
jabatan sebagai hakim adalah sama halnya dengan pejabat negara.
Dengan
posisi hakim yang tergolong istimewa tersebut, patut bagi mereka untuk
mendapatkan hak-hak konstitusionalnya, antara lain mengenai gaji atau pensiun
atau tunjangan bulan tiga kelas sebagaimana UU No 54 Tahun 2010 di atas.
Banyak
hakim yang mengeluh lantaran gajinya tidak sepadan dengan profesionalitas
mereka dalam menegakkan hukum. Bahkan, gaji hakim lebih rendah daripada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang setiap tahun naik.
Jika
dikalkulasikan, besaran gaji pokok hakim saat ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2008 yaitu golongan III/a senilai Rp 1.976.000
dalam masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e masa kerja 32 tahun
mendapat Rp 4.978.000.
Hingga
sekarang gaji pokok hakim masih tetap sama dan belum ada kenaikan. Begitu juga
dengan tunjangan hakim yang sudah sebelas tahun tidak dinaikkan. Dalam hal ini,
tunjangan jabatan hakim juga diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89
Tahun 2001.
Karena
tidak adanya kenaikan gaji pokok dan tunjangan hakim inilah yang menjadi sebab
para hakim yang terkumpul dalam Gerakan Progresif Hakim Indonesia, akan mogok
sidang jika tuntutannya tersebut tidak direalisasikan. Permasalahan ini
sebenarnya adalah persoalan internal para hakim sendiri.
Rawan
Suap
Pergolakan
para hakim tersebut sedikit banyak telah membuka mata kita untuk mengetahui
lebih jauh bahwa di Indonesia, perselingkuhan hukum, politik, pengusaha dan
uang hampir tidak bisa dielakkan. Bahkan, hukum hampir tidak ada bedanya dengan
politik, hanya peranannya yang berbeda. Permasalahannya bukan hanya pada gaji
hakim, tetapi juga proses hukum yang akan sangat rawan dengan suap jika gaji
hakim rendah.
Tulisan
ini bukan kampanye agar gaji hakim dinaikkan, tetapi lebih sebagai refleksi
banyaknya kasus terpidana korupsi yang bisa bermain-main dengan hukum lantaran
kuasa uang. Tidak hanya itu, bahkan dengan uang hukum bisa dibeli berapa pun
harganya. Realitas ini yang kemudian membuat kita berpikir ulang mengenai
posisi hakim dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Jual beli hukum yang
semakin menjamur di Indonesia tentunya merupakan permasalahan besar yang patut
diselesaikan.
Kita
sebut saja berbagai koruptor yang bebas keluar masuk tahanan karena bisa
membeli hukum. Atau bahkan tidak tersangkut hukum sama sekali lantaran hakim
sudah dibeli si koruptor tersebut. Di sinilah sebenarnya pertaruhan
independensi hakim.
Ketika
hakim sudah goyah dengan iming-iming uang atau kekuasaan, independensi akan
runtuh dengan sendirinya. Jadi, yang perlu dibenahi saat ini adalah bukan hanya
soal gaji hakim yang tak kunjung naik, tetapi juga bagaimana pelaksanaan hukum
yang baik dan profesional tanpa ada tunggangan politik uang.
Apa
yang dilakukan para hakim tersebut merupakan langkah benar, yaitu untuk meminta
hak-hak konstitusionalnya sebagaimana yang sudah diatur dalam undang-undang di
atas. Hakim berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sepadan atau bahkan
lebih tinggi dari gaji PNS. Profesionalitas mereka dalam mengawal berjalannya
hukum di Indonesia sudah terlihat jelas.
Satu
yang patut dipertanyakan kembali adalah aksi mogok sidang oleh hakim jika
pemerintah tidak segera memenuhi permintaan para hakim tersebut. Tentunya aksi
mogok tersebut tidak relevan. Ini karena profesi hakim sebagai wakil Tuhan yang
seyogianya sedia melayani proses hukum di Indonesia. Secara sepihak, akan
muncul banyak tafsir miring mengenai mogok sidang hakim tersebut.
Dalam
hal ini, sebagian besar masyarakat tentunya mendukung usulan para hakim agar
mendapatkan hak-hak konstitusionalnya sebagai pejabat negara. Tetapi, aksi
mogok memiliki implikasi dan komplikasi persoalan yang jauh lebih serius.
Masyarakat akan mempertanyakan kembali niat mereka dalam menerima panggilan
tugas sebagai hakim. Sebagai orang yang akan mempertangungjawabkan semua
keputusan yang diambilnya, hanya kepada Tuhan.
Parlemen
dan pemerintah sama-sama punya andil kesalahan yang menjadikan perlakuan kepada
hakim sebagai pejabat negara terabaikan. Apa yang dilakukan para hakim ini
tentunya menjadi momentum perubahan agar pemerintah juga sama-sama memikirkan
nasib para hakim sebagai pejabat negara.
Pada
intinya, dalam upaya mengawal negara Indonesia menjadi lebih baik, kerja sama
antara pihak pemerintah beserta elemen-elemennya dan masyarakat menjadi kunci
utamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar