Pilpres
Tidak Dipercaya
Garin Nugroho ;
Sutradara Film, Kolumnis
“Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
20 Juli 2014
Haruslah
dicatat, perhitungan cepat menjadi kisruh serta kehilangan kepercayaan,
karena dalam sejarah 10 tahun ini, banyak lembaga survei merangkap sebagai
konsultan politik hingga tim pemenangan peserta pemilu, baik presiden, kepala
daerah, maupun legislatif.”
Catatan di
atas disampaikan rekan saya, mantan direktur lembaga survei, yang terpaksa
keluar karena tidak kuat bertahan dengan cara kerja lembaga itu, yang
mengelola survei politik tidak atas dasar etika survei, tetapi rekayasa.
Catatan di
atas selayaknya mendorong kita semua untuk merenungi kembali proses berbangsa
lewat pemilu, tidak sekadar menang-kalah, tetapi sebagai sebuah perjalanan
peradaban, lebih khusus lagi pemilu sebagai proses pendidikan warga negara
yang terbesar. Oleh karena itu, di bawah ini saya mencoba memberikan beberapa
catatan budaya berkait pemilu.
Pertama,
pemilu dalam era komoditas. Segala-galanya dikemas, sekaligus dibeli dan
dijual layaknya produk komoditas, baik suara warga, debat calon presiden,
hingga peran institusi pemilu. Dalam bentuk praktisnya tercermin dalam budaya
politik uang.
Contoh
konkret, pemilu legislatif yang lalu, meski terkumpul data politik uang yang
dianggap paling masif pasca reformasi, pemilu dipuji berjalan lancar dan
terasa tidak cukup panduan keprihatinan dari presiden, DPR, KPU, hingga
institusi pemilu. Bisa diduga, meski meriah, pemilu kehilangan nilai-nilai
peradabannya: kepercayaan, kejujuran, dan nilai proses berbangsa.
Kedua,
merosotnya kultur kekuatan sipil penjaga obyektivitas, bertumbuh derasnya
aktivis kemenangan kandidat. Tercatat dalam dua pemilu awal pasca reformasi,
dengan cukup tersedianya sistem dana untuk lembaga-lembaga NGO, maka
institusi penjaga pemilu hingga perhitungan cepat dibiayai oleh
lembaga-lembaga publik swadaya masyarakat. Harus dicatat pula, sebagian besar
intelektual hingga aktivis politik-sosial-budaya-agama aktif dalam menjaga
obyektivitas pemilu serta kematangan berbangsa lewat kerja pendidikan warga
negara.
Seiring
lemahnya sistem dana pada lembaga swadaya masyarakat, terjadilah migrasi
besar-besaran aktivis di berbagai bidang dari kerja pendidikan warga negara
menjadi juru pemenangan kandidat. Kondisi ini melahirkan kecilnya kerja
pemilu sebagai pendidikan warga negara, seluruhnya adalah kerja kampanye
menabuh genderang perang kemenangan. Padahal, belum berpengalamannya warga
mengalami budaya pemilihan langsung dua kandidat sesungguhnya memerlukan
kerja besar pendidikan warga negara, agar tidak lahir dua blok dengan kultur
cinta-benci berlebihan yang membelah kehidupan warga.
Ketiga,
guncangnya status dan peran elite serta institusi pemilu mendorong guncangnya
kultur pendidikan warga negara. Contoh konkret adalah peran berkait aspek
perspektif lembaga survei seperti terurai di awal tulisan. Guncangnya status
dengan peran institusi dan elite politik melahirkan beragam paradoks dalam
proses pemilu: paradoks pemilu mencari pemimpin mulia, tetapi dipenuhi dengan
pemilu politik uang serta manipulasi, paradoks antara pemilu sebagai
komunikasi publik dengan komunikasi komoditas, antara impian prinsip ideologi
warga dengan elite pragmatis tanpa ideologi.
Keempat, era
paradoks bisnis media. Inilah pemilu abad komoditas yang didukung oleh bisnis
teknokapitalis dari televisi hingga media sosial. Setiap suara serta kerja
partisipasi adalah komoditas yang tidak saja menghidupi serta memenangkan
kandidat, tetapi juga menghidupkan korporasi teknokapitalis dari bisnis
industri televisi hingga media sosial. Di sisi lain, kebebasan melahirkan
wajah dua pemilih, yakni partisipasi disertai kreativitas luar biasa, di sisi
lain kebebasan tanpa etika yang melahirkan kampanye hitam serta klarifikasi
balik dengan cara tanpa etika, baik dalam kata maupun tindakan.
Oleh karena
itu, di era bisnis media, penyelenggara pemilu harus hati-hati untuk tak
terjebak dalam lomba menarik perhatian warga lewat kompetisi stasiun televisi.
Di beberapa negara, bahkan seperti Amerika Serikat, debat presiden dilakukan
oleh televisi publik, yakni PBS, tanpa iklan, tanpa eksplorasi pendukung di
studio.
Pada akhirnya, kerja sama KPU dengan stasiun televisi swasta yang
bertabur iklan serta kemasan, menjadikan terjebak dalam lomba menarik
perhatian antarstasiun televisi, sangatlah sulit melakukan pengawasan dan
penghukuman terhadap stasiun televisi yang melakukan pelanggaran sekaligus
bertentangan dengan filosofi komunikasi nilai publik.
Catatan di
atas menunjukkan, kekisruhan, keterbelahan, dan ketidakpercayaan warga
berkait dua blok perhitungan cepat adalah akumulasi pergeseran status dan
peran institusi pemilu di era komoditas dan bisnis media dan hilangnya peran
pendidikan warga negara. Demokrasi kehilangan peradabannya, yang terpenting
hanya prosedur, kemasan riuh rendah, dan hasil akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar