Minggu, 20 Juli 2014

Jorok!

                                                                     Jorok!

Reza Indragiri Amriel ;   Anggota Asosiasi Psikologi Islami, Pelanggan Kereta Listrik
SINAR HARAPAN,  19 Juli 2014
                                                


Kereta listrik jurusan Jakarta-Bogor penuh sesak. Walau begitu, asyiknya, lantai kereta bersih dari sampah. Mirip suasana di banyak stasiun yang disinggahi kereta ini, resik menjadi pemandangan di sana selama Ramadan.

Namun, kebersihan itu ternyata hanya bertahan hingga menjelang azan Magrib. Sesaat setelah muazin mengumandangkan azan, dan prosesi berbuka puasa selesai dilakukan, satu demi satu bungkus panganan berserakan di lantai. Rupa-rupa sampah juga langsung menjadi “penghias” peron-peron stasiun, sementara tempat-tempat sampah tetap belum terisi penuh.

Itulah pemandangan tentang bagaimana puasa, sebagai proses pembersihan diri, seakan tak menyisakan pembelajaran apa pun tentang kebersihan diri dan lingkungan dalam diri banyak orang yang melaksanakannya. Tak pelak, puasa seperti kehilangan kemujarabannya sebagai resep andal untuk memperbaiki kualitas kemanusiaan.

Puasa, seperti tergambar dalam perubahan drastis di stasiun dan kereta tadi, sebatas menunda terekspresikannya tabiat serbatak peduli. Azan Magrib pun laksana sangkakala yang mengabsahkan tindak-tanduk pengrusakan lingkungan secara massal.

Situasi yang sangat mirip juga berlangsung setiap kali momen tahun baru (Masehi) tiba. Begitu pula ketika 17 Agustus. Namun, kedua perhelatan tadi memang identik dengan euforia. Jadi “wajar” jika muncul tindak-tanduk di luar kendali.

Berbeda 180 derajat dengan Ramadan, masa yang tak lain tak bukan beresensikan kepada pengendalian diri. Bagaimana mungkin para pelaku puasa justru dengan begitu mudahnya kehilangan kontrol diri, bahkan termasuk untuk menyimpan di saku bungkus bonbon hingga menjumpai tong sampah terdekat, begitu Maghrib tiba?

Terkenang sebuah peristiwa ketika seorang ibu dengan busana agamis yang ia kenakan membiarkan sampahnya berserak di lantai kereta. Sebaris kalimat saya tulis di ponsel, “Sejak kapan agamamu mengizinkanmu membuang sampah semaumu?”

Saya perlihatkan kalimat itu kepada ibu tersebut. Ia terperanjat. Sehingga, begitu kereta berhenti di stasiun berikutnya, si ibu langsung melompat keluar gerbong sambil bersungut-sungut, “Gitu aja bawa-bawa agama!”

Lho, bukankah ajaran mulia agama sudah sewajarnya menjadi acuan tindak-tanduk manusia? Begitu yang saya yakini. Sama dengan yakinnya saya bahwa ibu tadi sejatinya belum sampai di stasiun yang benar-benar ia tuju.

Beruntung, ia masih sempat memungut sampah-sampahnya. Entah ikhlas, entah tidak. Akibat perilaku membuang sampah seenaknya itu sangat nyata. Bank Dunia meramal, kuantitas sampah padat di daerah perkotaan akan terus meningkat dari sekitar 1,3 miliar pada 2012 menjadi 2,2 miliar per tahun pada 2025.

Khusus di Indonesia, secara nasional, sampah yang dihasilkan per harinya mencapai hampir 152.000 ton. Ibu Kota Indonesia menyumbang hampir 8.000 ton sampah per hari. Itu berarti rata-rata orang Indonesia membuang sampah padat sekitar 1 kg setiap hari. Pasti, tak usah memijat-mijat kening untuk paham siapa yang paling banyak bermukim di negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia itu.

Faktanya, aturan tentang larangan membuang sampah sudah ada di mana-mana. Ancaman sanksi bagi pelanggarnya juga nyata. Namun, sepanjang yang bisa disimak melalui media, tak pernah ada orang yang diperkarakan gara-gara membuang sampah seenak perutnya.

Begitu pula di stasiun kereta. Stasiun Bogor, misalnya. Ada sejumlah spanduk besar bertuliskan larangan merokok di area stasiun. Anehnya, di stasiun tua itu justru disediakan area merokok berupa ruang terbuka di ujung peron. Padahal, di situ pula penumpang naik dan turun kereta. Pun tidak pernah terlihat petugas keamanan maupun kebersihan menciduk penumpang yang merokok atau membuang sampah di stasiun.

Jadi, jangan kaget jika kini di setiap rangkaian gerbong ada petugas kebersihan yang membawa-bawa sapu di sepanjang perjalanan kereta. Atau setidaknya mulai menyapu menjelang sampai di stasiun terakhir, ketika kondisi di dalam gerbong sudah lebih lengang. Seandainya setiap penumpang mau lebih melek hati memahami kebersihan, tentu pengelola kereta tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk pengadaan petugas-petugas jasa kebersihan tadi.

Kereta pun tiba di Stasiun Bogor. Berjubel penumpang berlarian menuju musala stasiun, mengejar sisa waktu Magrib sebelum pulang. Musala, tempat suci di mana orang harus bersuci sebelum bersujud ke hadapan Allah Yang Maha Suci. Sakral. Namun, sulit untuk meluruskan niat, apalagi salat khusyuk, ketika untuk ke musala pun para musafir terpaksa harus melewati pintu tunggal; pintu musala sekaligus pintu WC umum.

Becek mulai dari mulut pintu hingga ke ruang salat, tak jelas lagi berasal dari mana. Dari cipratan air wudu yang bercampur dengan jejak kaki orang-orang yang buang hajat, barangkali. Tidak hanya aroma pesing dan amoniak yang menandang ke mana-mana, segala bebunyian yang berasal dari “kesibukan” di peturasan pun tertangkap di telinga orang-orang yang mencoba menghadirkan Tuhan ke dalam hati mereka.

Untuk segala urusan “ke belakang” dan sembahyang itu, dulu penumpang harus membayar. Baru belakangan, setelah saya sembur protes sana-sini, dipasang papan kecil bertuliskan “GRATIS”. Hanya satu-dua penumpang yang masih tetap merogoh uang kertas leceknya.
Itu mungkin karena mereka belum mafhum, bahwa WC sekaligus musala adalah fasilitas gratis di stasiun, atau juga mungkin karena mereka merasa terintimidasi oleh petugas kebersihan yang berdiri di mulut pintu tanpa kata-kata, namun mengirim peringatan dengan pose atau gestur tertentu.

WC merangkap musala di Stasiun Bogor adalah ruang publik yang terabaikan dalam program revitalisasi stasiun. Pagar didirikan, perparkiran ditata, double decker (entah apa artinya!) akan dibangun, sistem tiket elektronik diadakan, dan lainnya, demi kenyamanan pengguna kereta. Namun itu tadi, WC plus musala tetap begitu saja sejak dulu.

Jadi, dua instalasi di satu lokasi itu tetap bertahan sebagai tempat jorok lagi menjijikkan yang bertahan hingga kini. Dengan status sedemikian rupa, yakinlah, kepala stasiun—jika ia muslim—tidak salat di situ.

Keluar dari stasiun, suasana amburadul kian berganda. Pedagang pasar berikut sampah yang meluber ke mana-mana pun semakin memorak-porandakan keadaan. Alhasil, betapa pun kereta disebut-sebut sebagai jasa angkutan umum yang diandalkan berkat kecepatan dan kelancarannya, kesulitan untuk mencapai stasiun sudah masya Allah.

Sulit dipercaya hanya sekitar 200 meter dari kesemrawutan itu ada istana megah peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Atau barangkali kalimatnya harus diubah, sulit dipercaya dalam jarak sedemikian dekat dari kantornya, orang nomor satu di Bogor tetap saja tidak hirau terhadap kekacauan kotanya.

Padahal, dengan janggut tipis tanpa kumis di wajah sang wali kota, warga pantas berharap ia lebih mafhum akan ujaran nabi, bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Lantas, siapa yang mampu merevolusi mental para makhluk penyampah itu? Agar “berimbang”, siapa yang kuasa menyelamatkan Indonesia dari manusia-manusia jorok?

Kenyataannya, jangankan masyarakat awam, guru-guru agama pun tidak pernah lagi mengantarkan pencerahan-pencerahan tentang kebersihan lingkungan dari atas podium khotbah mereka. Nggak penting kalee.... Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar