Jumat, 13 April 2012

Musibah Perginya Para Pagar Kehidupan


Musibah Perginya Para Pagar Kehidupan
Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jatim dan Ketua PB NU
SUMBER : JAWA POS, 13 April 2012


INNALILLAHI wa inna ilaihi rojiun. Kalimat ini begitu sering muncul dari umat Islam Jatim beberapa waktu terakhir. Sejumlah romo kiai Jatim yang mengakar dengan masyarakat berpulang. Sebutlah KH Abdullah Faqih (Langitan), KH Fawaid As'ad (Asembagus), KH Imam Yahya Mahrus (Lirboyo), KH Ahmad Sofyan Mifatul Arifin (Situbondo), KH Ahmad Zamakhsyari (Malang), KH Munif Djazuli (Ploso), serta beberapa ulama lain, baik yang kita kenal maupun yang kehadirannya hanya kita rasakan melalui untaian doa-doa mereka yang setia menemani kita.

Mereka adalah orang-orang tua yang teramat kita cintai karena kedalaman ilmunya, keluasan makrifatnya, serta kepeduliannya yang tinggi terhadap kehidupan umat. Mereka telah meninggalkan kita, para santri dan murid-muridnya, untuk selamanya. Sebagai anak kandung-anak kandung kealiman dan saksi kebaikannya, kita hanya mampu bergumam, "Allahummaghfir lahum warhamhum wa 'aafihim wa'fu 'anhum (duhai Gusti, ampunilah mereka, sayangilah mereka, sejahterakanlah serta maafkanlah mereka)".

Kehilangan ulama ibarat kehilangan kompas kehidupan. Terlebih selama hidupnya, para ulama itu siang-malam, selama 24 jam, telah menjelma lilin yang terus membakar dirinya agar bisa menerangi lingkungannya. Mereka adalah mata air kehidupan yang tak pernah kering dan tak kenal musim. Ketika prahara kehidupan membuat kita menjauh dari nilai-nilai luhur, para ulama selalu siap sedia menerima "kepulangan" kita yang secara spiritual sudah compang-camping dan secara agama sudah kehilangan arah. Mereka adalah pagar kehidupan masyarakat.

Dalam beberapa tahun ke depan, dalam sisa-sisa usia kita, kita tidak akan lagi mendengar suara para pewaris (ahli waris) para nabi yang khas, lembut, menyelusup memasuki ruangan yang biasa kita siapkan untuk menyimpan petuah, wejangan, ajaran, serta pesan-pesannya yang luhur. Wajahnya yang teduh, tetapi penuh perbawa telah membuat kita tak mampu mengangkat muka di hadapan mereka karena rasa malu yang menyergap.

Malu karena terlalu sering meminta nasihat, tetapi terlalu sering pula kita mengabaikannya. Sekaligus juga tidak pernah kapok untuk sowan kepada mereka. Ibarat sambal yang pedas, penerimaannya kepada kita yang tulus telah membuat kita "kecanduan" akan petuah-petuahnya. Ulama-romo kiai yang kita sayangi memang kerap membuat kita ketakutan karena kita terlalu sering tidak mengindahkan isyarat-isyarat "tersembunyi" yang mereka sampaikan. Terlebih, jika kita takut akan sesuatu, kita akan lari menjauh dan menghindarinya. Tetapi, jika takut kepada ulama, kita akan lari mendekat, berharap pengayomannya.

Mari Menebar Manfaat

Hadis riwayat Imam Bukhari menyebutkan, "...InnalLaaha laa yaqbidhul 'ilma intizaa-'an, yantazi'uhuu minal 'ibaad, wa laakin yaqbidhul 'ilma bi qobdhil ulamaa (Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu langsung dari para hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan "mencabut" para ulama)".

Musibah kehilangan orang yang kita cinta akan terus terjadi. Soal apakah kita mampu memperoleh hikmah atau tidak, itu amat bergantung kepada kita yang merasa kehilangan. Satu yang pasti, inilah skenario yang menjadi ketetapan Allah. Tidak ada ketetapan Allah yang tidak menghadirkan hikmah. Paling kurang, kepergian seorang ulama memastikan kita semua untuk selalu bersiap menerima kehadiran ulama-ulama muda sebagai penggantinya. Meski, tentu saja dengan kualifikasi yang berbeda-beda.

Para ulama tumbuh, berkembang, menebar manfaat, lalu pergi meninggalkan kita dengan berbagai situasi kemasyarakatan yang melingkupinya. Sebagai pewaris (ahli waris) para nabi -al-ulamaa-u warotasul anbiyaa-, para ulama akan terus bermunculan sebagai konsekuensi logis dari turunnya risalah dan nubuwah ke dunia ini. Wahyu memang sudah terputus, tetapi firman-firman suci tetap akan meluncur melalui para ahli waris kenabian, yakni para ulama sebagaimana ulama-ulama kita yang baru lalu diwafatkan oleh-Nya.

Mereka adalah sekelompok orang kepercayaan Allah di muka bumi ini -al-alimu amiinullaah fil ardhi. Mereka adalah seutama-utama manusia mukmin yang jika diperlukan, mereka akan berguna. Tetapi, jika tidak diperlukan sekalipun, mereka akan dapat mengurus diri sendiri. Ulama di mana pun berada, terlebih di Jawa Timur yang kuat tradisi kepesantrenannya, telah mengambil peran sejarah begitu besar sehingga mustahil mengabaikan kehadirannya dalam kehidupan masyarakat, kini dan yang akan datang.

Hanya memang, kehilangan ulama dengan ilmunya oleh Baginda Rasulullah diisyaratkan sebagai telah dekatnya hari yang dinanti, hari kiamat. "Inna min asyroothis saa-'ah an yurfa-'al ilmu (sesungguhnya di antara isyarat-tanda akan segera tibanya hari kiamat adalah terangkatnya ilmu)." (HR Imam Bukhari).

Musibah kehilangan ulama menyiratkan pesan bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya tanpa kecuali, dalam keadaan siap ataupun dalam keadaan terpaksa. Kita berharap dapat dikumpulkan kembali dengan para ulama kita di surga. Agama mengajarkan, mereka yang kuat silaturahminya akan selalu bersama dengan orang dicintainya di akhirat. Semoga kita bisa mengambil ibrah yang sebesar-besarnya dari kepergian para ulama kita. Wallaahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar