Rabu, 23 Juli 2014

Masalah Relasi dalam Keluarga

                                Masalah Relasi dalam Keluarga

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS,  20 Juli 2014
                                                


PRIA (L) sekitar usia 43 tahun telah melakukan berbagai usaha untuk menghangatkan kembali sikap istrinya, tetapi tidak berhasil. Saya bertanya, sejak kapan dia merasa bahwa sikap istrinya berubah menjadi acuh tak acuh, dingin. Apa saja yang telah dia lakukan untuk membuat istrinya bergairah dan ”happy” kembali.

Kami sudah menikah sepuluh tahun. Semula istri saya (M, 40 tahun) adalah pribadi yang ceria, dan kami sudah punya 2 anak yang berprestasi di sekolah. Namun, dalam 6 bulan terakhir, sikapnya terhadap keluarga kelihatan berubah. Istri saya tampak murung, kurang bergairah, dan segala sesuatu ia kerjakan dengan sikap yang datar, jarang tertawa, bahkan senyumnya yang dulu manis dan tulus lama-kelamaan hilang.

Walaupun ia tetap menjalankan tugas rumah tangga dengan baik, menuruti kemauan saya dalam artian patuh, tidak pernah protes, tetapi semakin hari semakin pendiam dan hanya bicara seperlunya. Sikap terhadap anak-anak pun berubah dan tampak ”cuek”, acuh tak acuh. Terasa pula dalam hubungan intim pun tampaknya hanya sekadar memenuhi kewajiban. Memang saya terkadang kesal, tetapi saya tidak menunjukkan reaksi yang negatif.

Ketika saya tanya kenapa sikapnya berubah, ia hanya mengatakan, ”Ah, enggak ada apa-apa, biasa saja, sudahlah jangan tanya-tanya.”

Ibu, saya sangat mencintai istri saya. Ia ibu yang baik untuk anak-anak, ia juga punya karier membanggakan walaupun untuk masalah penghasilan, saya masih mengunggulinya. Urusan rumah tangga pada umumnya pun dilakukan dengan baik. Saya bingung apa yang harus saya lakukan lagi untuk mengembalikan kondisi istri saya.

Saya mencoba pulang lebih awal dari kantor agar bisa cepat bertemu dengan istri dan anak-anak. Setiap akhir pekan selama ini saya ajak keluarga keluar rumah untuk jalan-jalan, makan di restoran dan terkadang menonton film bersama. Tadinya saya khawatir kalau istri memiliki pria idaman lain, tetapi kecurigaan tersebut saya abaikan karena memang tidak ada bukti nyata. Pernah juga saya menginterogasinya tentang kecurigaan saya tersebut. Kecuali itu, saya juga menanyakan apa saja yang ia lakukan dengan ibunya saat ia menemui ibunya.

Tiga minggu yang lalu saya ajak istri saya berlibur ke Bali, tanpa anak-anak selama 3 hari. Tampak sinar mukanya agak bercahaya dan saat kita berdua melihat pertunjukan kesenian Bali, ia mau menyampaikan pendapatnya tentang tarian Bali dan kostumnya sambil menunjuk salah seorang penari yang benar-benar menguasai tarian dengan baik. Saat itu ia mau tersenyum dan mau memandang muka saya saat berkomentar. Saya senang dan saya raih tangannya dan saya genggam dengan hangat. Tetapi, keluar dari gedung pertunjukan, sikapnya yang murung muncul kembali.

Membina relasi

Apabila saya simak apa yang dilakukan Tn L terhadap istrinya, Ny M, untuk mengatasi masalahnya dengan sang istri sudah sangat sesuai dengan pada umumnya keluarga bahagia. Tentu saja apabila hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk secara tulus dan sungguh-sungguh membina kembali relasi yang penuh kasih.

Memang apabila kita simak, banyak sekali artikel di media masa yang memberikan tips tentang cara membina kembali relasi dengan pasangan agar dinamis, nyaman, dan penuh kasih. Tampaknya usaha Tn L telah memenuhi berbagai tips tersebut. Namun, mengapa sang istri tidak menunjukkan perbaikan respons, bisa disebabkan kekecewaan yang diderita istri akan perlakuan suaminya lama telah dirasakannya sebelum 6 bulan terakhir ini. Enam bulan terakhir ini rupanya puncak kejengkelan dan kekecewaan terhadap suami yang mungkin bertahun telah diderita istrinya tanpa setahu Tn L.

Menurut Tn L, istrinya adalah pribadi yang patuh, menuruti kemauan suami dan jarang secara terbuka mengutarakan apa yang dirasakan pada dirinya. ”Saya pikir, semua berjalan baik dan kondisi keluarga cukup harmonis,” demikian lanjut Tn L. Untuk itu, Tn L seyogianya mengikuti rangkaian tambahan upaya dengan langkah-langkah berikut ini:

• Introspeksi diri, seberapa nuansa sikap keras dan dominan yang dilakukannya terhadap Ny M selama 12 tahun pernikahan, adakah respons spesifik yang diberikan istrinya karena menurut ungkapan di atas, Tn L menyatakan bahwa istrinya patuh, menuruti kemauannya, terkesan tidak berdaya. Seberapa keraskah nada suaranya saat berbicara dengan istri sehingga istri kemudian terdiam dan memilih menuruti kemauannya dalam segala hal. Bagaimanakah relasi intim dengan istri terjadi, apakah ada pemaksaan respons tertentu, yang mungkin saja menyiksa batin istri, tanpa dirasakannya.

Adakah kesempatan bagi istri untuk mengeluhkan hal itu kepada dirinya? Bagaimana pengelolaan keuangan penghasilan keluarga, adakah kesepakatan yang dengan tulus diutarakan istri atau semua bergantung pada kemauannya sendiri? Adakah usul-usul tentang pengelolaan keuangan dipertimbangkan oleh dirinya?

• Adakah kesempatan istri untuk tertawa lepas dan merasa aman dengan pilihan perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian? Adakah tuntutan istri, misalnya tentang hal kebersihan dirinya saat berangkat tidur dan atau cara meletakkan pakaian kotor di kamar atau kamar mandi, dan lain-lain dalam keseharian di rumah yang dipatuhinya?

• Integrasikanlah upaya perbaikan perilakunya sesuai jawaban akan pertanyaan- pertanyaan introspektif tersebut dengan sejumlah upaya perbaikan nyata seperti yang sudah dilakukannya.

Jadi, hanyalah Tn L yang mampu dengan tepat mendapatkan cara-cara tepat dalam mengatasi kemelut relasi dengan istrinya demi tercipta harmoni relasi yang hakiki, penuh kasih yang tulus Tn L dan istrinya, Ny M.

Dengan kata lain, Anda adalah orang yang paling ahli dalam mengatasi masalah relasi dalam keluarga Anda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar