Bila
Tersangka Tampil Saleh
Budi Hatees, Peneliti di Matakata Institute
SUMBER : KORAN TEMPO, 11 April 2012
Di ruang-ruang sidang pengadilan, di tempat
para pelaku kejahatan menunggu vonis hukuman dari hakim, kita bisa menyaksikan
paradoksnya manusia. Para tersangka, orang-orang yang secara hukum melakukan
pelanggaran--merampok, mencuri, melakukan korupsi, membunuh, atau
memperkosa--selalu tampil saleh.
Pada pertengahan 2009, di ruang sidang
Pengadilan Negeri Tanjungkarang, seorang laki-laki bertubuh gendut duduk di
kursi terdakwa dengan penampilan yang sangat saleh. Ia mengenakan topi haji,
baju koko, kain sarung motif kotak-kotak, dan jemarinya menggenggam tasbih.
Selama mengikuti persidangan, mulutnya bergetar entah menguntai asma Allah,
sedangkan jemarinya yang gemuk menera sebiji demi sebiji tasbih dari pohon
koka. Ia lebih tampak seperti seseorang yang hendak menunaikan ibadah salat
Jumat atau lebih mirip seorang dai yang hendak memberi ceramah agama. Sama
sekali tidak ada kesan ia seorang tersangka kasus korupsi dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lampung Timur tahun anggaran 2007.
Namanya Satono. Haji Satono. Bupati Lampung
Timur itu didakwa melakukan korupsi dana APBD Lampung Timur pada 2007. Tapi,
setelah proses penyidikan, penyelidikan, dan persidangan yang panjang dan
melelahkan banyak pihak, ia dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Masyarakat
Kabupaten Lampung Timur, yang merasa dirugikan karena korupsi itu menyebabkan
krisis anggaran belanja daerah berkepanjangan, tidak terima keputusan bebas
tersebut. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa, dan Satono bisa menghirup
udara bebas sebagai mantan tersangka kasus korupsi.
Akhir-akhir ini Satono sering tersenyum
ketika banyak kalangan mengait-ngaitkan namanya sebagai orang yang bisa menuai
kemenangan jika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah Gubernur Lampung
yang akan segera digelar. Sangat mungkin ia akan menjadi Gubernur Lampung
mengingat keandalannya dalam memenangi pilkada Lampung Timur pada saat dirinya
dinyatakan sebagai tersangka.
Ketika berstatus tersangka, ia bisa memenangi
pilkada Lampung Timur. Setelah dilantik Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.
sebagai Bupati Lampung Timur, barulah kejaksaan menggelar persidangan kasus
korupsi yang mendudukkan Satono sebagai tersangka. Ajaibnya, Satono tidak
terbukti melakukan korupsi, padahal sebagai Bupati Lampung Timur seharusnya ia
bertanggung jawab atas mengalirnya dana APBD dari kas pemerintah di Bank
Lampung ke rekening di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tripanca. BPR Tripanca
ditutup oleh Bank Indonesia Lampung karena mengalami masalah likuidasi, yang
menyebabkan dana APBD Lampung Timur tidak bisa dicairkan.
Adakah penampilan Satono yang saleh
berkorelasi dengan putusan bebas pengadilan? Mungkin saja ada korelasinya, mungkin
juga tidak sama sekali. Yang jelas, mereka yang dinyatakan sebagai tersangka
dalam kasus berbagai tindak pidana di negeri ini, yang didudukkan di kursi
pesakitan dalam sebuah proses persidangan, selalu saja tampil saleh. Seorang
pemerkosa, penipu yang sudah berkali-kali keluar-masuk penjara, atau pembunuh
yang suka memutilasi korbannya--tidak peduli latar belakang sosial, kultur,
agama, ekonomi, dan politiknya--pasti akan tampil saleh menggunakan
simbol-simbol kesalehan dari lingkungan umat Islam jika duduk di kursi
terdakwa.
Kita tak pernah tahu kenapa para tersangka
harus memakai simbol-simbol agama Islam. Adakah mereka hendak membangun semacam
stigma bahwa umat Islam adalah entitas yang selalu akan menjadi tersangka.
Ataukah hanya simbol-simbol dari lingkungan umat Islam itu yang paling mewakili
kesalehan di negeri ini?
Tapi apakah sebuah keharusan untuk tampil
saleh sekalipun Anda sesungguhnya bukan orang yang saleh? "Anda sama
sekali tak perlu tampil saleh," kata John J. O'Connor, Uskup Agung di New
York, yang berceramah di televisi dengan mengenakan topi bisbol dan melontarkan
lelucon-lelucon yang menggelitik, termasuk mencemooh pejabat pemerintah yang
hadir mendengarkan ceramahnya. Kalimat O'Connor dikutip Neil Postman dalam
bukunya, Amusing Ourselves to Death (1985).
Tentu konteks pembicaraan Postman bukanlah
penampilan saleh para tersangka tindak pidana di Indonesia. Postman sedang
membicarakan dakwah-dakwah agama di era budaya televisi. Satu hal yang
ditegaskan Postman, budaya televisi menuntut siapa saja menyuguhkan sebuah
pertunjukan, sebuah entertainment, sekalipun yang disampaikan adalah
hal-hal serius seperti firman-firman dalam kitab suci berbagai agama.
Postman berbicara tentang strategi
penyampaian pesan yang tidak cuma harus disesuaikan dengan segmentasi
komunikan, tapi juga harus memahami jenis medium yang dipergunakan. Dengan
medium televisi, yang dalam perkembangannya saat ini cenderung diposisikan
sebagai medium entertainment, pesan harus dirancang sedemikian rupa
sebagai bagian dari dunia entertainment. Dan seorang ulama, saat
berceramah, tak perlu serius, sekalipun pesan yang disampaikannya bukanlah
hal-hal yang remeh.
Lantas kenapa, untuk sesuatu yang tak ada
kaitannya dengan kesalehan--sebaliknya justru bertentangan dengan sikap
saleh--justru orang harus tampak saleh? Mau tak mau kita pasti berpikir tentang
kamuflase. Tersangka sengaja tampak saleh hanya untuk membangun kesan yang
bertolak belakang dengan tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya. Kesan yang
diharapkan dapat mengubah persepsi orang lain, terutama para jaksa penuntut dan
hakim, yang orientasinya untuk mengurangi maksimal hukuman yang didakwakan
kepadanya.
Bukankah vonis yang dijatuhkan terhadap
tersangka sangat kuat dipengaruhi oleh subyektivitas? Pasal-pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, misalnya, sekalipun menyebut jumlah maksimal
angka dakwaan hukuman, subyektivitas manusia yang terlibat dalam proses
penentuan maksimal tuntutan sangat besar. Salah satunya didukung variabel
"bersikap baik selama persidangan". Salah satu indikator variabel
ini, bisa saja penampilan si tersangka yang terlihat saleh.
Belum lagi jika yang dipergunakan kitab
undang-undang di luar KUHAP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang di
luar KUHAP acap membuat para penegak hukum sangat kikuk, terutama dalam
penyusunan berita acara pemeriksaan. Bukan hal aneh apabila pasal-pasal yang
disangkakan penyidik di kejaksaan ataupun polisi terhadap tersangka korupsi
sebagian besar justru mengacu pada pasal-pasal dalam KUHAP. Pasal-pasal dalam
UU Tindak Pidana Korupsi nyaris tidak digubris dalam menjerat tersangka
korupsi, apalagi jika dana yang diduga dikorupsi itu bukan uang negara.
Dalam kasus Muhammad Nazaruddin, sesungguhnya
uang yang dikorupsi bukanlah uang negara, sekalipun berkaitan dengan dana APBN
dalam membangun proyek Wisma Atlet SEA Games. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi,
uang yang dikorupsi haruslah uang negara. Akibatnya bisa ditebak, karena pada
tingkat penetapan pasal sekaligus penetapan undang-undang yang harus dipakai,
subyektivitas manusia selaku penegak hukum sangat mempengaruhi.
Karena itu, terhadap upaya para tersangka
selalu tampil saleh saat persidangan, kita bisa menyebutnya sebagai upaya
mempengaruhi penilaian para penegak hukum untuk mengurangi angka hukuman
maksimal. Maka, jika Anda seorang tersangka, usahakanlah selalu tampil saleh,
terutama jika Anda tidak menganut agama apa pun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar