Presiden
Musim Semi Kesukarelaan
Yudi Latif ;
Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
|
KOMPAS,
22 Juli 2014
MUSIM semi tiba, rerumputan pun tumbuh sendiri; kedatangan
pemimpin alamiah sejati menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak”.
Demikianlah Lao Tzu memberi iktibar.
Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu
darah, kemunculan pemimpin (relatif) otentik dalam pemilihan presiden kali
ini mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini
lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat
perubahan, yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di
seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul
relawan ini bergerak-serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan
institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi
politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.
Betapapun kontestasi kepresidenan berlangsung sengit, kekuatan
kesukarelaan dan kreativitas ini ternyata memiliki daya kendali tersendiri
untuk tidak memasuki medan pertarungan yang dapat menghancurkan nilai-nilai
kesukarelaan dan kreativitas itu sendiri. Maka, dengan segala ketegangannya,
pilpres kali ini pun berlangsung relatif aman dan damai.
Sungguh disesalkan, kemunculan pemimpin harapan dan musim semi
kesukarelaan ini diboncengi oleh penumpang gelap kepentingan elitis yang
mengobarkan politik kecemasan. Kedua pasangan dipersonifikasikan sebagai
representasi dari dua kecemasan akbar. Yang satu adalah kecemasan akan
bangkitnya kekuatan yang dapat melemahkan aspirasi kebebasan sipil dan
pluralisme kewargaan. Yang lain kecemasan akan hegemoni minoritas-pemodal
yang dapat mengarah pada pelebaran kesenjangan sosial dan marjinalisasi
mayoritas.
Celakanya, kedua kecemasan ini nyaris menjadi nubuat yang
memenuhi kenyataan (self-fulfilling
prophecy). Kecemasan yang pertama dipenuhi oleh cara kampanye pesaingnya
yang memobilisasi sentimen ”perseteruan” atas dasar agama dan oleh kalangan
pendukungnya sendiri yang memobilisasi sentimen ”minoritas”. Kecemasan kedua
dipenuhi oleh kecenderungan dukungan minoritas-pemodal pada pesaingnya dan
oleh kekhawatiran partai-partai Islam pendukungnya yang rata-rata miskin
logistik kalau sampai mereka tidak punya akses ke sumber daya eksekutif.
Masih beruntung, kedua kecemasan ini bisa dinetralisasi oleh
pengelompokan secara campuran (mixed
type). Pada setiap kubu ada representasi aliran ”kebangsaan” dan
”keislaman”; kaum modernis dan tradisionalis; Muslim dan non-Muslim. Maka,
setiap percobaan untuk melakukan stigmatisasi terhadap lawannya dengan
menempelkan kategori-kategori politik lama selalu bisa dimentahkan. Adanya
persilangan identitas (cross-cutting
identities) ini pula yang membuat konflik bisa dilunakkan, tidak sampai
mengarah pada perang sipil.
Dengan fenomena seperti itu, akar rumput tidak akan mudah
dibakar. Potensi kekerasan masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar”
kekerasan sebagai soldier of fortune. Jika itu yang menjadi pilihan, aparatur
keamanan negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada
titik ini, ujian sejarah sedang dihadapi oleh Presiden beserta jajaran TNI
dan polisi, apakah mereka akan lulus sebagai pahlawan pengawal konstitusi dan
keselamatan bangsa atau tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa
depan bangsanya.
Bagaimanapun, siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wakil
presiden nanti, yang dipertaruhkan bukanlah gengsi personal Joko Widodo-Jusuf
Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia.
Maka dari itu, kedua pasangan harus bersifat kesatria; yang menang tidak
mentang-mentang, yang kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya
kemenangan seluruh rakyat, yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih
sanggup mengubah politik kecemasan menjadi politik harapan bagi seluruh
rakyat.
Untuk mengubah kecemasan menjadi harapan, pemimpin terpilih
harus sungguh-sungguh menjamin kebebasan sipil dan pluralisme dengan
merealisasikan negara kekeluargaan yang dapat melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah. Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha
menciutkan kesenjangan sosial dan mengembangkan keadilan sosial dengan
merealisasikan negara kesejahteraan.
Dalam mengarungi jalan terjal politik harapan itu, sikap
optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan
demokrasi, tetapi mesti bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis.
Berbeda dengan ledakan harapan, pemerintahan demokratis baru sering
dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan. Karena itu, betapapun
legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan
demokratis, yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka dalam
menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara pemimpin politik itu
menanggapi ketidakmampuannya.
Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu
menggalang kerja sama lintas batas, bukan menyulut pertikaian, sambil
mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional.
Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dengan
cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan menerobos
batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi
inspirasi yang dapat mendorong partisipasi dan tanggung jawab warga untuk
bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama. Dalam menguatkan gotong
royong ini, pluralisme harus dikembangkan secara jujur, tidak dipolitisasi
sebagai siasat demi menguntungkan golongan sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar