Minggu, 20 Juli 2014

Dul

                                                                          Dul

Putu Setia ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  19 Juli 2014
                                                


DUL bebas dari jerat hukum. Putra musikus Ahmad Dhani dengan nama panjang Abdul Qodir Jaelani ini masih di bawah umur. Tapi dia sudah biasa mengemudikan mobil di jalan umum. Lalu di hari sial itu dia menabrak orang, dan korbannya tewas. Dalam persidangan, jaksa menuntut hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Artinya, Dul tak akan dipenjara, kalau dia tak melakukan kesalahan yang sama. Toh, hakim memutuskan lebih ringan: bebas. 

Artinya, kalaupun Dul suatu kali menabrak lagi, tak serta-merta masuk penjara.
Karena Dul dan bapaknya selebritas yang kerap muncul di televisi, berita bebasnya Dul banyak diikuti oleh orang-orang di desa saya. Para petani kopi itu langsung bergembira atas kabar ini. Mereka mengidolakan Dul? Bukan itu alasannya. Orang-orang desa itu kini tak waswas lagi melihat anaknya ngebut menggunakan sepeda motor. "Ya, lebih tenanglah. Kalaupun anak saya menabrak orang, toh tak akan dihukum, kan di bawah umur," kata salah satu tetua.

Anak-anak di kampung saya bersekolah di SMP yang jaraknya empat kilometer. Pernah ada imbauan dari polisi agar anak-anak SMP tak boleh naik sepeda motor, karena sekolah berada di jalan umum. Hanya siswa SMA yang boleh naik motor, meski tanpa SIM dan helm, karena sekolahnya tidak dilalui jalan umum. Tapi imbauan itu tak dipatuhi karena memang tidak ada angkutan pedesaan yang membawa anak-anak pelajar ini. Jadilah siswa SMP yang baru belasan tahun naik motor. Dasar anak-anak, di jalan mulus itu mereka suka ngebut. Kalau saya berpapasan dengan mereka habis bubar sekolah, saya jadi rajin berdoa. Setiap kali berada di tikungan mobil, saya hampir ditabrak anak-anak ini.

Dul bebas dari hukuman. Saya sepakat, karena saya buta hukum. Kesepakatan saya karena faktor kasihan, anak di bawah umur tak layak dipenjara. Tetapi saya selalu berpikir, mesti ada yang salah kalau ada anak di bawah umur membawa motor atau mobil di jalanan. Siapa yang salah? Saya kok merasa, orang tuanya yang bersalah.

Saya buta hukum, tapi saya tahu aturan berlalu lintas. Orang tua seharusnya mengawasi anak-anaknya jika mengemudikan mobil di jalan umum. Kalau kecelakaan, risikonya berat, apalagi kalau ada korban jiwa. Eh, itu dulu. Kini ada yurisprudensi dari Dul, tak ada seorang pun yang dihukum, baik si anak apalagi si bapak. Dul hanya membayar uang sidang Rp 2.000-sungguh mati saya terheran-heran sampai tidur bagaimana majelis hakim menghitung biaya sidang ini.

Apakah polisi berani dengan gencar merazia pengendara sepeda motor (dan mobil) seperti dulu dengan mendenda pemakai yang tanpa SIM? Atau melarang anak-anak di bawah umur mengendarai motor di jalur yang jauh dari sekolahnya? Mungkin tidak, karena polisi takut dicemooh: "Jangan berlagak Pak Polisi, Dul yang nabrak orang saja bebas, kan dia juga tak punya SIM." Wow, kalau begitu, hakim yang mengadili Dul semestinya memberi denda lebih dari sekadar Rp 2.000 sebagai pengganti tilang (bukti pelanggaran) tak punya SIM.

Jaksa menuntut Dul telah melanggar Pasal 310 ayat 4, ayat 3, dan ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Hakim pun sepakat. Tapi hakim menerapkan asas restorative justice UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, lalu memutuskan Dul "dikembalikan ke orang tuanya"-padahal Dul tak pernah "dipinjam". Pertanyaan besar saya, bagaimana dengan tiga anak yang dihukum karena mencuri kerupuk di Bojonegoro? Ketiga anak itu dihukum penjara 2 bulan 7 hari karena melanggar Pasal 363 ayat 1 KUHP. Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar