Tantangan
Transisi Arab Saudi
Dinna Wisnu ; Spesialis Politik Ekonomi Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 01
Maret 2017
Minggu ini Indonesia kedatangan tamu dari Arab Saudi.
Kunjungan Raja Salman ke Indonesia mungkin juga didorong keberhasilan
Indonesia dalam meyakinkan dunia sebagai salah satu negara yang
perekonomiannya memiliki potensi di masa depan.
Posisi diplomasi Indonesia yang bebas aktif di dalam
hubungan internasional juga menambah keyakinan akan tujuan Indonesia yang
selalu mengedepankan perdamaian dalam setiap kancahnya baik di politik
regional maupun dalam per sekutuan dengan negara-negara muslim lainnya.
Namun Visi 2030 yang digagas anak tertua Raja Salman,
Deputy Crown Price Mohammed bin Salman, mungkin juga adalah motivasi
sesungguhnya untuk datang ke Indonesia. Putra mahkota itu menyiapkan transisi
ekonomi Arab Saudi yang dituangkan dalam Visi 2030.
Beberapa hal utama Visi 2030 adalah pembentukan sovereign
fund, melepaskan ketergantungan dari minyak bumi, privatisasi Aramco,
kebebasan tinggal di Arab Saudi, meningkatkan kunjungan ke Arab Saudi hingga
mencapai 80 juta pada 2030, membangun industri militer, memperkuat real
estat, dan mencegah praktik korupsi.
Di antara visi tersebut, misi perantara ada lah mencapai
keseimbangan pendapatan negara pada 2020 atau tiga tahun dari saat ini. Visi
2030 ini dapat disebut sangat ambisius karena meski terlihat indah di atas
kertas, implementasinya membutuhkan jawaban terkait kendala-kendala
struktural baik ekonomi maupun politik.
Kendala pertama adalah siapa yang akan menggerakkan
perekonomi an Arab Saudi untuk dapat lepas dari ketergantungan pada pendapatan
minyak bumi? Populasi pen duduk Arab Saudi menurut data PBB adalah 28 juta orang
pada bulan Juli 2016. Penduduk yang memiliki kewarganegaran Arab Saudi adalah
70% dan sisanya 30% adalah imigran.
Para imigran ini sebagian besar bekerja mengisi
pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Sementara pekerja yang
memiliki keterampilan tinggi umum nya mengisi pekerjaan di sektor-sektor
swasta. Ekonomi yang bebas dari minyak bumi mensyaratkan angkatan kerja
dengan keterampilan yang tinggi.
Hal ini yang masih menjadi pertanyaan besar karena hampir 2/3
dari penduduk Arab Saudi bekerja sebagai pegawai negeri dengan upah 2-3 kali
lebih tinggi daripada pekerjaan sejenis bila dilakukan oleh sektor swasta.
Banyak penduduk yang enggan bekerja di sektor swasta karena upah yang akan
menjadi rendah. Meskipun pemerintah telah mengurangi pekerjaan di pelayanan
publik, tidak sertamerta penduduk Arab Saudi dapat beralih ke sektor swasta.
Apabila ini ter jadi, diperkirakan akan terjadi kenaikan
pengangguran di antara para penduduk usia produktif. Kedua, keinginan Arab
Saudi untuk melakukan diversifikasi dan bebas dari ketergantungan terhadap
minyak pada 2020 dengan menciptakan industriindustri yang menciptakan
value-added tinggi membutuhkan kerja keras yang sangat hebat.
Untuk menciptakan industri dengan valued-added yang tinggi
dan kompetitif, Arab Saudi perlu membangun jaringan supply-chain yang cocok
dengan strategi pengembangan ekonominya. Negara-negara emerging market yang
saat ini tumbuh dan men dominasi perdagangan dunia dari kawasan Asia seperti
China, negara anggota ASEAN, terkenal dengan puluhan ribu industri menengah
dan kecil yang memasuki industri yang lebih besar.
Sangat sulit bagi Arab Saudi untuk membangun industri
manufaktur karena pasti kalah kompetitif. Sementara apabila ingin membangun
industri dengan padat modal, Arab Saudi harus mempersiapkan tenaga ahli dari
dalam negeri yang mumpuni. Apakah dalam waktu yang kurang dari 15 tahun ini
Arab Saudi dapat menciptakan tenaga ahli melalui sistem pendidikannya?
Ketiga, salah satu upaya Pemerintah Arab Saudi untuk
menutup defisit adalah dengan menjual 5% saham perusahaan minyak nasional,
Aramco. Apabila penjualan itu mulus, Pemerintah Arab Saudi mengharapkan dapat
menghimpun dana kurang lebih Rp1.350 triliun atau USD2 triliun. Dana itu yang
nanti akan diinvestasikan ke berbagai instrumen keuangan dan investasi.
Permasalahannya, Aramco di masa men datang juga masih
memiliki kekhawatiran terkait dengan perkembangan kebijakan eko nomi dunia di
bidang ling kungan dan kompetisi dengan minyak bumi dari teknologi fracking.
Ada kecenderungan bahwa harga minyak dunia tidak akan tinggi sehingga menutup
kemungkinan investor untuk memperoleh saham Aramco.
Beberapa analis bahkan meramalkan di masa depan, pemain
utama yang menentukan harga minyak dunia tidak lagi di Timur Tengah, tetapi
itu akan diambil alih Amerika Serikat dan Kanada. Dalam episode perang harga
minyak sejak tahun 2010 hingga tahun ini, strategi Arab Saudi untuk
membanjiri pasar dengan minyak bumi dan membuat harga rendah agar tetap
menjaga mayoritas share-nya di pasar ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan
defisit.
Pada akhir nya Arab Saudi pun harus menyerah dan mengurangi
produksi minyak bumi di pasar agar harga kembali naik hingga batas yang masuk
di akal demi pendapatan negara. Memang hal ini berarti akan mengurangi
dominasi Arab Saudi di pasar minyak bumi. Kendala keempat adalah bagaimana
cara Pemerintah Arab Saudi mengantisipasi dampak politik dalam negeri dari
rencana transisi ekonominya. Penduduk Arab Saudi secara horizontal juga
dibagi menurut kelompok-kelompok sektarian atau suku.
Contohnya adalah provinsi timur yang kaya minyak
didominasi penduduk muslim Syiah, kemudian ada kelompok lain yang beraliran
sufi dan tidak mengakui atau me nolak dominasi Wahabi yang menjadi ideologi
utama Kerajaan Arab Saudi. Sementara secara vertikal, penduduk dibagi atas
kelas atas yang didominasi keluarga kerajaan, kelas menengah, dan kelas bawah
yang terdiri atas buruh atau pekerja migran yang tidak berketerampilan.
Secara perlahan-lahanun tuk mencapai Visi 2030, fasilitas
dan tunjangan yang telah dinikmati penduduk akan mengalami pengurangan. Dan
hal ini memiliki potensi mengurangi loyalitas dari kelas menengah dan dapat
mendorong perlawanan dari kelompokkelompok lain yang memiliki ideologi
berbeda.
Beberapa tindakan telah diambil pemerintah untuk
membuktikan kesungguhan visi tersebut. Misalnya dengan membatasi kewenangan
polisi syariah untuk menghukum dan menangkap orang. Yang paling mengejutkan adalah
meng hukum mati salah seorang pangeran yang terbukti melakukan pembunuhan.
Tantangan-tantangan di atas hanya sebagian kecil dari
tantangan yang akan dihadapi Arab Saudi untuk menuju Visi 2030. Beberapa
tantangan lain di antaranya nasib peran Arab Saudi dalam politik regional di
Timur Tengah. Kemudian pengintegrasian ekonomi dalam negeri dengan sistem perekonomian
dunia yang membutuhkan keterbukaan, peran mereka dalam perimbangan kekuatan
terhadap Israel dan Iran.
Komitmen dalam penegakan hak asasi ma nusia (HAM) juga
tantangan yang harus dijawab Pemerintah Arab Saudi untuk dapat terlibat dalam
pergaulan ekonomi internasional. Bagi Indonesia, kunjungan Raja Salman dapat
semakin mendekatkan dan meninggikan Indonesia sebagai negara demokratis
dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Citra ini penting karena di masa depan, Indonesia juga
perlu menjangkau pasar-pasar di Timur Tengah yang saat ini juga mulai membuka
diri dan terlibat dalam perdagangan regional dan multilateral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar