Rabu, 23 Juli 2014

Siapkah Kita Menghadapi Perubahan?

                      Siapkah Kita Menghadapi Perubahan?

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  20 Juli 2014
                                                


Lebih dari 30 tahun yang lalu, para futurolog sudah meramalkan ihwal yang kita alami hari ini. Alfin Toffler dengan Future Shock (1970) meramalkan bahwa di kemudian hari (yaitu: sekarang) manusia akan bergeser dari ihwal yang tahan lama (awet), ke ihwal yang instan.

Mi instan adalah contohnya dalam bidang kuliner. Ada lagi ballpoint dan pembalut wanita yang sekali pakai buang. Prinsipnya sama semua yaitu Bispak-wang (habis pakai dibuang). Dalam bukunya yang lain, The Third Wave (1980), Toffler meramalkan revolusi teknologi informasi yaitu pengetahuan yang berkembang sangat cepat sehingga kehidupan manusia akan berubah bukan beberapa abad sekali (revolusi gelombang pertama: pertanian) atau beberapa tahun sekali (gelombang kedua: industri), tetapi revolusi akan terjadi setiap hari, padahal tidak ada revolusi yang tidak makan korban.

Sementara Schumacher dalam bukunya, Small is Beautiful (1973), mengatakan bahwa preferensi manusia akan berubah dari yang serbabesar menjadi serbakecil. Perusahaan besar ambruk, digantikan dengan perusahaan kecil-kecil. Rusia bubar, muncul negara-negara kecil. Di Indonesia daerah-daerah terpecah-pecah menjadi lebih kecil-kecil. KB berubah artinya dari Keluarga Besar menjadi Keluarga Berencana (maksudnya: keluarga kecil).

Futurolog lain, John Naisbitt dan istrinya, Patricia Abuderne, dalam buku mereka, Mega Trend 2000 (1991), meramalkan bahwa peran wanita akan berubah secara signifikan, manusia akan bertambah makmur, tetapi tidak bertambah bahagia (nepotisme, bunuh diri, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya makin banyak). Agama akan hidup kembali, tetapi bukan menimbulkan kedamaian, melainkan justru menimbulkan eksklusifisme, radikalisme, kekerasan, dan konflik sektarian. Futurolog berikutnya (walaupun bukan yang terakhir) adalah Thomas L Freedman yang menulis buku berjudul The World is Flat (2005).

Dia mengatakan bahwa orang sekarang bisa berhubungan dengan siapa saja di seluruh dunia secara langsung dengan real time dan data yang akurat, tanpa harus melalui pihak mana pun (pemerintah, pemimpian, organisasi, dan sebagainya). Cukup dengan Facebook atau Twitter dan sebuah handphone. Dengan begitu, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk maju.

Para futurolog tersebut bukan nabi atau rasul yang bisa meramal karena mendapat wahyu Tuhan. Mereka orang biasa yang kebetulan berprofesi sebagai ilmuwan yang menggunakan dalil-dalil dan perhitunganperhitungan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Pada 1974 dalam bukunya, The Tao Physics, seorang sarjana fisika bernama Fritjof Capra, mengklaim bahwa dunia fisika modern mempunyai hukum-hukum yang paralel dengan mistik tradisional Timur Kuno. Yang dimaksud oleh Capra adalah temuan fisikawan Max Planck (penerima Hadiah Nobel Tahun 1918) dan kawan-kawannya bahwa atom, sebagai materi yang terkecil, masih bisa diuraikan lagi dalam bentuk energi yang dinamis sampai sebesar 1/80.000 tipisnya rambut (jembatan Shirathal Mustaqim saja serambut dibelah tujuh).

Jadi, benda dalam bentuknya yang terkecil bukan berbentuk materi yang masif dan kaku, melainkan energi yang dinamis dan fleksibel. Ilmu fisika yang mempelajari energi-energi terkecil ini disebut quantum physics. Pandangan Capra kemudian mendorong para fisikawan untuk mengolah energi-energi itu sedemikian rupa sehingga bisa mengecilkan benda sampai 1/50.000 dengan mekanisme yang disebut sebagai teknologi nano (lebih kecil dari atom).

Teknologi nano inilah yang kemudian memungkinkan para pakar untuk mengembangkan telepon cerdas (smartphone) yang hanya sebesar genggaman tangan, tetapi berisi berbagai features seperti telepon, texting (SMS, WA, BBM), kamera film dan foto, komputer, kalkulator, buku alamat, catatan-catatan, kalender, jam, dan masih banyak lagi, yang kalau dikumpulkan dalam ukuran aslinya bisa memenuhi sebuah hanggar pesawat udara. Revolusi teknologi lain adalah teknologi genome , yaitu teknologi genetika, yang memungkinkan manusia (melalui ilmu kedokteran) melakukan pencangkokan anggota tubuh, ovulasi dalam tabung (bayi tabung),

memperpanjang usia harapan hidup, bahkan mungkin juga kloning manusia. Di bidang rekayasa tanaman, kita sudah menyaksikan semangka yang berbentuk kotak (agar lebih mudah dikemas dalam boks), jeruk tanpa biji, budi daya ikan, unggas, dan ternak sehingga manusiatidakperlulagi berburu di alam liar dan sebagainya. Akhirnya terjadilah revolusi TI (teknologi informasi) yang memungkinkan hubungan antarpribadi bisa cepat dan akurat, massal, dan real time .

Berdasarkan temuan-temuan dalam ilmu pengetahuan itulah, para futurolog mengembangkan ramalan-ramalannya tentang perubahan pada masa yang akan datang yang hari ini sudah mulai kita rasakan. Siapa tahu pada masa depan kita bisa mudik Lebaran dengan memasukkan semua oleh-oleh yang mau dibawa ke dalam flashdisc sehingga kita tidak perlu bawa barang berat-berat.

Pertanyaan kita sekarang, siapkah kita mengalami perubahan?

Seperti telah diramalkan Nisbett dan Abuderne, manusia akan bertambah sejahtera, tetapi tidak bertambah bahagia. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), incest , narkoba, terorisme, bullying (sampai menyebabkan korban jiwa, termasuk anak sekolah dasar), dan sebagainya masih terus saja terjadi. Orang kemudian menyalahkan pada kurangnya pendidikan agama dan hilangnya pendidikan budi pekerti. Anggapan ini salah selama hanya dilakukan pada tingkat pengetahuan dan hafalan seperti yang selama ini dilakukan di sekolah-sekolah.

Apalagi agama. Kalau diajarkan secara rasional saja, justru akan menimbulkan fanatisme dan radikalisme. Jadi, yang kita perlukan sekarang adalah kesiapan mental untuk menghadapi perubahan-perubahan yang drastis seperti yang disebutkan di atas. Tetapi, siapkah kita menghadapi perubahan peran gender? Sebagai contoh, zaman sekarang kemajuan teknologi memberi peluang yang sama besarnya kepada perempuan dan laki-laki.

Bahkan tidak jarang perempuan lebih sukses daripada lakilaki. Tetapi, pelajaran di sekolah dasar masih mengajarkan: ”Ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke ..... pasar”. Padahal zaman sekarang ayah juga pergi ke pasar (maksudnya: pasar swalayan), tetapi masih banyak sekali ayah yang tidak mengizinkan istrinya bekerja, dan kalau sang istri bekerja dan lebih sukses, sang suami marah dan KDRT pada istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar