Minggu, 20 Juli 2014

Mencari “Keadilan” untuk AQJ

                                Mencari “Keadilan” untuk AQJ

Herie Purwanto  ;   Pemerhati Masalah Hukum, Tinggal di Batang
SUARA MERDEKA,  19 Juli 2014



“Apakah itu akan jadi yurisprudensi memutus perkara serupa dengan terdakwa yang tak ’’selevel’’ AQJ?”

ABDUL Qodir Jaelani (AQJ), anak pemusik Ahmad Dhani, divonis bebas dari penjara kendati terbukti melanggar Pasal 310 Ayat 4, 310 Ayat 2 dan 3, serta Pasal 310 Ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan terdakwa dikembalikan untuk kembali diasuh orang tuanya kendati terbukti lalai sehingga mengakibatkan kecelakaan yang merenggut jiwa. (SM, 17/7/14).

Pertimbangan lain berkait vonis itu, terdakwa masih berusia anak-anak, masa depannya masih panjang, dan telah ada perdamaian antara keluarga terdakwa dan keluarga korban. Selain itu, orang tua AQJ berjanji akan membiayai anak-anak korban hingga jenjang perkuliahan.

Putusan bebas dari penjara dengan pertimbangan tersebut dalam konteks restorative justice merupakan hal yang memang seharusnya diterapkan (das sollen). Meskipun pemahamannya lebih diperluas bahwa penerapan putusan bebas penjara terhadap AQJ menjadi sebuah pilihan hakim dalam memandang bahwa hukum itu untuk manusia.

Hanya saja ada pertanyaan kritis yang mengikuti, yakni apakah hal tersebut juga akan dijadikan yurisprudensi oleh hakim-hakim lain dalam memutus perkara serupa dengan terdakwa yang tidak ’’selevel’’ AQJ? Mengingat asas persamaan di muka hukum, bila ini menjadi sebuah spirit penegakan hukum maka akan memberikan titik cerah keadilan, khususnya terhadap terdakwa anak-anak.

Substansi proses pengadilan pada anak memang tidak untuk memidanakannya, namun harus lebih mengedepankan upaya-upaya lain yang masih bisa dilakukan. Pemidanaan terhadap anak adalah upaya terakhir ketika upaya-upaya lain tidak mungkin lagi untuk diterapkan (ultimum remidium).

Hal ini bisa didasari pada perbuatan yang dilakukan oleh anak merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat (seperti kasus anak sebagai terdakwa kekerasan seksual terhadap anak, pengulangan tindak pidana (recidive), ataupun perbuatan pidana dengan korban yang tidak mau memaafkan kesalahan terdakwa.

Hanya permasalahannya kemudian adalah, tidak semua terdakwa anak-anak dalam kasus pidana orang tua atau walinya berbuat sama dengan apa yang dilakukan oleh Ahmad Dhani selaku orang tua AQJ. Dari segi materi, sangat mungkin orang tua AQJ melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa ”meluluhkan hati” keluarga korban. Hal itu mungkin berbeda dari banyak orang tua yang lain, yang belum tentu mampu melakukan sesuatu sebagaimana Ahmad Dhani.

Cara Pandang

Padahal, kepentingan masa depan anak juga dimiliki oleh anak-anak lain. Di sinilah yang akan diuji, apakah pada kasus yang sama, terjadi putusan seperti yang dialami atau justru muncul disparitas atau perbedaan? Cara pandang antara hakim satu dan hakim yang lain tentu tidak sama, lebih-lebih hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan hukuman.

Pada kasus yang menimpa AQJ, faktor kelalaian menjadi substansi perbuatan yang mengantarkan anak pemusik beken negeri ini, meskipun menyebabkan jiwa orang lain melayang, duduk di kursi terdakwa. Tentu tidak bisa diperlakukan terhadap tindak pidana lain yang sama-sama menghilangkan nyawa orang lain dalam konteks Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.

Jecky Tengens dalam artikel hukum.online.com menyebutkan konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Dengan kerangka pemahaman seperti ini, penegakan hukum memberikan ruang partisipasi antara korban dan pelaku dalam bentuk kesepakatan yang bisa merestorasi hubungan keduanya sebagaimana sebelum terjadi perbuatan pidana. Adanya partisipasi ini diakomodasi oleh perangkat Criminal Justice System yang bermuara dengan putusan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Putusan bebas penjara bagi AQJ telah mewakili roh dari semangat penyesalan pelaku dalam bentuk memberikan kompensasi yang bisa diterima oleh korban, sehingga kedua pihak merasa adil. Adagium fiat justitia ruat coelum yang sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum yang bermuara kepastian hukum tetap saja terjaga. Kita tak bisa memungkiri bahwa hakikatnya hukum itu seharusnya memang diciptakan untuk manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar