Fitnah
Bandung Mawardi ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 03 Juli 2014
Hari-hari politik di Indonesia bergelimang fitnah. Tempo edisi 23-29
Juni 2014 memberi peringatan bagi pembaca: "Fitnah dan kebencian dihidangkan setiap hari." Kita
lekas mengingat Obor Rakyat, yang berisi fitnah-fitnah untuk menghancurkan
Joko Widodo. Fitnah terus berbiak, tak selesai mengotori niat berdemokrasi
secara beradab.
Kita mulai menengok ke masa silam, saat demokrasi berisi fitnah-fitnah.
Robert Harris, dalam novel berjudul Imperium, mengisahkan tokoh-tokoh politik
yang saling menyebar fitnah dengan dalih jabatan dan otoritas kekuasaan.
Fitnah membuat orang dipersalahkan dan disingkirkan dari arena politik. Fitnah pun berlanjut dengan
pembunuhan. Ironis! Sejarah berdemokrasi memang sulit mengelak dari fitnah
sejak demokrasi bertumbuh di Yunani.
Fitnah bisa mengalahkan seribu panah dan pedang. Fitnah juga bisa
bersaing dengan bedil, bom, dan ranjau. Olahan kata bermaksud jahat dalam
fitnah memang bertujuan menghancurkan: kejam dan biadab. Fitnah selalu
mengiringi idealitas berbangsa-bernegara, dari masa ke masa. Sebaran fitnah
melalui omongan, koran, puisi, lagu, dan film mirip pelipatgandaan petaka. Di
Indonesia, fitnah telah berbiak sejak ribuan tahun silam, mengiringi sejarah
kerajaan dan kolonialisme. Fitnah menimbulkan suksesi, pemberontakan, perang,
serta pembunuhan. Fitnah menggunakan simbol-simbol agama, gender, etnis, dan
seks demi raihan kekuasaan. Sejarah Indonesia memiliki catatan berlimpah
tentang fitnah.
Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan
fitnah sebagai "perkataan jang bermaksud mendjelekkan orang, menodai
nama baik, merugikan kehormatan orang". Konsekuensi fitnah perlahan
merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Fitnah tak cuma pengertian dalam
kamus. Sekarang, fitnah adalah "raksasa" atau "monster"
penghancur etika politik dan demokrasi beradab. Goenawan Mohamad pun
mengingatkan bahwa sebaran fitnah bisa melukai bangsa. Fitnah melukai akal
sehat dan kejujuran (Koran Tempo, 25
Juni 2014). Peringatan mengacu pada pola serangan fitnah telah berlebihan
mengarah ke calon presiden. Fitnah menciptakan narasi ketokohan agar mendapat
kebencian, hujatan, dan kutukan.
Produksi fitnah menimbulkan rasa cemas dan kesedihan saat muncul
berbarengan dengan resepsi publik atas iklan, debat capres, serta lagu.
Sebaran fitnah semakin menambah daftar ironi berdemokrasi di Indonesia.
Sukarno mengalami keruntuhan politik akibat fitnah. Soeharto tak terlalu
mendapat serangan fitnah. Gus Dur, saat menjadi presiden, mesti
"bertarung" melawan serbuan fitnah.
Demokrasi mengalami luka. Fitnah belum selesai. SBY adalah
"korban" petaka dari fitnah sejak 2004. SBY, dalam buku berjudul, Selalu Ada Pilihan (2014), tanpa
sungkan memberikan predikat kepada dirinya sebagai "korban". Puluhan istilah fitnah hadir dalam buku,
pembuktian bahwa SBY mendapat serangan fitnah. Kita tentu masih mengingat
"ratapan" SBY saat berpidato mengenai fitnah.
Kemanjuran fitnah untuk penghancuran mulai mengarah ke Joko Widodo saat
berkehendak menjadi presiden. Fitnah disebarkan melalui Obor Rakyat, yang bermaksud mempengaruhi kalangan pesantren di
Jawa Barat dan Jawa Timur agar membenci Joko Widodo. Tanggapan-tanggapan atas
fitnah sudah diajukan meski tak merampungkan ulah orang atau institusi yang
bermaksud menghancurkan Joko Widodo. Fitnah telanjur bersebaran, mengusik dan
melukai bangsa. Fitnah adalah "neraka"
bagi Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar