Jumat, 13 April 2012

Hakim Dunia-Akhirat


Hakim Dunia-Akhirat
Nur Kholis Anwar, Direktur Center for Study of Islamic and Politic (CSIP)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER : SINAR HARAPAN, 12 April 2012


Ibarat pertunjukan wayang, hakim adalah kesatria yang berperan sebagai pembela kebenaran dan penegak keadilan. Dalam teologi keagamaan, hakim sebagai wakil Tuhan di bumi. Apa yang menjadi keputusan hakim adalah final.

Keputusan hakim yang gegabah akan berakibat fatal terhadap proses hukum selanjutnya. Karena itu, tidak semua orang bisa menjadi hakim. Selain independen, hakim juga harus mempunyai profesionalitas tinggi untuk memutuskan suatu perkara hukum.

Di Indonesia, hakim disebut sebagai pejabat negara setingkat dengan eksekutif dan yudikatif. Sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas. Dengan demikian, bisa dikatakan posisi jabatan sebagai hakim adalah sama halnya dengan pejabat negara.

Dengan posisi hakim yang tergolong istimewa tersebut, patut bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya, antara lain mengenai gaji atau pensiun atau tunjangan bulan tiga kelas sebagaimana UU No 54 Tahun 2010 di atas.

Banyak hakim yang mengeluh lantaran gajinya tidak sepadan dengan profesionalitas 
mereka dalam menegakkan hukum. Bahkan, gaji hakim lebih rendah daripada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang setiap tahun naik.

Jika dikalkulasikan, besaran gaji pokok hakim saat ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2008 yaitu golongan III/a senilai Rp 1.976.000 dalam masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e masa kerja 32 tahun mendapat Rp 4.978.000.

Hingga sekarang gaji pokok hakim masih tetap sama dan belum ada kenaikan. Begitu juga dengan tunjangan hakim yang sudah sebelas tahun tidak dinaikkan. Dalam hal ini, tunjangan jabatan hakim juga diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89 Tahun 2001.

Karena tidak adanya kenaikan gaji pokok dan tunjangan hakim inilah yang menjadi sebab para hakim yang terkumpul dalam Gerakan Progresif Hakim Indonesia, akan mogok sidang jika tuntutannya tersebut tidak direalisasikan. Permasalahan ini sebenarnya adalah persoalan internal para hakim sendiri.

Rawan Suap

Pergolakan para hakim tersebut sedikit banyak telah membuka mata kita untuk mengetahui lebih jauh bahwa di Indonesia, perselingkuhan hukum, politik, pengusaha dan uang hampir tidak bisa dielakkan. Bahkan, hukum hampir tidak ada bedanya dengan politik, hanya peranannya yang berbeda. Permasalahannya bukan hanya pada gaji hakim, tetapi juga proses hukum yang akan sangat rawan dengan suap jika gaji hakim rendah.

Tulisan ini bukan kampanye agar gaji hakim dinaikkan, tetapi lebih sebagai refleksi banyaknya kasus terpidana korupsi yang bisa bermain-main dengan hukum lantaran kuasa uang. Tidak hanya itu, bahkan dengan uang hukum bisa dibeli berapa pun harganya. Realitas ini yang kemudian membuat kita berpikir ulang mengenai posisi hakim dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Jual beli hukum yang semakin menjamur di Indonesia tentunya merupakan permasalahan besar yang patut diselesaikan.

Kita sebut saja berbagai koruptor yang bebas keluar masuk tahanan karena bisa membeli hukum. Atau bahkan tidak tersangkut hukum sama sekali lantaran hakim sudah dibeli si koruptor tersebut. Di sinilah sebenarnya pertaruhan independensi hakim.

Ketika hakim sudah goyah dengan iming-iming uang atau kekuasaan, independensi akan runtuh dengan sendirinya. Jadi, yang perlu dibenahi saat ini adalah bukan hanya soal gaji hakim yang tak kunjung naik, tetapi juga bagaimana pelaksanaan hukum yang baik dan profesional tanpa ada tunggangan politik uang.

Apa yang dilakukan para hakim tersebut merupakan langkah benar, yaitu untuk meminta hak-hak konstitusionalnya sebagaimana yang sudah diatur dalam undang-undang di atas. Hakim berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sepadan atau bahkan lebih tinggi dari gaji PNS. Profesionalitas mereka dalam mengawal berjalannya hukum di Indonesia sudah terlihat jelas.

Satu yang patut dipertanyakan kembali adalah aksi mogok sidang oleh hakim jika pemerintah tidak segera memenuhi permintaan para hakim tersebut. Tentunya aksi mogok tersebut tidak relevan. Ini karena profesi hakim sebagai wakil Tuhan yang seyogianya sedia melayani proses hukum di Indonesia. Secara sepihak, akan muncul banyak tafsir miring mengenai mogok sidang hakim tersebut.

Dalam hal ini, sebagian besar masyarakat tentunya mendukung usulan para hakim agar mendapatkan hak-hak konstitusionalnya sebagai pejabat negara. Tetapi, aksi mogok memiliki implikasi dan komplikasi persoalan yang jauh lebih serius. Masyarakat akan mempertanyakan kembali niat mereka dalam menerima panggilan tugas sebagai hakim. Sebagai orang yang akan mempertangungjawabkan semua keputusan yang diambilnya, hanya kepada Tuhan.

Parlemen dan pemerintah sama-sama punya andil kesalahan yang menjadikan perlakuan kepada hakim sebagai pejabat negara terabaikan. Apa yang dilakukan para hakim ini tentunya menjadi momentum perubahan agar pemerintah juga sama-sama memikirkan nasib para hakim sebagai pejabat negara.

Pada intinya, dalam upaya mengawal negara Indonesia menjadi lebih baik, kerja sama antara pihak pemerintah beserta elemen-elemennya dan masyarakat menjadi kunci utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar