Jorok!
Reza Indragiri Amriel ; Anggota
Asosiasi Psikologi Islami, Pelanggan Kereta Listrik
|
SINAR
HARAPAN, 19 Juli 2014
Kereta
listrik jurusan Jakarta-Bogor penuh sesak. Walau begitu, asyiknya, lantai
kereta bersih dari sampah. Mirip suasana di banyak stasiun yang disinggahi
kereta ini, resik menjadi pemandangan di sana selama Ramadan.
Namun,
kebersihan itu ternyata hanya bertahan hingga menjelang azan Magrib. Sesaat
setelah muazin mengumandangkan azan, dan prosesi berbuka puasa selesai
dilakukan, satu demi satu bungkus panganan berserakan di lantai. Rupa-rupa
sampah juga langsung menjadi “penghias” peron-peron stasiun, sementara
tempat-tempat sampah tetap belum terisi penuh.
Itulah
pemandangan tentang bagaimana puasa, sebagai proses pembersihan diri, seakan
tak menyisakan pembelajaran apa pun tentang kebersihan diri dan lingkungan
dalam diri banyak orang yang melaksanakannya. Tak pelak, puasa seperti
kehilangan kemujarabannya sebagai resep andal untuk memperbaiki kualitas
kemanusiaan.
Puasa,
seperti tergambar dalam perubahan drastis di stasiun dan kereta tadi, sebatas
menunda terekspresikannya tabiat serbatak peduli. Azan Magrib pun laksana
sangkakala yang mengabsahkan tindak-tanduk pengrusakan lingkungan secara
massal.
Situasi
yang sangat mirip juga berlangsung setiap kali momen tahun baru (Masehi)
tiba. Begitu pula ketika 17 Agustus. Namun, kedua perhelatan tadi memang
identik dengan euforia. Jadi “wajar” jika muncul tindak-tanduk di luar
kendali.
Berbeda
180 derajat dengan Ramadan, masa yang tak lain tak bukan beresensikan kepada
pengendalian diri. Bagaimana mungkin para pelaku puasa justru dengan begitu
mudahnya kehilangan kontrol diri, bahkan termasuk untuk menyimpan di saku
bungkus bonbon hingga menjumpai tong sampah terdekat, begitu Maghrib tiba?
Terkenang
sebuah peristiwa ketika seorang ibu dengan busana agamis yang ia kenakan
membiarkan sampahnya berserak di lantai kereta. Sebaris kalimat saya tulis di
ponsel, “Sejak kapan agamamu
mengizinkanmu membuang sampah semaumu?”
Saya
perlihatkan kalimat itu kepada ibu tersebut. Ia terperanjat. Sehingga, begitu
kereta berhenti di stasiun berikutnya, si ibu langsung melompat keluar
gerbong sambil bersungut-sungut, “Gitu
aja bawa-bawa agama!”
Lho,
bukankah ajaran mulia agama sudah sewajarnya menjadi acuan tindak-tanduk
manusia? Begitu yang saya yakini. Sama dengan yakinnya saya bahwa ibu tadi
sejatinya belum sampai di stasiun yang benar-benar ia tuju.
Beruntung,
ia masih sempat memungut sampah-sampahnya. Entah ikhlas, entah tidak. Akibat
perilaku membuang sampah seenaknya itu sangat nyata. Bank Dunia meramal,
kuantitas sampah padat di daerah perkotaan akan terus meningkat dari sekitar
1,3 miliar pada 2012 menjadi 2,2 miliar per tahun pada 2025.
Khusus
di Indonesia, secara nasional, sampah yang dihasilkan per harinya mencapai
hampir 152.000 ton. Ibu Kota Indonesia menyumbang hampir 8.000 ton sampah per
hari. Itu berarti rata-rata orang Indonesia membuang sampah padat sekitar 1
kg setiap hari. Pasti, tak usah memijat-mijat kening untuk paham siapa yang
paling banyak bermukim di negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia itu.
Faktanya,
aturan tentang larangan membuang sampah sudah ada di mana-mana. Ancaman
sanksi bagi pelanggarnya juga nyata. Namun, sepanjang yang bisa disimak
melalui media, tak pernah ada orang yang diperkarakan gara-gara membuang
sampah seenak perutnya.
Begitu
pula di stasiun kereta. Stasiun Bogor, misalnya. Ada sejumlah spanduk besar
bertuliskan larangan merokok di area stasiun. Anehnya, di stasiun tua itu
justru disediakan area merokok berupa ruang terbuka di ujung peron. Padahal,
di situ pula penumpang naik dan turun kereta. Pun tidak pernah terlihat
petugas keamanan maupun kebersihan menciduk penumpang yang merokok atau
membuang sampah di stasiun.
Jadi,
jangan kaget jika kini di setiap rangkaian gerbong ada petugas kebersihan
yang membawa-bawa sapu di sepanjang perjalanan kereta. Atau setidaknya mulai
menyapu menjelang sampai di stasiun terakhir, ketika kondisi di dalam gerbong
sudah lebih lengang. Seandainya setiap penumpang mau lebih melek hati
memahami kebersihan, tentu pengelola kereta tidak perlu mengeluarkan biaya
ekstra untuk pengadaan petugas-petugas jasa kebersihan tadi.
Kereta
pun tiba di Stasiun Bogor. Berjubel penumpang berlarian menuju musala
stasiun, mengejar sisa waktu Magrib sebelum pulang. Musala, tempat suci di
mana orang harus bersuci sebelum bersujud ke hadapan Allah Yang Maha Suci.
Sakral. Namun, sulit untuk meluruskan niat, apalagi salat khusyuk, ketika
untuk ke musala pun para musafir terpaksa harus melewati pintu tunggal; pintu
musala sekaligus pintu WC umum.
Becek
mulai dari mulut pintu hingga ke ruang salat, tak jelas lagi berasal dari
mana. Dari cipratan air wudu yang bercampur dengan jejak kaki orang-orang
yang buang hajat, barangkali. Tidak hanya aroma pesing dan amoniak yang
menandang ke mana-mana, segala bebunyian yang berasal dari “kesibukan” di
peturasan pun tertangkap di telinga orang-orang yang mencoba menghadirkan
Tuhan ke dalam hati mereka.
Untuk
segala urusan “ke belakang” dan sembahyang itu, dulu penumpang harus
membayar. Baru belakangan, setelah saya sembur protes sana-sini, dipasang
papan kecil bertuliskan “GRATIS”. Hanya satu-dua penumpang yang masih tetap
merogoh uang kertas leceknya.
Itu
mungkin karena mereka belum mafhum, bahwa WC sekaligus musala adalah
fasilitas gratis di stasiun, atau juga mungkin karena mereka merasa
terintimidasi oleh petugas kebersihan yang berdiri di mulut pintu tanpa
kata-kata, namun mengirim peringatan dengan pose atau gestur tertentu.
WC
merangkap musala di Stasiun Bogor adalah ruang publik yang terabaikan dalam
program revitalisasi stasiun. Pagar didirikan, perparkiran ditata, double
decker (entah apa artinya!) akan dibangun, sistem tiket elektronik diadakan,
dan lainnya, demi kenyamanan pengguna kereta. Namun itu tadi, WC plus musala
tetap begitu saja sejak dulu.
Jadi,
dua instalasi di satu lokasi itu tetap bertahan sebagai tempat jorok lagi
menjijikkan yang bertahan hingga kini. Dengan status sedemikian rupa,
yakinlah, kepala stasiun—jika ia muslim—tidak salat di situ.
Keluar
dari stasiun, suasana amburadul kian berganda. Pedagang pasar berikut sampah
yang meluber ke mana-mana pun semakin memorak-porandakan keadaan. Alhasil,
betapa pun kereta disebut-sebut sebagai jasa angkutan umum yang diandalkan
berkat kecepatan dan kelancarannya, kesulitan untuk mencapai stasiun sudah masya
Allah.
Sulit
dipercaya hanya sekitar 200 meter dari kesemrawutan itu ada istana megah
peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Atau barangkali kalimatnya harus
diubah, sulit dipercaya dalam jarak sedemikian dekat dari kantornya, orang
nomor satu di Bogor tetap saja tidak hirau terhadap kekacauan kotanya.
Padahal,
dengan janggut tipis tanpa kumis di wajah sang wali kota, warga pantas
berharap ia lebih mafhum akan ujaran nabi, bahwa kebersihan adalah sebagian
dari iman. Lantas, siapa yang mampu merevolusi mental para makhluk penyampah
itu? Agar “berimbang”, siapa yang kuasa menyelamatkan Indonesia dari
manusia-manusia jorok?
Kenyataannya,
jangankan masyarakat awam, guru-guru agama pun tidak pernah lagi mengantarkan
pencerahan-pencerahan tentang kebersihan lingkungan dari atas podium khotbah
mereka. Nggak penting kalee.... Allahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar