Minggu, 20 Juli 2014

TKI dan ME ASEAN 2015

                                        TKI dan ME ASEAN 2015

Dahrul Aman Harahap ;   Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan,
Alumni Universitas Riau Kepulauan Batam
HALUAN,  19 Juli 2014
                                                


Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menghadapi Ma­sya­karat Ekonomi ASE­AN tahun 2015 harus dian­tisipasi oleh pemerintah dengan baik.  Dengan waktu yang hanya tinggal 1 tahun lagi, apakah tenaga kerja Indonesia, terutama masyarakat Kepulauan Riau khususnya Batam yang berba­tasan langsung dengan negara Malaysia dan Singapura, siap bersaing?

Nanti, tenaga kerja asing/luar, akan bebas masuk ke Indosenia tanpa banyak aturan yang mengikat. Dilihat dari angkatan kerja yang ada di Batam, tenaga kerja kita kebanyakan berada di level menengah ke bawah (manager-operator). Sedangkan posisi-posisi strategis/penting masih dipegang tenaga kerja asing yang mempunyai gaji yang sangat besar/lumayan dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia.

Hal ini juga tidak dapat dipungkiri karena faktor ke­mampuan dan pengetahuan serta bahasa. Di perusahan nasional, multi nasional dan perusahan asing yang mampu bersaing di tingkat global, faktor skill dan kemampuan berbahasa asing merupakan hal yang harus ada dan dikuasai.

Dilihat dari perkembangan angkatan tenaga kerja yang ada di Batam, kebanyakan angkatan kerja yang ada berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan pendidikannya secara mandiri/sendiri dengan kuliah di berbagai perguruan tinggi yang ada di Batam yang meng­akomodir kemauan mereka untuk kuliah dengan harapan nantinya selama 4 tahun sudah bisa menamatkan/menye­lesaikan Strata satu (S-1).

Akan tetapi yang menjadi dilema lagi, apakah dengan tamatnya angkatan kerja tersebut S1, kemampuan mereka juga akan meningkat, baik dari segi keahlian di bidang kerjanya ataupun bahasa asing? Ini yang menjadi pertanyaan besar untuk dijawab dengan baik.

Apabila kemampuan mereka tidak meningkat, maka lembaga pencetak sarjana tersebut perlu dipertanyakan apakah mereka hanya mengejar target banyak­nya mahasiswa yang lulus kuliah tanpa memperhatikan keahlian lulusannya.
Peran pemerintah dalam mempersiapkan tenaga kerja Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat global, dengan mengaktifkan Balai Latihan Kerja (BLK) dan membentuk Akademi Komunitas, juga sangat besar.  Akan tetapi, kalau dilihat dalam beberapa tahun terakhir ini,  bahwa di Batam yang seharusnya Balai Latihan Kerja bergerak aktif ternyata hanya berjalan di tempat/stagnan.

Bila BLK tersebut tidak mampu dikelola dengan baik, maka otomatis tidak akan dapat memberikan hasil yang positif terhadap angkatan kerja di Batam.
Pembentukan Akademi Komunitas (tingkat D-I dan D-II) di Kepulauan Riau (khususnya Batam) perlu digagas untuk memenuhi angkatan kerja di Kepulauan Riau, khususnya Batam, untuk menghasilkan angkatan kerja yang mempunyai kompetensi dan kemampuan berbahasa. Pendidikan yang dilaksanakan dalam format komunitas di Indonesia dalam bentuk sema­cam community college (CC), yaitu pendidikan yang diseleng­garakan berupa kursus ter­akreditasi maupun akademi, pada dasarnya sudah lama beroperasi.

Program satu atau dua tahun ini diselenggarakan melalui dua pendekatan. Yaitu: (i) pendidikan formal Diploma Satu (D-I) dan Diploma Dua (D-II), dan (ii) pendidikan non-formal seperti pelatihan bersertifikat keahlian. Akan tetapi program tersebut belum didasarkan pada potensi daerah dimana program pendi­dikan tersebut diselenggarakan.

Bentuk CC ini selanjutnya dikembangkan oleh pemerintah menjadi pendidikan formal dalam bentuk perguruan tinggi yang menyelenggarakan jenis pendi­dikan vokasi berbentuk akademi komunitas.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, mengatur bahwa akademi komunitas adalah bentuk perguruan tinggi selain dari bentuk perguruan tinggi yang sudah ada yaitu, universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi.

Akademi Komunitas meru­pakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jenis pen­didikan vokasi program Diploma Satu (D-I) dan/atau Diploma Dua (D-II) dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu yang berbasis keung­gulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.

Akademi komunitas harus dikelola profesional untuk mampu menghasilkan lulusan terampil dengan etos kerja tinggi, serta harus didukung dengan program akademik, kurikulum, silabus dengan orientasi sinergi antara akademisi dengan masya­rakat, dan organisasi profesi, serta dukungan penuh industri.

Lulusannya sebagai produk pendidikan tinggi harus siap pakai sebagai pelaku kegiatan pada pusat pertumbuhan eko­nomi setiap koridor ekonomi. Keberadaanya pada setiap kota/kabupaten seluruh Indonesia harus menjadi pertimbangan utama dengan peran sebagai penyedia tenaga profesional sesuai potensi wilayah. Akademi komunitas beroperasi di wilayah atau komunitas dengan biaya terjangkau dan harus sesuai dengan potensi wilayahnya, yang diharapkan menjadi penghasil insan profesional unggul.

AK dapat diselenggarakan dengan status (1) AK Negeri, (2) AK Swasta. Berdasarkan Permendikbud No 48 Tahun 2013, AK dapat diselenggarakan atas dasar perjanjian kerjasama antara (i) Kementerian bersama pemerintah daerah dengan dunia usaha, dan/atau dunia industri; atau (ii) masyarakat dengan dunia usaha dan/atau dunia industri.

Persyaratan pendirian aka­demi komunitas swasta sebagai berikut:

1) Didirikan oleh masyarakat, baik orang perorangan maupun badan usaha berbadan hukum melalui badan hukum penye­lenggara;

2) Badan hukum penyeleng­gara berprinsip nirlaba, dapat berbentuk yayasan, per­kum­pulan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan wajib mem­peroleh izin Menteri;

3) Setiap badan hukum penyelenggara hanya dapat diberikan satu izin pendirian akademi komunitas yang berkedudukan di wilayah badan hukum penyelenggara;

4) Program studi yang diselenggarakan harus merujuk kepada potensi wilayah, dan/atau kebutuhan khusus dalam menyediakan tenaga terampil untuk mendukung dan men­dorong perkembangan potensi unggulan daerah sebagai upaya mempercepat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota;

5) Adanya fasilitas kerja praktek dan/atau unit usaha (produk/jasa), atau bukti akses terhadap fasilitas kerja praktek yang sesuai dengan program studi yang diusulkan;

6) Adanya jaminan keter­serapan lulusan di wilayah kerja akademi komunitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar