Politik
(Ala) Negarawan
Muhammad Rizki Utama ; Peneliti pada Jejak
Islam untuk Bangsa (JIB),
Pendiri Komunitas Pencinta Sejarah Islam
|
REPUBLIKA,
02 April 2014
Aroma `tahun politik'2014 sudah
tercium tajam. Wajah-wajah lama dan baru menghiasi kalender, buku, jalanan,
pepohonan, hingga mem bentang di billboard yang pajak sewanya tak sedikit.
Itulah para politisi yang wajah dan benderanya menghiasi gemerlap kota, juga
lorong-lorong desa. Tahun ini, para politisi sibuk dengan agendanya
masing-masing. Partai politik (parpol) sibuk menggenjot hasil survei,
memikirkan strategi meraup suara.
Tapi, bagi seorang negarawan,
tampaknya ia tak terpengaruh oleh ingar bingar `Pesta Demokrasi' 2014. Tak
ada yang berbeda darinya, selain sibuk memeras keringat untuk negaranya. Ia
bahkan sibuk setiap saat, saat wajah-wajah baru kini bermunculan. Begitulah
sejarah mengajarkan kita bagaimana kiprah mereka para negarawan. Visi politik
mereka jauh melampaui zamannya.
Jika menurut pakar politik Dr
Yudi Latif, seorang negarawan adalah orang yang berjuang meletakkan dirinya
untuk negaranya hingga rakyat pun merasa memilikinya, maka politisi seorang
yang berada dalam lingkaran politik dan menempatkan politik untuk kepentingan
dirinya.
Dalam hal politik praktis,
seorang politisi sangat terikat pada parpol, kampanye, pemilihan umum,
kontrak politik, juga pemilu yang harus memunculkan wajahnya. Namun, bagi
seorang negarawan, dia bukanlah seorang yang dimiliki parpol, kelompok, atau
pribadi, melainkan dirinya kini --dan sejak awal-- dimiliki oleh masyarakat
dan negaranya.
Negarawan dalam sejarah
Dalam sejarahnya, Indonesia
pernah melahirkan sosok-sosok negarawan. Politik negarawan terlihat jelas
ketika mereka berjuang di tengah masyarakat, mengisi nurani masyarakat dengan
nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Sebut saja Haji Agus Salim yang disebut
Sukarno "The Grand Old Man".
Kustiniyati Mochtar (1984) dalam buku Seratus
Tahun Haji Agus Salim menulis "...
sejarah mengenang seseorang yang telah memberikan 50 tahun dari usianya 70
tahun untuk mewujudkan keyakinannya ...."
Haji Agus Salim mengkhidmatkan
dirinya untuk perjuangan. Salah satu muridnya, Mr Mohammad Roem, yang dikenal
sebagai diplomat ulung mengisahkan bagaimana kehidupan pemimpin besar ini. "Waktu kami dipersilakan bertemu
dengan keluarga Haji Agus Salim, maka seluruh keluarga itu tempatnya hanya di
satu ruangan. Kopor-kopor bertumpuk-tumpuk di pinggir ruangan serta beberapa
kasur digulung, sedangkan di tengah ada ruang yang bebas untuk duduk-duduk
dan menerima tamu." (Roem:1983). Bisa dibayangkan jika zaman
sekarang ada seorang menteri dan pemimpin bangsa yang mengontrak rumah,
tinggal di gang becek, bahkan rumahnya kosong melompong! "Leiden is Lijden", (memimpin itu menderita) menjadi
prinsip Agus Salim dan para pemimpin bangsa dahulu.
Dengan kesederhanaanya--bahkan
Mr Roem bilang penderitaannya-- ia dapat menggerakkan masyarakat. Bahwa, memimpin
itu bukan soal menumpuk harta, berlimang kemewahan, atau jalan memuluskan
proyek keluarga, juga partai politik. Bagi negarawan seperti Agus Salim,
memimpin adalah pengabdian bagi bangsa dan agama. Politik negarawan tak
bicara soal suara, tapi ia adalah narasi besar bangsa, tentang tatanan
masyarakat yang diidamkan.
Selain Agus Salim, politik
negarawan terlihat jelas pada ulama besar Buya Hamka. Dalam tulisannya
`Politik Hamka' , Moh Roem berpendapat bahwa istilah politik artinya luas,
tak melulu urusan suara, tapi idealisme membina masyarakat. "Ia (Hamka) mengikuti segala
peristiwa hidup yang menyangkut umat dan wajib ia menemukan jawabannya dalam
ajaran Islam. Ulama tidak mungkin berbuat lain daripada itu." (Roem,
Bunga Rampai Dari Sejarah)
Bahkan, ketika dilantik menjadi
Ketua MUI pertama, Hamka menolak digaji. "Ada satu syarat lagi yang
diajukannya sendiri sebelum menerima tawaran yang penuh risiko itu, yaitu
sebagai ketua yang dilantik pemerintah tidak menerima gaji dan pensiun
(Rusydi Hamka:1981). Baginya "Ulama
tak bisa dibeli." Mungkin terdengar agak `kasar' namun itulah
politik negarawan, bukan politik uang yang berkembang laiknya sekarang.
Selain Agus Salim dan Hamka, penulis
Ajip Rosidi dalam bukunya Syafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Pada Allah SWT, mencatat sosok seorang menteri
keuangan yang berkhidmat untuk umat yaitu Syafruddin Prawira negara. "Waktu
anak yang ketiga lahir, Chalid, keadaan keluarga itu begitu buruk sehingga
untuk membuat gurita bayi pun mereka terpaksa menyobek kain kasur, karena
kain biasa tidak ada lagi." (Ajip Rosidi: 2011).
Berpikir sejenak, sangat mungkin
di zaman sekarang seorang pejabat menggunakan jabatannya untuk mereguk harta
berlebih. Tapi, ketika melihat Syafruddin, seorang Menteri Keuangan yang
bahkan membeli popok bagi putrinya saja tak mampu. Ketika pindah ke Yogyakarta,
menteri ini menumpang rumah, dan tak membawa apa pun. "Meskipun kehidupannya adalah menteri keuangan, tetapi
dibandingkan dengan kehidupannya taktkala menjadi kepala inspeksi pajak di
Kediri, keadaannya jauh lebih sederhana, malah dekat kepada melarat."
kata Ajip Rosidi.
Menanti sang negarawan
Masih banyak sosok negarawan tentunya
yang dilahirkan di tengah masyarakat dan berkhidmat untuk umat. Mereka
dibentuk oleh proses panjang dan cita-cita besar tentang bangsanya. Indonesia
membutuhkan pemimpin yang tidak datang menjajakan dirinya, tapi pemimpin yang
menginspirasi, sederhana, menggerakkan dengan keikhlasan.
Proses politik negarawan berbeda
dari politik praktis yang serba terbatas oleh waktu, ruang, biaya, dan transaksi-transaksi
lima tahunan. Politik negarawan lahir dari idealisme yang diperjuangkan. Visi
kepemimpinan mereka melampaui generasi dirinya dan proses itu terus
berlangsung sampai sekarang, bahkan akan terus berlangsung.
Di kampung-kampung, cikal bakal negarawan
terus berkhidmat melayani umat dengan ikhlas. Mereka tak dibatasi sekat-sekat
waktu, partai politik, golongan, atau deal-dealyang menggoda. Anak-anak kecil
mereka ajarkan mengeja kalam. Di kota-kota, diskusi-diskusi menghasilkan
karya pada bidangnya masing-masing. Karya besar un tuk masyarakat yang tak
lekang oleh waktu.
Di surau-surau itu calon
pemimpin itu dengan semangat belajar walau sudah larut malam. Dalam kelas
reyot itu, guru-guru ikhlas mengeja kata bersama murid-muridnya. Semuanya
terus berjalan. Bukan di dalam ruang transaksi di mana uang begitu mengalir
deras di kafe-kafe, hotel berbintang, gedung megah nan ber-AC, hingga
gedung-gedung berkarpet merah yang nikmat untuk bernegosiasi.
Bangsa ini membutuhkan mereka,
para negarawan, bukan politisi yang melanjutkan transaksi-transaksi politik
dengan pelbagai kepentingan dirinya dan kelompoknya. Masyarakat rindu sosok
seperti mereka, yang mengetuk hati, mengajak nurani, membangun optimisme. Semoga Allah lahirkan mereka di tengah
kita, jikalau tidak, semoga diri ini bisa memulainya dari sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar