Rabu, 23 Juli 2014

Rupiah dan IHSG Menguat Jelang 22 Juli

                 Rupiah dan IHSG Menguat Jelang 22 Juli

A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS,  21 Juli 2014
                                                


AKHIR pekan lalu, rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung menguat. Rupiah diperdagangkan Rp 11.600-Rp 11.700 per dollar AS, sedangkan IHSG bertahan di level di atas 5.000, bahkan mendekati 5.100. Hal ini disebabkan bekerjanya beberapa faktor, baik eksternal maupun internal.

Secara eksternal, timbul sentimen positif setelah Kepala Bank Sentral AS (The Fed) Janet Yellen mengumumkan bahwa kenaikan suku bunga AS baru akan dilakukan tahun depan, bukan tahun ini. Di AS memang sedang timbul polemik tentang suku bunga. Ada yang ingin agar bunga dinaikkan dari level sekarang yang mendekati nol. Di sisi lain, termasuk Janet, masih ingin menahan kebijakan suku bunga rendah ini hingga tahun depan (The Wall Street Journal, 16/7/2014).

Perekonomian AS kini sedang membaik, ditunjukkan dengan angka pengangguran yang turun menjadi 6,1 persen. Namun, karena kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan I-2014 cuma 1,7 persen—akibat terganggu cuaca dingin yang ekstrem—menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 terkoreksi menjadi 2,1 persen. Semula, target pertumbuhan 2014 di atas 2,5 persen.

Melemahnya target pertumbuhan ekonomi AS menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah terhadap mata uang dunia atau sebaliknya bagi rupiah menyebabkan apresiasi (menguat). Sebelum Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli, kurs rupiah di atas Rp 12.000 per dollar AS.

Di luar faktor AS, ada dua hal yang menyebabkan rupiah menguat, yakni (1) hasil pilpres yang mengindikasikan hal positif dan (2) penguatan skema Inisiatif Chiang Mai yang menguntungkan Indonesia.

Menjelang pengumuman resmi hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli 2014, mulai terindikasi kuat bahwa hasil penghitungan riil (real count) oleh KPU ternyata sesuai atau nyaris identik dengan hasil penghitungan cepat (quick count) oleh delapan lembaga survei yang kredibel. Pasar pun merespons positif. Ini bisa dideteksi dari mengalirnya investasi portofolio asing yang mengalir masuk ke Indonesia.

IHSG pekan lalu ditutup mendekati 5.100. Jika pengumuman KPU 22 Juli 2014 berlangsung mulus, IHSG akan terus membubuhkan rekor baru. Meningkatnya IHSG itu sesungguhnya tidak sejalan dengan kinerja para emiten. Kinerja emiten perbankan umumnya stagnan. Memang ada yang mengalami pertumbuhan laba, tetapi banyak pula yang labanya merosot karena tercekik likuiditas ketat. Secara rata-rata, laba bank mengalami stagnasi. Di sektor riil, situasinya sama saja. Industri otomotif bahkan mengalami penurunan penjualan pada triwulan I-2014. Ini menunjukkan bahwa secara fundamental, tidak ada gelagat positif kinerja para emiten di bursa efek.

Kalau begitu, kenaikan IHSG tentunya tidak disokong kondisi fundamental (underlying), tetapi lebih disebabkan euforia atau sentimen positif yang diembuskan lingkungan bisnis (business environment), yang dalam hal ini adalah pilpres (agenda politik).

Dari pengalaman India, sesudah pemilu, pasar percaya bahwa kepemimpinan perdana menteri baru Narendra Modi telah menumbuhkan kepercayaan dan harapan stabilitas ekonomi. Akibatnya, terjadilah aliran dana masuk (capital inflow) yang menyebabkan mata uang rupee menguat. Di kalangan negara-negara emerging markets di Asia, tiga negara yang tetap menjadi favorit tujuan investasi adalah Tiongkok, Indonesia, dan India. Jadi, jika India baru saja mengalami keberhasilan pemilu, situasi yang sama mestinya juga akan terjadi pada Indonesia.

Faktor lainnya adalah penguatan skema Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM), yakni kerja sama antarbank sentral ASEAN ditambah Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Skema ini intinya adalah jika negara ASEAN terkena krisis, di mana keseimbangan eksternalnya tertekan hebat—sehingga mata uangnya terdepresiasi tajam—tiga negara Asia Timur itu (belakangan ditambah Hongkong) akan membantu memasok devisa.

Kerja sama semacam ini sangat menguntungkan Indonesia. Saat Indonesia terkena krisis 1997-1998, pasokan devisa dari IMF terlalu kecil dan lambat. Padahal, situasi kita sangat kritis, tetapi IMF terlalu ”pelit” memasok devisa. Akibatnya, krisis Indonesia bukannya sembuh malah parah dan lama.

Situasi itu kini coba ditanggulangi dengan CMIM. Semula CMIM hanya menyiapkan dana 120 miliar dollar AS, kini ditingkatkan menjadi 240 miliar dollar AS untuk disalurkan ke negara ASEAN yang terkena krisis. Sebagai perbandingan, Brasil-Rusia-Tiongkok-Afrika Selatan (BRICS) baru saja membentuk bank dengan modal 100 miliar dollar AS, jauh di bawah komitmen CMIM.

Skema baru CMIM sangat membantu Indonesia menghadapi krisis. Indonesia tidak perlu lagi meminta tolong IMF karena memiliki negara-negara sahabat yang lebih berempati dan sigap membantu, yakni trio Tiongkok-Jepang-Korea Selatan. Kombinasi cadangan devisa ketiganya kini 5,6 triliun dollar AS, yakni Tiongkok (4 triliun dollar AS), Jepang (1,28 triliun dollar AS), dan Korea Selatan (360 miliar dollar AS). Cadangan devisa Indonesia kini 107 miliar dollar AS.

Sebagaimana India yang sukses dengan pemilu dan pembentukan pemerintah baru yang lebih ramping, Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan momentum pilpres. Pasar sudah memberikan indikasi mendukung hasil penghitungan cepat dan penghitungan riil sementara, yang ditunjukkan dengan menguatnya rupiah dan IHSG. Hendaknya momentum ini kita kawal, pertahankan, dan bahkan ditingkatkan sehingga mencapai titik kulminasinya pada Selasa, 22 Juli 2014.

Karena itu, sangat penting untuk tidak mengganggu KPU melakukan penghitungan final. Biarkan KPU bekerja dengan tenang, tanpa tekanan kerumunan massa. Masyarakat cukup menonton dari televisi, tidak perlu ke KPU, yang justru rawan menimbulkan kegaduhan secara tidak perlu.

Selanjutnya, biarkan pasar menilai dengan saksama sehingga hasil final pilpres bisa mengoptimalkan pergerakan rupiah dan IHSG. Jika Selasa besok semuanya aman-aman saja, ekuilibrium baru rupiah Rp 11.300 per dollar AS dan IHSG mencapai 5.200 bukanlah hal yang sulit dicapai.

Sesudah itu, izinkan presiden baru nanti dengan tenang dan jernih membentuk kabinet yang profesional, ramping, dan efisien. Hanya dengan cara itu sentimen positif pasar bakal bisa dipelihara dan berlanjut. Inilah modal awal terbesar yang kita miliki untuk memulai Indonesia baru yang penuh harapan. Jangan pernah menyia-nyiakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar