Jembatan
Selat Sunda
Yuliarti Kusumawardaningsih ; Dosen
Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang (Unnes); Penulis sedang mengambil
Studi Doktor Teknik Sipil (Teknik Struktur) di Universität Kassel, Jerman
|
SINAR
HARAPAN, 19 Juli 2014
Ide
brilian menyatukan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa telah dikemukakan pada zaman
pemerintahan Presiden Soekarno (1960).
Di
era pemerintahan Presiden Soeharto (1990), model struktur jembatan gantung
(suspension bridge), diajukan Prof Wiratman Wangsadinata bersama timnya,
sebagai desain struktur paling tepat dan aman untuk menghubungkan kedua pulau
ini.
Selanjutnya,
peraturan presiden oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Keppres No
36/2009, Perpres No 32/2011 dan Perpres No 86/2011 semakin mempertegas niat
pemerintah terhadap rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS).
Langkah
lebih jauh dilakukan pemerintah. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain
yang juga perlu diperhatikan, proyek JSS telah dikategorikan dalam program
pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS), bagian
dari rencana megaproyek pembangunan infrastruktur Indonesia (tercantum dalam
MP3EI: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia,
2011-2025).
Nantinya,
yang berperan sebagai tim developer JSS adalah konsorsium antara BUMN dengan
PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS), tim pelaksana studi kelayakan JSS.
PT
GBLS merupakan konsorsium badan usaha, yang didirikan Artha Graha Network
(konsorsium PT Bangun Graha Sejahtera Mulia, serta Wirawan and Associates)
bermitra dengan BUMD Provinsi Banten serta BUMD Provinsi Lampung. Konsorsium
ini memiliki tugas, salah satunya melakukan percepatan pembangunan JSS.
Estimasi
total biaya megaproyek pembangunan JSS adalah ± Rp 100 triliun (US$ 10
miliar), dengan durasi waktu penyelesaian pembangunan ± 10 tahun. Dengan
total biaya pembangunan sebesar ini, tentu saja kemampuan pemerintah
Indonesia sangat terbatas.
Negara
membutuhkan investasi modal dari pihak swasta, dengan pemberian hak kompensasi
berupa pengelolaan dan pengembangan kawasan Selat Sunda untuk kepentingan
pariwisata, real estate, bisnis, dan pendidikan.
Sementara
itu, untuk negara sendiri, pengembalian investasi modal bisa diperoleh dari
pemasukan menggunakan JSS. Sebagai megaproyek,
sudah sewajarnya bila investasi modal yang ditanamkan dalam proyek
pembangunan JSS tidak dapat kembali secara instan. Namun, perlu ditegaskan
manfaat multiple keberadaan JSS.
Pertama,
investasi untuk menopang masa depan perekonomian Indonesia. Kedua, untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan di Pulau Sumatera dan pulau-pulau
sekitarnya. Keberadaan JSS sudah merupakan suatu kebutuhan.
Desain
JSS
akan menjadi jembatan gantung bersegmen bentang terpanjang di dunia (± 3 km),
mengungguli Jembatan Akashi Kaikyo di Jepang yang berbentang jembatan ±2 km.
Sebagai struktur tahan gempa, JSS didesain mampu menahan gempa berkekuatan
maksimum (10 skala Richter), serta mampu menahan gelombang tsunami setinggi ±
85 m dpl (hampir dua kali tinggi gelombang tsunami di Selat Sunda, tahun
1883).
Dibangun
pada lokasi berjarak ± 50 km dari Gunung Krakatau, JSS akan melintasi tiga
pulau kecil: Pulau Panjurit, Pulau Sangiang, dan Pulau Ular. JSS memiliki
total panjang ± 31 km, lebar sekitar 60 meter, tinggi 75 meter, serta terbagi
dalam beberapa segmen. Segmen Pulau Jawa-Pulau Ular dan segmen Pulau
Panjurit-Pulau Sumatera didesain berupa jalan layang (viaduct) sepanjang
masing-masing 3 km.
Segmen
Pulau Ular-Pulau Sangiang dan segmen Pulau Sangiang-Pulau Panjurit akan
dibangun berupa jembatan gantung sepanjang masing-masing sekitar 8 km. Ada
juga pembangunan jalan raya darat dan rel kereta api sepanjang 5 km di Pulau
Sangiang, dan 7,6 km di Pulau Panjurit.
JSS
akan menahan beban dua jalur lalul intas jalan raya, dengan setiap jalur
melayani tiga lajur lalu lintas kendaraan roda empat. Bagian tengah jembatan
digunakan sebagai lintasan ganda (double
track) kereta api. Bagian tepi jembatan sebagai lajur darurat. Selain
itu, JSS direncanakan mampu menahan beban-beban tambahan.
Aplikasi
Selain
biaya tinggi yang wajib disediakan, pihak konsultan dan developer proyek
pembangunan JSS perlu memiliki pengetahuan dan data yang detail tentang
kondisi alam dan situasi Selat Sunda.
Pengetahuan
ini, seperti potensi lalu lintas dan ketinggian yang diperlukan untuk alur
transportasi laut, arah, dan besar kecepatan angin laut dan darat, tinggi dan
kekuatan gelombang air laut, kondisi geologi serta identifikasi sesar dan
patahan di permukaan tanah bawah laut.
Potensi
serta riwayat gempa yang pernah terjadi di Selat Sunda dan daerah sekitarnya
juga perlu diperhatikan.
Selain
itu, penggunaan peralatan proyek berteknologi tepat perlu diaplikasikan.
Dalam megaproyek JSS, selain menggunakan tenaga ahli sumber daya manusia
Indonesia, pihak konsultan dan developer proyek perlu melibatkan sejumlah
tenaga profesional asing yang memiliki track record keberhasilan pengalaman
membangun jembatan serupa di luar negeri.
Kita
tidak perlu malu dan gengsi untuk melibatkan tenaga ahli asing dalam
supervisi proyek pembangunan JSS yang sudah jelas dan pasti, memiliki tingkat
kesulitan dan risiko yang sangat tinggi.
Tentunya,
masih segar dalam ingatan kita, peristiwa tiga tahun yang lalu, kejadian
ambruknya jembatan Kutai Kartanegara (2011), jembatan gantung terpanjang di
Indonesia (panjang total 710 m, bentang 270 m). Kita tidak ingin musibah ini
terulang lagi, kan?
Ingat,
hasil investigasi mengatakan, ambruknya jembatan Kutai Kartanegara
diakibatkan akumulasi kelemahan yang timbul sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, sampai operasional. Dengan kata lain, kita harus menerima
kenyataan.
Pengetahuan
dan pengalaman kita tentang konstruksi pembangunan jembatan gantung adalah
minimalis. SDM Indonesia belum memiliki pengalaman yang dalam, intensif, dan
layak guna pembangunan proyek jembatan gantung, apalagi megaproyek seperti
JSS.
Setidaknya
ambruknya jembatan Kutai Kartanegara menjadi pelajaran berharga bagi kita,
dalam membangun jembatan gantung. Tidak malahan melemahkan semangat kita
untuk tetap belajar, berkreasi, dan berkarya. Terkait struktur JSS, hal
penting yang wajib diperhatikan adalah desain konstruksi JSS dan operasional
pembangunan JSS, baik konstruksi atas, konstruksi bawah, dan sistem fondasi.
Semuanya harus dirancang dan dibangun secara cermat, detail, dan tepat.
Juga
harus mempertimbangkan berbagai persyaratan desain struktur dan material yang
bisa digunakan untuk konstruksi jembatan gantung, serta memperhatikan
batasan-batasan yang harus ditanggulangi terkait kondisi alam dan situasi
Selat Sunda.
Urungkan
niat berkorupsi dalam proyek JSS. Itu karena hanya akan menambah beban dalam
kelancaran dan kesuksesan pembangunan JSS yang memiliki risiko sudah tinggi.
Proyek ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan!
Penulis
yakin proyek JSS bisa nyata diwujudkan, bukan cuma impian. JSS akan menjadi
salah satu karya dan kebanggaan kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar