Suara
Rakyat, Suara Tuhan
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Juli 2014
MARI
belajar dari pemilu presiden di Amerika Serikat. Hari pencoblosan berlangsung
sejak pagi pada Selasa pekan pertama November dan hasilnya sudah dapat
diketahui di hari yang sama saat makan malam.
Terakhir
saya meliput Pemilu Presiden (Pilpres) 2008 dengan mengikuti pesta yang
dihadiri ratusan ribu pendukung Barack Obama di Grant Park, Chicago. Sekitar
pukul 20.00 waktu setempat, kemenangan Obama diumumkan lewat monitor raksasa
yang menyiarkan exit poll oleh National Election Pool, lembaga yang terdiri
dari media raksasa, seperti CNN, Fox News, ABC, AP, CBS, dan NBC.
Malam
itu diumumkan Obama meraih 52,9 persen suara, sedangkan John McCain 45,7
persen. Beberapa menit setelah pengumuman exit poll itu, McCain segera
menelepon Obama untuk mengucapkan selamat.
Begitu
sederhana prosesnya! Hasil exit poll cuma bersandarkan pada wawancara dengan
pemilih setelah mereka mencoblos di TPS. Bisa dibayangkan jika para pemilih
tak jujur mengungkapkan presiden pilihannya. Apalagi, masih banyak pemilih
menggunakan hak suara di TPS pada saat hasil exit poll sudah dirilis.
Memang
betul demokrasi di AS sudah sedemikian maju sehingga metode hitung cepat atau
rekapitulasi tak bermanfaat lagi. Namun, exit poll bisa juga bermasalah jika
selisih suara antarkedua capres tipis.
Itu
pernah terjadi pada Pilpres 2000 saat kemenangan George W Bush atas Al Gore
ditentukan hanya oleh 573 suara di Negara Bagian Miami. Kalau mencapai
sekitar jutaan suara, seperti tahun 2008 (Obama sekitar 69,5 juta dan McCain
sekitar 59 juta suara), itu namanya selisih suara yang ”tebal”.
Namun,
di sejumlah negara, exit poll hanya boleh dirilis setelah semua TPS tutup. Di
Singapura, exit poll bahkan dilarang.
Sejak
Pemilu-Pilpres 1999, kita telah mengenal exit
poll, quick count, ataupun
jajak pendapat. Terdapat puluhan perusahaan yang menyediakan layanan berbagai
jenis riset, terutama dalam rangka pemilihan kepala daerah (pilkada). Mungkin
sudah hampir 1.000 pilkada diadakan sampai saat ini. Akhirnya kita masuk
kategori negara yang amat maju demokrasinya.
Menurut
pandangan yang berlaku, kita sukses menyelenggarakan Pemilu 1999 dan 2004.
Kredibilitas Pemilu 1999, dengan Ketua KPU Jenderal (Purn) Rudini, dapat
diandalkan.
Kredibilitas
Pemilu-Pilpres 2004 juga relatif bisa dipercaya. Padahal, penyelenggaranya
adalah juga salah satu peserta pilpres, yakni Presiden Megawati
Soekarnoputri. Tentu tak mudah bagi Megawati bertindak sebagai penyelenggara
sekaligus peserta. Namun, semua berjalan lancar.
Berbeda
dengan kredibilitas Pemilu-Pilpres 2009 yang layak dipertanyakan. Sebab,
setidaknya menurut keputusan Opsi C Sidang Paripurna DPR, diduga ada kaitan
antara Century dengan partai/capres-cawapres tertentu.
Menarik
membaca buku karya Herdi Sahrasad, Tragedi Pilkada Provinsi Jatim dan
Implikasinya atas Pemilu dan Pilpres 2009. Metode pencurangan melalui daftar
pemilih tetap (DPT) amburadul mulai terungkap dalam penyelenggaraan Pemilihan
Gubernur Jawa Timur 2008.
Dengan
kata lain, pengajar Universitas Paramadina itu mengungkapkan, kasus di Jatim
semacam pilot project untuk Pemilu-Pilpres 2009. Fakta menunjukkan, Partai
Demokrat menambah suara tiga kali lipat dibandingkan 2004—rekor fantastis
yang tak pernah terjadi pada partai berkuasa sejak masa Yunani Kuno.
Jika
ditarik lagi ke belakang, kita pernah 32 tahun hidup di alam kecurangan
pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kita sudah tahu partai
yang akan menang, tinggal menduga-duga berapa persen raihan suaranya.
Enam
kali pemilihan presiden, yang berlangsung melalui Sidang Umum MPR, juga
dimenangi orang yang sama, yakni Soeharto. Kita paling ramai-ramai
berspekulasi siapa orang yang diperkenankan Soeharto untuk jadi wapres.
Pola
kecurangan Orde Baru selalu berlangsung lewat tiga tahap: mobilisasi,
intimidasi, dan manipulasi. Mobilisasi dipaksakan melalui jalur ABG (ABRI,
birokrasi, dan Golkar). Intimidasi dikerjakan aparat yang tak netral.
Manipulasi melalui penggelembungan suara Golkar sekaligus pengurangan suara
PDI dan PPP.
Oleh
sebab itu, pemilu Orde Baru disebut black election yang dikerjakan oleh rezim
otoriter yang tak demokratis Rupanya, kebiasaan buruk Orde Baru itu masih
dianggap ampuh dan coba diterapkan lagi akhir-akhir ini.
Jangan
heran muncul lagi upaya mobilisasi melalui aparat keamanan maupun
pemerintahan, yang untungnya cepat terungkap. Tekanan masyarakat madani dan
media massa berhasil membuat aparat untuk menjaga netralitas.
Intimidasi
ala Orde Baru tetap berlangsung. Bahkan, intimidasi kali ini berjalan kasar
sekali dengan melemparkan berbagai macam fitnah berbau SARA dan membahayakan
bangsa.
Lebih
hebatnya lagi, intimidasi dalam bentuk kampanye hitam atau fitnah itu diobral
ke ruang publik. Kita tahu ada tabloid Obor Rakyat, ada perang cyber, dan ada
jurnalisme partisan.
Untung
ada kebangkitan kesukarelaan dari berbagai kalangan rakyat. Masih ada jutaan
relawan, moga sebagian besar kalangan muda, yang melibatkan diri dalam proses
demokrasi.
Hal
itu terlihat jelas dari proses ”kawal suara” yang berlangsung mulai dari
tingkat terbawah di TPS sampai kelak ke rekapitulasi KPU. Maka, semakin kecil
kemungkinan terjadinya manipulasi ala Orde Baru.
Untung
juga partisipasi tampaknya termasuk tinggi. Persaingan antarcapres yang
melelahkan dibarengi oleh animo masyarakat yang rajin mengikuti narasi
kampanye, coba memahami visi dan misi, serta menyimak debat.
Demokrasi
kita telah mengalami kemajuan cukup besar berkat hiruk-pikuk kampanye selama
sebulan ini. Akan konyol rasanya jika kemajuan ini coba diganggu oleh ambisi
sesaat.
Kita
tak perlu khawatir akan terjadi hal-hal yang tak dikehendaki saat
rekapitulasi oleh KPU tanggal 22 Juli pekan depan. Insya Allah, semua
berjalan lancar dan aman.
Kita
pencoblos kartu suara yang memutuskan siapa yang akan jadi presiden, bukan
mereka yang menghitung kartu suara. Vox
populi vox dei, suara rakyat suara
Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar