Kerimulogi
Staf Ahli
Ihwan Sudrajat ; Staf Ahli Gubernur
Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 03 April 2014
DALAM
karier birokrat, berpindah posisi adalah hal wajar, namun umumnya enggan
menempati posisi staf ahli kepala daerah. Ada seorang staf ahli bupati
mengibaratkannya dengan perasaan, pengemudi yang harus mengerem mendadak
karena seseorang menyeberang jalan. Untung, pengemudi dapat mengendalikan
kendaraannya, penyeberang pun selamat.
Pengemudi
akan merasakan persendian kakinya lepas dari raga, jantungnya berdegup
kencang, dan mata berkunang-kunang. Istigfar akan berulang kali diucapkan
untuk mengendalikan adrenalin yang naik secara tiba-tiba karena kekagetan dan
hentakan luar biasa. Perspektif itu tidak sepenuhnya benar. Banyak staf ahli
kepala daerah merasa bersyukur ditempatkan di posisi tersebut karena situasi
politik di pemerintahannya tidak memberi kenyamanan dalam bekerja, terlalu
banyak order ”under the table” yang rawan hukum dari kepala daerah. Bagi
pejabat yang aktif berbisnis di luar kantor, justru penempatan itu membuat
mereka lebih leluasa mengembangkan bisnis. Bagi mereka yang kurang begitu
sehat, banyak waktu luang dapat dimanfaatkan memperbaiki kesehatannya.
Berdasarkan
PP Nomor 41 Tahun 2007, kepala daerah dapat mengangkat staf ahli untuk
membantu di luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Tidak akan ada staf ahli
andai kepala daerah tidak membutuhkan. Oleh karenanya, staf ahli adalah
jabatan strategis, eselonnya setingkat
kepala SKPD. Kepala daerah dapat menggunakan pemikiran staf ahli untuk
referensi dalam pembuatan kebijakan.
Sayang,
semangat regulasi tidak tercermin dalam praktik. Fungsi staf ahli, sebagai
pemberi input, kadang tidak terlaksana karena cara pandang kepala daerah
tidak memungkinkan terjadi komunikasi dua arah yang baik. Staf ahli ibarat
pemain bola yang ditarik dari lapangan dan dibangkucadangkan karena dianggap
lamban dan tidak mengikuti strategi pelatih. Wajar saja, ketika wakil bupati
terpilih menjadi bupati maka langkah pertama yang dilakukan adalah
memindahkan kepala SKPD pendukung pesaingnya dalam pilbup, sebagai staf ahli.
Nuansa
egoisme kepala daerah sangat kuat mewarnai pemfungsian staf ahli. Egoisme
negatif kepala daerah akan menjadi kuburan staf ahli selama masa jabatan
kepala daerahnya, kecuali kekuasaan Tuhan berkata lain. Apatisme luar biasa
akhirnya akan lahir dan membelit para staf ahli. Mereka bekerja hanya sekadar
memenuhi kewajiban sebagai pejabat yang digaji tinggi.
Tidak ada
lagi kreativitas, terobosan, dan inovasi yang selama ini jadi bagian dinamis
dari kesehariannya. Tidak ada lagi kesan yang tertinggal bahwa mereka adalah
orang-orang yang terpilih dan punya keunggulan dibanding rata-rata pegawai
lainnya. Hal seperti ini saya rasakan
tiap kali bertemu dalam rakor dengan staf ahli se-Jawa Tengah. Bukan berarti
mereka tidak pernah berusaha, melainkan usahanya sering kandas karena tak ada
respons positif dari kepala daerah. Menurut staf ahli bupati Tegal, birokrasi
adalah organisasi top down, dari atas ke bawah. Jika dari atas tidak ada
perintah dan terwujud mispersepsi atas jabatan staf ahli, sekuat apa pun staf
ahli bekerja yang didapat hanya kesia-siaan.
Daur Ulang
Proses
ini lebih tepat disebut kelirumologi staf ahli sehingga jabatan tersebut menjadi escape position untuk menghindari
konflik manajemen kepala daerah. Proses ini sudah lama berlangsung, jauh
sebelum PP Nomor 41 Tahun 2007 lahir, dan sejak staf ahli bukan jabatan struktural, membuat kekeliruan
menjadi sebuah kebenaran. Stigma staf ahli telah membuat banyak pejabat
kebakaran jenggot dan alergi terhadap jabatan staf ahli. Bahkan berupaya
menjauh dari staf ahli agar tidak terkesan berseberangan dengan kepala
daerah.
Di
tengah kedahagaan para staf ahli akan tugas pokok dan fungsinya yang lebih
jelas dan terukur serta rasa inferior yang makin dalam, ada harapan dialirkan
Gubernur Ganjar Pranowo. Dalam sambutannya saat pelantikan pejabat eselon 3
dan 4 (12/3/14), Ganjar mengatakan mendaur ulang fungsi staf ahli. Peran staf
ahli (gubernur) akan diperkuat dengan penugasan khusus menyupervisi dan
mengoordinasikan SKPD serta melaporkan (hasilnya) langsung kepada gubernur.
Gagasan
ini seperti oasis di padang pasir, terlihat dari kejauhan dan akan menjadi
kenyataan jika menjadi sistem yang jelas, terstruktur, dan terukur. Saat
kabar ini saya sampaikan kepada kawan-kawan staf ahli dalam pertemuan di Solo
(27/3), mereka antusias dan menyampaikan penghargaan luar biasa. Gagasan ini
diharapkan menjadi sistem untuk tupoksi staf ahli bupati/wali kota.
Permintaan
yang wajar karena pada dasarnya birokrasi (staf ahli) tidak pernah terbelah
hatinya, tidak tergiring pikirannya untuk mengunci diri pada seorang kepala
daerah sehingga melupakan status PNS-nya. Sejatinya birokrasi hanya bekerja
untuk negara dan mengabdikan karya untuk rakyat, dengan membantu kepala
daerah. Staf ahli datang tidak secara tiba-tiba, mereka menempati posisi
eselon 2 karena punya banyak kelebihan, dan mereka bersaing dengan ribuan PNS
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar