Mencari
“Keadilan” untuk AQJ
Herie Purwanto ;
Pemerhati Masalah Hukum, Tinggal di Batang
|
SUARA
MERDEKA, 19 Juli 2014
“Apakah
itu akan jadi yurisprudensi memutus perkara serupa dengan terdakwa yang tak
’’selevel’’ AQJ?”
ABDUL Qodir Jaelani (AQJ),
anak pemusik Ahmad Dhani, divonis bebas dari penjara kendati terbukti
melanggar Pasal 310 Ayat 4, 310 Ayat 2 dan 3, serta Pasal 310 Ayat 1 UU Nomor
2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Timur memutuskan terdakwa dikembalikan untuk kembali diasuh
orang tuanya kendati terbukti lalai sehingga mengakibatkan kecelakaan yang
merenggut jiwa. (SM, 17/7/14).
Pertimbangan lain berkait
vonis itu, terdakwa masih berusia anak-anak, masa depannya masih panjang, dan
telah ada perdamaian antara keluarga terdakwa dan keluarga korban. Selain
itu, orang tua AQJ berjanji akan membiayai anak-anak korban hingga jenjang
perkuliahan.
Putusan bebas dari penjara
dengan pertimbangan tersebut dalam konteks restorative justice merupakan hal
yang memang seharusnya diterapkan (das sollen). Meskipun pemahamannya lebih
diperluas bahwa penerapan putusan bebas penjara terhadap AQJ menjadi sebuah
pilihan hakim dalam memandang bahwa hukum itu untuk manusia.
Hanya saja ada pertanyaan
kritis yang mengikuti, yakni apakah hal tersebut juga akan dijadikan
yurisprudensi oleh hakim-hakim lain dalam memutus perkara serupa dengan
terdakwa yang tidak ’’selevel’’ AQJ? Mengingat asas persamaan di muka hukum,
bila ini menjadi sebuah spirit penegakan hukum maka akan memberikan titik
cerah keadilan, khususnya terhadap terdakwa anak-anak.
Substansi proses
pengadilan pada anak memang tidak untuk memidanakannya, namun harus lebih
mengedepankan upaya-upaya lain yang masih bisa dilakukan. Pemidanaan terhadap
anak adalah upaya terakhir ketika upaya-upaya lain tidak mungkin lagi untuk
diterapkan (ultimum remidium).
Hal ini bisa didasari pada
perbuatan yang dilakukan oleh anak merupakan perbuatan yang meresahkan
masyarakat (seperti kasus anak sebagai terdakwa kekerasan seksual terhadap
anak, pengulangan tindak pidana (recidive),
ataupun perbuatan pidana dengan korban yang tidak mau memaafkan kesalahan
terdakwa.
Hanya permasalahannya
kemudian adalah, tidak semua terdakwa anak-anak dalam kasus pidana orang tua
atau walinya berbuat sama dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Dhani selaku
orang tua AQJ. Dari segi materi, sangat mungkin orang tua AQJ melakukan
perbuatan-perbuatan yang bisa ”meluluhkan
hati” keluarga korban. Hal itu mungkin berbeda dari banyak orang tua yang
lain, yang belum tentu mampu melakukan sesuatu sebagaimana Ahmad Dhani.
Cara
Pandang
Padahal, kepentingan masa
depan anak juga dimiliki oleh anak-anak lain. Di sinilah yang akan diuji, apakah
pada kasus yang sama, terjadi putusan seperti yang dialami atau justru muncul
disparitas atau perbedaan? Cara pandang antara hakim satu dan hakim yang lain
tentu tidak sama, lebih-lebih hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan
hukuman.
Pada kasus yang menimpa
AQJ, faktor kelalaian menjadi substansi perbuatan yang mengantarkan anak
pemusik beken negeri ini, meskipun menyebabkan jiwa orang lain melayang,
duduk di kursi terdakwa. Tentu tidak bisa diperlakukan terhadap tindak pidana
lain yang sama-sama menghilangkan nyawa orang lain dalam konteks Pasal 338
KUHP tentang Pembunuhan.
Jecky Tengens dalam
artikel hukum.online.com menyebutkan konsep pendekatan restorative justice
merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi
terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus
pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan
kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang
bagi pihak korban dan pelaku.
Dengan kerangka pemahaman
seperti ini, penegakan hukum memberikan ruang partisipasi antara korban dan
pelaku dalam bentuk kesepakatan yang bisa merestorasi hubungan keduanya
sebagaimana sebelum terjadi perbuatan pidana. Adanya partisipasi ini
diakomodasi oleh perangkat Criminal
Justice System yang bermuara dengan putusan yang menguntungkan kedua
belah pihak.
Putusan bebas penjara bagi
AQJ telah mewakili roh dari semangat penyesalan pelaku dalam bentuk
memberikan kompensasi yang bisa diterima oleh korban, sehingga kedua pihak
merasa adil. Adagium fiat justitia ruat
coelum yang sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam
pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum yang bermuara kepastian hukum tetap
saja terjaga. Kita tak bisa memungkiri bahwa hakikatnya hukum itu seharusnya
memang diciptakan untuk manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar