Kesederhanaan
yang Menggerakkan
Serpulus Simamora ; Lulusan
Pontifical Biblical Institute Roma
|
KORAN
JAKARTA, 19 Juli 2014
Sejak
mendeklarasikan menjadi presiden sampai pada masa kampanye, pencoblosan, dan
pascapemilu presiden, Jokowi tampil dan ditampilkan sebagai simbol pembaruan,
bahkan revolusi. Kunci pendasaran tampilan Jokowi ini tampaknya amat sepele,
namun berpengaruh amat dahsyat, yaitu kesederhanaannya.
Kesederhanaan
boleh ditafsirkan dengan banyak makna. Ciri-ciri kesederhanaan antara lain
tampil seadanya, tidak ada yang disembunyikan, tanpa topeng atau tameng,
tidak ada kepalsuan atau kemunafikan. Jadi, sederhana mendekati makna benar
dan jujur. Penampilan inilah yang menarik, memikat, dan memukau.
Di
tengah kehidupan yang penuh jurang kesenjangan sosial sangat dalam, para
tokoh publik seperti politisi, pejabat, pengusaha, agamawan, selebritas kerap
mempertontonkan penampilan hidup mencolok yang jauh dari kenyataan hidup
rakyat. Masyarakat masih berjuang mengais rezeki untuk mempertahankan hidup
dengan pecahan ratusan atau ribuan rupiah setiap hari. Di sisi lain, banyak
politisi atau pejabat meraup korupsi ratusan juta atau miliaran rupiah.
Rakyat merindukan sosok yang mau solider dengan nasib mereka. Mereka
menemukannya dalam diri Jokowi.
Para
pengusaha menikmat keuntungan besar dari bisnis dan para petinggi perusahaan
menerima gaji serta fasilitas lebih dari cukup, sementara para pegawai,
buruh, atau karyawan hanya tetap mencicipi upah hanya tahan sebulan.
Para
pegawai, buruh, dan karyawan mendambakan tokoh yang berjuang demi keadilan
sosial. Mereka menemukannya dalam diri Jokowi.
Agamawan
pun tampil sama seperti para selebritas di media, dengan bayaran dan fasilitas
serbawah. Kebanyakan rakyat hidup di rumah sangat sederhana bahkan dalam
gubuk-gubuk rentan digusur. Mereka mendamba sosok yang mau merasakan
penderitaan tersebut. Tokoh yang peduli dan berniat menaikkan harkat mereka
adalah Jokowi!
Pejuang
Amerika Latin, Marthin Luther King, berteriak, "I have a dream!"
Kalimat itu menjadi sebuah warisan sarat makna dan pengharapan. Di tengah
diskriminasi rasial, Marthin Luther King sanggup berharap, masih ada masa
depan.
Demikianlah,
ketika Jenderal Colin Powell diangkat menjadi Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Amerika Serikat, dunia melihat bahwa mimpi Marthin Luther King
sudah terwujud. Harapan yang tersimpan di benak jutaan rakyat Amerika telah
mewujud. Akan tetapi, barulah sesudah Barack Obama dipilih sebagai presiden
pertama kulit hitam di Amerika Serikat, dunia semakin yakin bahwa mimpi
Marthin Luther King bukanlah di siang bolong.
Amerika
sanggup melakukan perubahan, terutama bukan karena Marthin Luther King, Colin
Powell, atau Barack Obama, melainkan lantaran Paman Sam adalah bangsa yang
berani keluar dari keterkungkungan bingkai pikir (mindset) yang sesungguhnya hanyalah konstruksi sosial.
Sosok
Jokowi, yang kiranya akan menjadi presiden ketujuh RI, menghadirkan harapan
akan era baru dan menjadi sebuah harapan pembaruan yang boleh dikategorikan
revolusioner. Dia bukanlah tokoh yang memiliki "darah biru" politis
yang membawanya secara otomatis pada pusaran medan politik. Darah biru
politis di sini bermakna dari garis keturunan tokoh politik atau struktural
partai politik. Jokowi tidak memiliki keduanya.
Di
kancah budaya politis Indonesia yang berciri dinasti, klan, dan perkoncoan,
para elite berlomba-lomba menaiki tangga kekuasaan dengan cara
sikut-menyikut. Jokowi tidak terjerat mekanisme politis demikian. Dia adalah
seorang kader partai biasa yang dipercayakan mengemban amanah. Kepercayaan
itu berjalan secara alamiah mulai dari tanggung jawab memimpi daerah lebih
kecil (kota) ke wilayah lebih luas (provinsi) dan akhirnya seluruh negeri.
Fenomena
Jokowi membuka harapan baru putra-putri Indonesia untuk berbakti kepada
bangsa dan negara. Jadi, bukan hanya anak politisi atau keturunan pengusaha
yang bisa menduduki jabatan dan mengemban amanat negeri ini. Mereka yang
terbaiklah kuncinya. Meniti karier secara gradual dan alamiah dapat membawa
seseorang sampai pada puncak tertinggi pengemban amanat.
Untuk
sampai ke puncak tidak mesti dengan jalan pintas atau karbitan yang penuh
intrik sikut-menyikut mengandalkan finansial besar. Jokowi berhasil
membongkar paternalisme dan patronisme politis yang kerap terperangkap pada
nepotisme: lingkaran petinggi partai, istri, anak, ipar pejabat, dan
seterusnya. Inilah Fenomena dinamika seleksi alam politik yang sehat.
Ketika
perebutan posisi, kedudukan, atau jabatan lebih banyak ditentukan perkoncoan
politis, nepotisme, dan modal finansial, Jokowi telah menghadirkan sebuah
alternatif. Dia meraih posisi, kedudukan, dan jabatan tertinggi mengandalkan
kekuatan kepercayaan rakyat. Dia telah menunjukkan bahwa dedikasi tulus untuk
mengabdi rakyat membawanya ke tempat layak untuk mengabdi pada bangsa dan
negara.
Pejabat
sering kali disapa sebagai "putra atau putri terbaik bangsa."
Padahal, dia sampai pada posisi itu karena perkoncoan, nepotisme, atau suap.
Rekam jejak sebelumnya tidak penting. Koruptor pun bila menjabat otomatis
menjadi putra atau putri terbaik bangsa.
Namun,
Jokowi tidak demikian. Kelak bila menjabat presiden, Jokowi benar-benar dapat
disebut putra terbaik negeri ini. Predikat terbaiknya dirintis tahap demi tahap.
Status terbaik bukan hasil karbitan atau intrik sikut-menyikut, melainkan
suatu proses gradual alamiah dedikasi tulus.
Fenomena
Jokowi menjadi sebuah kritisis dan seruan pada dunia perpolitikan Indonesia.
Partai politik ditantang membuang paternalisme atau patronisme politis dan
sungguh-sungguh mempersiapkan kader terbaiknya. Kader karbitan yang naik
lewat intrik tidak lagi mampu meyakinkan rakyat.
Kemenangan
Jokowi membuka harapan baru jutaan anak-anak bangsa untuk mengejar cita-cita
lewat prestasi. Seorang guru, seniman, aktivis, camat yang meniti karier
dengan prestasi dan kapasitas kelak juga bisa menyusul Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar