Universitas
di Simpang Jalan
Syamsul Rizal ; Guru Besar Universitas Syiah Kuala;
Alumnus UniversitÄt Hamburg,
Jerman
|
KOMPAS, 02 Maret 2017
Selama ini harus diakui, profesor di sebuah universitas,
di belahan bumi mana pun di dunia ini, memang mempunyai otoritas keilmuan
yang sangat tinggi. Kalaulah dapat kita ambil perumpamaan dalam karier
kemiliteran, profesor adalah seorang jenderal di universitas.
Seorang profesor memang lahir, besar, dan berkubang pada
lahan akademik. Oleh sebab itu, kalau ada yang menggugat dan mempertanyakan
kemampuan akademik seorang profesor, tentu saja suatu hal yang sangat tidak
pantas. Sama saja dengan mempertanyakan: adakah ikan yang tidak bisa
berenang?
Akan tetapi, faktanya, inilah yang terjadi sekarang. Hari-hari
terakhir ini topik tren (trending topic) yang memenuhi diskursus di kampus
terkait erat dengan ancaman pemotongan tunjangan kehormatan para profesor.
Jika seorang profesor tak mampu memublikasikan tiga artikelnya pada jurnal
internasional ataupun satu artikel pada jurnal internasional bereputasi,
sejak 2015 sampai 2017, tunjangan kehormatan profesor akan dihentikan seperti
yang tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 20 Tahun 2017 (Kompas, 6/2).
Ancaman ini sebetulnya sudah lama sekali muncul. Namun,
banyak profesor tak mau ambil pusing. Karena apa? Karena banyak sekali
profesor yang akan terkena dampaknya, para profesor ini yakin sekali
pemerintah pasti akan ragu-ragu dalam menerapkannya. Dalam Permendikbud Nomor
78 Tahun 2013 tentang Pemberian Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kehormatan
bagi Dosen yang Menduduki Jabatan Akademik Profesor, sudah pernah disebutkan
secara eksplisit.
Pasal 4 Permendikbud ini menyatakan bahwa profesor wajib
menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional
bereputasi di samping wajib menulis buku dan menyebarluaskan gagasannya.
Saya menilai, selama ini para profesor tak pernah
dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi. Para profesor, terutama yang
berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) kuat, sangat diuntungkan.
Profesor-profesor ini tampak besar dan hebat karena berlindung pada
institusinya yang hebat.
Masyarakat dan media massa tak pernah tahu bahwa di PTN
yang kuat pun banyak profesor yang tak aktif dalam memublikasikan hasil
penelitiannya pada jurnal internasional. Akan tetapi, karena institusinya
punya reputasi hebat dan terakreditasi A, mereka ikut merasakan berkah tiada
tara. Profesor ini diberi reward bukan karena produktivitasnya. Mereka bisa
menyelenggarakan beasiswa LPDP, memperoleh mahasiswa hebat dari seluruh
Nusantara, memperoleh jejaring (networking) yang hebat dan fasilitas VIP dan
VVIP.
Sebaliknya, para profesor dari perguruan tinggi (PT) yang
lemah sudah langsung diklaim oleh masyarakat dan media massa bahwa mereka
”kalah kelas” dibanding profesor dari PTN kuat. Dan karena akreditasi
institusinya kurang memuaskan, para profesor dari PTN lemah, meski produktif,
akan ikut menderita. Profesor ini mendapat punishment bukan karena kesalahan
yang telah dilakukannya.
Dengan adanya Permendikbud No 20/2017, para profesor di PT
akan memiliki tanggung jawab pribadi. Seluruh profesor tak bisa lagi
berlindung di bawah naungan PT yang hebat. Demikian juga institusi yang lemah
seharusnya tidak lagi membawa sial bagi para profesornya.
Arah universitas
Terus terang kita agak gamang memandang arah universitas
kita ke depan. Kita berada pada titik sangat kritis. Di satu sisi, kita ingin
mengejar publikasi internasional negara tetangga, Malaysia. Namun, di sisi
lain, sebagian besar profesor kita tak siap untuk memenuhi target ambisius
ini.
Para profesor yang tak siap ini pasti dengan segala cara
akan menghadang diberlakukannya Permendikbud No 20/2017. Dan jika ini
berhasil, risikonya publikasi negara kita akan tertinggal jauh. Di samping
itu, secara psikologis, ke depan tidak mungkin lagi pemerintah menyusun
strategi dengan mengeluarkan permen baru.
Saya memperhatikan pemerintah sudah mulai goyah dengan
tuntutan ini. Ini tecermin dari Petunjuk Teknis Permendikbud No 20/2017 yang
baru dipublikasikan 21 Februari 2017 tentang definisi jurnal internasional.
Pada petunjuk teknis ini, jurnal ilmiah nasional terakreditasi B dari
Kemristek dan Dikti yang diterbitkan dalam salah satu bahasa PBB, terindeks
di DOAJ dengan indikator green thick (centang dalam lingkaran hijau), dapat
disetarakan/diakui sebagai jurnal internasional. Sementara yang terakreditasi
A dapat disetarakan sebagai jurnal internasional bereputasi.
Definisi ini sangat jauh mendegradasi arti dari sebuah
jurnal internasional. Langkah akomodatif seperti ini mirip dengan langkah Abu
Nawas. Dan ini tentu saja akan menipu diri kita sendiri. Jika ini yang
diberlakukan, target kita mengejar Malaysia tak mungkin tercapai. Strategi PT
ke depan bukan lagi mengelola riset dengan baik, melainkan akan berupaya
membuat jurnal nasional terakreditasi. Ini perkara gampang, apalagi bagi PTN
kuat yang banyak memiliki profesor dan jejaring.
Karena itu, kita perlu mengingat kembali tujuan
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menggabung Kemristek dan Dikti adalah
memacu riset bermutu di Tanah Air. Riset tanpa publikasi internasional tak
mungkin kita jalankan. Kita tak mungkin menghadirkan reviewer bermutu untuk
menilai hasil riset yang kita lakukan. Caranya hanya lewat publikasi
internasional.
Solusi elegan
Saya berpendapat, keinginan pemerintah untuk mengalahkan
Malaysia dalam hal publikasi internasional harus kita dukung secara serius.
Negara kita adalah negara besar. Saya tak habis pikir mengapa kita bisa
menjadi loyo seperti ini. Kita tak boleh mundur. Apa pun harus kita
pertaruhkan. Demi nama baik dan reputasi negara kita, kita harus melakukan
segala macam cara yang halal untuk maju terus. Namun, bukan dengan cara
seperti yang dilakukan Abu Nawas.
Universitas kita kini di simpang jalan. Kita harus memilih
simpang mana yang harus kita tempuh dan terbaik buat negara. Untuk itu, kita
harus menanggalkan terlebih dahulu kepentingan pribadi dan institusi kita.
Tujuannya agar kita bisa berpikir fokus, lurus, dan mengutamakan kepentingan
negara-bangsa yang terus diterpa badai tiada henti. Karena apa? Karena
menempuh simpang yang salah sangat sulit dan mengonsumsi banyak waktu untuk
memperbaikinya.
Untuk memantapkan pilihan simpang yang benar, semua
gesekan dan hambatan harus kita singkirkan. Dalam rangka ini, saya
berpendapat, sebaiknya kita tak memotong tunjangan kehormatan profesor karena
energi yang akan kita keluarkan banyak sekali. Namun, dalam rangka
meningkatkan publikasi internasional Indonesia, pemerintah perlu memberi
insentif tambahan bagi profesor yang produktif.
Insentif dimaksud tak mesti dalam bentuk uang, bisa juga
dalam bentuk fasilitas lain. Misalnya, untuk profesor produktif disediakan
dana penelitian secara otomatis, diberikan tanggung jawab membimbing
mahasiswa S-3 penerima beasiswa LPDP secara otomatis, serta fasilitas VIP dan
VVIP lain.Selama ini PT yang kuat selalu mendapat berkah untuk
menyelenggarakan beasiswa prestisius ini.
Artinya, pihak LPDP dan Kemristek dan Dikti hanya menunjuk
profesor produktif yang diperkenankan membimbing mahasiswa S-3 berprestasi
hebat. Dengan demikian, reward dan punishment tak lagi berbasiskan institusi,
tetapi berdasarkan prestasi pribadi dari masing-masing profesor.Dengan cara
ini ada beberapa keuntungan kita peroleh. Pertama, pemerintah akan lebih
mulus mengatur strateginya dalam rangka mengejar publikasi internasional
Malaysia.
Kedua, pemerintah tak perlu menurunkan standar publikasi
internasional dalam rangka mengakomodasi keinginan profesor yang tak
produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar