Gerakan
Murka dalam Demokrasi
F Budi Hardiman ; Pengajar Filsafat Politik di STF
Driyarkara
|
KOMPAS, 02 Maret 2017
Filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant, pernah memberi
nasihat tentang perkawinan. ”Orang,” begitu tulisnya, ”mengenyangkan nafsu
tidak lewat cinta, tetapi lewat perkawinan”. Seberapa privat pun, nasihat itu
menyingkap sesuatu yang politis. Politik tidak beroperasi dengan cinta,
tetapi dengan kuasa.
Seperti seks, kuasa adalah juga nafsu yang tidak berbentuk
dan liar jika tidak didisiplinkan. Lembaga kuasa adalah hukum, seperti juga
perkawinan yang dalam pengertian yang paling kasar adalah pendisiplinan seks.
Dalam pagar kelembagaan keduanya menjadi lebih rasional, disiplin, dan
dimuliakan ke taraf peradaban.
Populisme dan pendulum sejarah
Rasionalisasi kuasa dalam sistem hukum, seperti juga
rasionalisasi seks dalam perkawinan, dilaksanakan dengan pengendalian diri
yang penuh susah payah, tidak jarang berakhir dengan kegagalan.
Nafsu bisa lebih besar daripada kerangkengnya. Susah payah
ini tampak jelas dalam lanskap politik kontemporer ketika akhir-akhir ini
populisme kanan bangkit di beberapa negara demokratis, termasuk di Indonesia.
Para pemimpin mereka membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian
kepada para imigran, minoritas, bahkan kepada otoritas yang sah.
Media sosial membuat seduksi politis ini menjadi viral dan
massa dengan kepala penuh prasangka siap dikerahkan untuk mendestabilisasi
negara.
Entah itu partai, seperti Front National, Lega Nord, Vlaam
Belang, FPÖ, atau ormas, seperti Patriotische Europäer gegen die
Islamisierung des Abendlandes (PEGIDA) dan ormas tertentu di Indonesia,
dengan keragaman ideologi adalah kekuatan-kekuatan konservatif yang oportunis
di negeri mereka masing-masing.
Kesulitan dengan populisme adalah hubungannya dengan
demokrasi. Keduanya melibatkan populus atau rakyat, tetapi kata itu dipahami
berbeda. Sementara dalam demokrasi, rakyat itu adalah para warga negara,
pekerja, asosiasi-asosiasi, partai-partai, dan seterusnya atau demos, rakyat
dalam populisme adalah ”massa yang tidak terdiferensiasi”.
Kerumunan ini bersuara atas nama demokrasi, tetapi
sesungguhnya tujuan populis tidak pernah demokratis karena sebuah politik
sentimental condong menerjang batas-batas negara hukum. Populisme bimbang
antara demokrasi perwakilan dan demokrasi plebisit. Pada ambiguitas inilah
letak masalahnya: antara populisme dan demokrasi ada intimitas sekaligus
pengkhianatan.
Para populis kanan marah terhadap demokrasi liberal, para
elite yang berkuasa dan globalisasi. Di Amerika Serikat (AS) dan Eropa,
globalisasi dituduh memperlemah kedaulatan negara dan dianggap biang keladi
problem terorisme dan pengungsian. Intonasi nasionalistis proteksionistis
yang sangat tinggi dalam pidato pelantikan Donald Trump mewakili sikap
populis kanan di mana-mana dewasa ini.
Alih-alih universalisme nilai-nilai, mereka membela
partikularisme dengan paranoia terhadap pluralisme. Sementara di Eropa dan
Amerika Serikat terjadi penguatan nasionalisme, di Indonesia menyempit pada
konservatisme Islam. Sentimen agama dan ras merupakan alat seduksi favorit
bagi para populis kanan untuk pengerahan massa.
Bagaimana memaknai kebangkitan populisme kanan dalam
politik global? Mengingat penguatan populisme, entah sebagai gerakan atau
partai, yang terjadi di banyak negara, boleh jadi gelombang globalisasi saat
ini mulai dibendung dengan tameng- tameng partikularisasi.
Meminjam analisis Hermann Broch, pendulum sejarah sedang
berayun dari globalisasi ke partikularisasi, dari kosmopolitanisme ke
regionalisme dan nasionalisme atau bahkan sektarianisme. Jika demikian,
radikalisme Islam pada gilirannya telah merangsang syahwat para pemuja
eksklusivisme yang dapat mengantar politik global ke ambang era populisme
kanan.
Menerjang prosedur
Para populis dilambungkan oleh keyakinan bahwa rakyat,
kerumunan yang turun ke jalan, lebih baik daripada elite pemerintah dan elite
politis telah mengkhianati rakyat. Mereka menebar sentimen anti partai dan
membenci politik perwakilan. Musuh besarnya adalah elitisme dan pluralisme.
Para pemimpin populis, seperti Trump di Amerika, Le Pen di Perancis, Lutz
Bachmann di Jerman, Geert Wilders di Belanda, berfungsi sebagai ego-ideal
para pengikut mereka.
Dalam personalisasi politik itu, jarak antara para
pengikut dan sang pemimpin nyaris raib bersamaan dengan ditangguhkannya daya
kritis mereka.
Populisme tak suka intermediasi negara hukum dan condong
menerjang prosedur demi tujuan-tujuan mereka. Jika dibiarkan, kerumunan dapat
mendikte pemerintah atau pengadilan. Terjadilah mobokrasi atau—memakai
ilustrasi Plato—kooptasi kepala oleh selangkangan.
Ada alasan yang perlu diperhitungkan mengapa populisme
menerjang prosedur. Prosedur mapan, seperti mekanisme undang-undang dan
peradilan, dianggap sebagai alat kepentingan elite belaka. Populisme lahir
dari rahim ketimpangan sosial, alienasi politis, dan ketidakpercayaan pada
elite politis. Gerakan murka boleh dikatakan sedang mempertontonkan problem
sosial yang selama ini ditutupi: demokrasi telah dibajak para oligark.
Dari mulut para demagognya disemburkan narasi tentang
luka-luka rakyat, tentang ancaman Islamisasi Barat, atau— di
Indonesia—tentang nyeri kolektif akibat penodaan agama. Dalam murkanya
terhadap kemapanan (establishment), kerumunan lupa bahwa para pemimpin mereka
juga merupakan bagian dari oportunisme politis yang mereka lawan. Massa tak
lebih dari perkakas para oligark yang telah lama bercokol dan ingin menjaga
aset mereka.
Populisme bukanlah solusi atas problem sosial, melainkan
simtom dari penyakit sosial. Gerakan ini menyiratkan lemahnya fungsi
pemerintahan demokratis dan masih tangguhnya cengkeraman oligarki. Baginya
mangsa paling empuk adalah demokrasi elektoral karena pada saat suksesi kuasa
berlangsung, dana sangat besar digelontorkan dan mekanisme hukum melemah.
Populisme kanan tidak memperkuat demokrasi. Sebaliknya,
karena tak mengindahkan prosedur, ia justru mendestabilisasi mekanisme
demokratis dan mengancam keutuhan nasional. Nafsu tak dapat bersanding dengan
argumen. Begitu juga populisme bukanlah pasangan ideal bagi demokrasi.
Menimbang populisme
Sebagai gerakan oposisional, populisme kanan mengancam
negara hukum demokratis dari dua sisi. Pada sisi sistem politis, gerakan ini
mendestabilisasi negara hukum karena dapat menekan parlemen, mendikte pemerintah,
atau mengancam pengadilan dan polisi. Pada sisi masyarakat, warga mereka
meracuni ruang-ruang publik dengan ressentiment (kebencian atau sikap
permusuhan) dan ujaran-ujaran kebencian terhadap elite, minoritas, ataupun
para pendatang.
Dalam masyarakat kita, populisme muncul dari kasus
penodaan agama yang didakwakan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama. Pemerintah membendung gerakan ini dengan memperkuat kedua sisi
tersebut. Pada sisi sistemis pemerintah tegas membela rasionalitas prosedur
demokratis dengan melakukan tindakan hukum kepada para provokator dan juga
mereka yang diduga terlibat rencana makar dalam Aksi 212.
Pada sisi masyarakat madani (civil society), pemerintah
membersihkan kanal-kanal komunikasi publik dengan melakukan konsolidasi
nasional dengan kelompok-kelompok masyarakat dan militer serta dengan
mengendalikan hoaks dalam media-media sosial.
Di beberapa negara, seperti Austria, Italia, dan Jerman,
populisme berhasil meraih sosok formalnya dan menjadi partai politis.
Intimitas dan pengkhianatan atas demokrasi yang melekat pada populisme
menyebabkan kesulitan baginya sendiri ketika gerakan ini menjadi partai dan
menduduki sistem pemerintahan.
Pertama, koalisi partai-partai konservatif kanan tidak
dapat rukun saat berada dalam sistem pemerintahan; mereka secara ideologis
bertikai satu sama lain. Kedua, ruang bertindak partai-partai kanan dibatasi
oleh administrasi politis harian sehingga jurang antara janji-janji kampanye
dan kenyataan makin lebar. Dusta menjadi keniscayaan politis. Ketiga,
partai-partai kanan juga harus tunduk pada mekanisme parlementer, padahal
mereka cenderung menolak mediasi.
Gerakan murka yang menurut kodratnya oposisional, jika
menduduki pemerintahan, terancam untuk gagal. Wajah ganda gerakan anti partai
sekaligus partai anti partai membuat partai populis dilihat entah sebagai
mitra yang mencurigakan atau sebagai wakil establishment.
Jadi, mengingat kembali perkataan Kant di atas, hanya
lewat lembaga perkawinan nafsu dikenyangkan. Begitu juga, hanya lewat
prosedur negara hukum demokratis kekuasaan menjadi rasional. Populisme bukan
pasangan ideal demokrasi. Jika dipaksakan, demokrasi populis tak lebih
daripada ”perkawinan tak bahagia” yang penuh kegalauan nafsu dan
perselingkuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar