Politik
Kutipan
Muhidin M Dahlan ;
Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 03 Juli 2014
Warisan pemikiran sesungguhnya adalah serangkaian kutipan. Yang
dimaksudkan dengan kutipan di sini adalah pernyataan pendek utama dan penting
yang diambil dari sebarisan panjang paragraf dari tulisan atau sekian panjang
tuturan yang dinarasikan.
Kutipan adalah mata rantai pembentukan peradaban di mana kita
terus-menerus tersambung oleh masa silam yang merupakan tali pusar asali.
Lewat kutipan, pemikiran masa silam diwariskan, dikuatkan, dan diinovasikan.
Kalimat-kalimat kunci penting dalam inovasi yang pernah ada terus hidup
tatkala ia dijadikan kutipan bagi generasi terkini untuk membantunya
memperkuat argumentasi.
Demikianlah kutipan menjadi salah satu memetika. Sementara gen atau
genetika disebut-sebut sebagai kunci pembentuk pertumbuhan fisik kita, meme
(mim)/memetika adalah virus pembangun pemikiran/ide. Meme (mim), karena itu, bukan cuma soal gambar-gambar yang lucu,
yang kita baca nyaris tiap detak waktu pada lini masa media sosial.
Penulis macam Richard Dawkins dan Richard Brodie percaya betul kehidupan
manusia tak hanya sekadar genetika yang mempengaruhi faal manusia. Manusia
juga tersusun oleh abstraksi dalam pemikirannya, dan itu virus mim. Gagasan,
ide, dan kreativitas adalah jejak-jejak bekerjanya mim dalam kehidupan
manusia.
Namun ide atau gagasan adalah bentukan dari satu kutipan ke kutipan
lain yang sudah berlangsung bergenerasi-generasi. Gagasan/ide tak pernah
hidup sendiri di pulau terpencil. Mim dalam bentuk kutipan adalah legitimasi
sekaligus tambang penguat argumentasi dari sebuah ide atau gagasan.
Dari sinilah mengutip menjadi tindakan politik ketika kita membangun
posisi dan langgam politik dari mim kutipan. Untuk membuat konstruksi
bangunan ide/argumentasi nasionalisme dan gotong-royong (persatuan nasional),
Sukarno perlu mengutip kata-kata puluhan pemikir dunia dari beragam aliran
ideologi yang diserapnya dari bacaan dan diujinya dalam tindakan selama
puluhan tahun.
Untuk melegitimasi kekuasaannya, Soeharto terus-menerus memproduksi
kutipan dari kesatria-kesatria jebolan Revolusi 1945 dan mereka yang berjasa
dalam penjatuhan Sukarno dan pengganyangan PKI dalam bentuk film, pidato,
monumen, diorama, museum, cerita, dan kurikulum pendidikan.
Peristiwa-peristiwa yang menyertai senjakala dan kejatuhan Soeharto
pada 1998 juga menjadi legitimasi siapa yang "paling patut dan berhak" berada dalam arus kekuasaan
saat ini. Pahlawan-pahlawan massa (l) saling sikut untuk mendapat kalungan
medali. Dan yang paling apes nasibnya tentu saja kalangan militer yang
belasan tahun kemudian naik ke panggung politik utama tapi terlibat dalam
aksi penculikan dan penembakan saat demonstrasi mahasiswa berlangsung pada
1997-1998.
Nah, tiga sumur warisan politik itulah yang kita lihat mengarus dalam
politik hari ini, terutama menyangkut mim kutipan. Lini masa media sosial
menunjukkan bagaimana mim kutipan politik itu berseliweran merebut pengaruh
dan kepercayaan. Seperti virus akal budi-meminjam istilah pemikir memetika,
Richard Brodie-kutipan-kutipan menjadi senjata mematikan untuk mengunci arus
suara politik.
Untuk meraih suara kaum nasionalis dan menunjukkan bahwa sang calon
presiden mewarisi kemegahan dan karisma pribadi Sukarno, sang kandidat dengan
atraktif mengutip cara bicara (termasuk mikrofon), cara berpakaian, dan
kutipan pikiran besarnya. Bahkan, pada Mei-Juni 2014, produksi mim kutipan
untuk dukungan kepada sosok calon presiden tertentu bekerja sangat masif,
yang kemudian menjadi trendsetter.
Sebagaimana alat peraga kampanye, mim kutipan politik itu disebar
secara sadar seperti virus akal budi untuk membangun gugus kepercayaan. Tapi
kepercayaan itu bisa melempem oleh kontradiksi dalam kutipan itu sendiri.
Ketika selapisan orang secara terus-menerus membagi kutipan Gus Dur
tentang kelayakan seseorang kandidat menjadi presiden, orang kemudian percaya
bahwa demikianlah adanya. Tapi ada yang terlupa, bahwa ada kutipan tandingan
yang terkubur, di mana sang kandidat pernah pada suatu masa menghina secara
kasar si pemilik kutipan yang dijadikan bantalan untuk meraih simpati.
Sampai di sini, mim kutipan menjadi banal justru karena ada
kontradiksi. Menunjukkan kontradiksi adalah salah satu cara mencegah dan
memfilter bahwa virus yang menyebar bukan virus sampah akal budi. Dan
pencegahan itu menjadi budaya bila tradisi mendokumentasi kutipan
(lisan/tulisan) menjadi kebiasaan sehari-hari kita. Dan praktik tradisi itu
kita temukan bentuk awalnya justru pada pemilihan umum presiden 2014. Tak
pernah pemilu berjalan seatraktif ini sebelum-belumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar