Kebangkitan
Umat Islam
Jamal Ma’mur A ;
Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI, Asosiasi Pondok
Pesantren) NU Jawa Tengah, Peneliti Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati
|
SUARA
MERDEKA, 19 Juli 2014
SEPULUH hari terakhir
bulan Ramadan, umat Islam lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt karena
meyakini pada hari-hari itulah Dia akan memberikan balasan berupa pembebasan
dari api neraka. Malamnya, umat berpeluang besar ’’bertemu’’ Lailatulkadar (Lailatul Qadar), yakni malam penetapan
dan kemuliaan, yang menurut Alquran lebih baik daripada seribu bulan.
Menurut M Quraish Shihab
(2007), Lailatulkadar adalah malam yang menentukan bagi perjalanan sejarah
hidup seseorang pada masa mendatang. Malam itu menjadi titik tolak meraih
kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan kelak di akhirat. Malaikat turun
untuk menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar
kehidupan baru di kemudian hari.
Dalam 10 hari terakhir
itulah Nabi Muhammad intensif beriktikaf di masjid dan membangunkan
keluarganya untuk lebih aktif beribadah. Tapi ada pendapat cerdas yang
menyebutkan bahwa Lailatulkadar tidak ditentukan tanggalnya, hanya yang
pasti pada malam hari bulan Ramadan. Ada rahasia besar mengapa Allah tak
pernah ’’menginformasikan’’ kedatangan
malam penuh kemulaiaan itu.
Salah satu tujuannya
supaya umat Islam selama bulan Ramadan meningkatkan amal salihnya, mengisi
malam-malamnya, waktunya hanya dengan beribadah, dan meninggalkan hal-hal
yang tak bermanfaat (Wahbah Zuhaili,
2007:1624). ’’Penghargaan terhadap waktu’’ itulah tujuan utama
merahasiakan kedatangan malam Lailatulkadar. Umat Islam harus mengakui
mayoritas dari mereka masih lemah penghargaannya terhadap waktu. Meskipun
sejatinya sebagian tahu bahwa kesuksesan dan kegagalan antara lain ditentukan
oleh kemampuannya memanfaatkan waktu.
Bagi orang sukses, sedetik
waktu adalah emas yang bisa digunakan mengubah hidup dalam banyak bidang,
intelektualitas, sosial, teknologi, budaya, atau politik. Masdar Farid
Masíudi (2002) mengungkapkan, ’’keberhasilan’’ pengeboman World Trade Center (WTC) di AS pada 11 Oktober 2001 disebabkan oleh
’’kekalahan’’ negara adikuasa itu memanfaatkan waktu dalam hitungan detik.
Satu detik saja kalah maka kekalahan bisa datang.
Allah dalam QS al-Mu’minun
23:3 menjelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin yang sukses adalah
menghindari kesia-siaan perkataan dan perbuatan. Waktunya selalu bernilai
positif, jauh dari kesia-siaan, semisal menghindari begadang, nonton
televisi berlarut-larut, bercengkerama sepanjang hari, dan lain-lain.
Disiplin waktu menjadi ciri utama mukmin yang sukses dunia akhirat.
Umat Islam sekarang hidup
dalam era global dengan peta kekuatan yang berbeda. Sachs (2005) seperti
dikutip Mastuhu (2007:1-12) membagi kekuatan dunia menjadi tiga. Pertama;
kekuatan 15% penduduk dunia yang tergolong technological innovators, yaitu
negara-negara maju. Kedua; 50% penduduk dunia tergolong technological adopters, seperti negara berkembang. Ketiga; 35% penduduk
dunia tergolong technological excluded,
yaitu negara miskin terbelakang.
Lorong
Kegagalan
Dalam konteks globalisasi,
kompetisi tidak terelakkan. Bahkan menurut A Qodri Azizy (2004:26), kata
kunci globalisasi adalah kompetisi. Siapa yang punya mental juara, disiplin
waktu, serta menguasai pengetahuan dan teknologi akan tampil sebagai
pemenang. Kecepatan menjadi keniscayaan. Barang siapa lambat, menunda-nunda,
dan membiarkan waktu berlalu tanpa hal bermanfaat maka ia akan dipaksa
sejarah berada di lorong kegagalan dan sulit masuk dalam kancah persaingan
yang butuhn dinamisasi, kreasi, dan inovasi terus-menerus secara konsisten.
Di sinilah pentingnya
manajemen waktu agar waktu berjalan secara produktif dan berkualitas. Menurut
Dr Ibrahim ibn Hamd al-Qu’ayyid (2007), manajemen waktu adalah proses
pemanfaatan waktu yang tersedia dalam hidup, juga potensi untuk mewujudkan
tujuan-tujuan penting yang diupayakan. Namun semua itu harus tetap menjaga
keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi, juga
keseimbangan jasmani, rohani, dan akal (intelektual). Jangan sampai ada waktu
yang terbuang percuma.
VP Yance Chan Chan (2004)
memberikan gambaran manajemen waktu sebagai berikut: 8 jam untuk kerja, 3 jam
untuk investasi, 5 jam untuk lain-lain, dan 8 jam untuk tidur. Investasi
adalah sesuatu yang bermanfaat dalam jangka panjang, misalnya membaca,
membangun jaringan, berorganisasi, olahraga, dan kerja ekstra.
Pentingnya manajemen waktu
yang menjadi pelajaran berharga dalam momentum Lailatulkadar ini, harus bisa
menggugah umat Islam supaya bangkit dari tidur panjangnya. Jangan sampai membuang
waktu secara percuma sehingga terus tertinggal dari bangsa dan umat
lain.
Lailatulkadar harus
menjadi starting point untuk
bangkit, memanfaatkan waktu secara disiplin guna menghasilkan karya besar.
Pengetahuan dan teknologi adalah dua hal yang harus dikejar umat Islam pada
era global. Tidak boleh menunda-nunda waktu bila ingin memimpin perubahan
pada era sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar