Politisasi versus Harga Keekonomian BBM
Tulus Abadi, Anggota
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
SUMBER : KORAN TEMPO, 03 April 2012
"...Kami
seribu persen setuju dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, tapi partai kami
nggak mungkin mengiyakan
kebijakan SBY...." Demikian pernyataan salah seorang anggota DPR dari
Fraksi PDIP dalam suatu diskusi tertutup. Pernyataan tersebut mencerminkan
bahwa persoalannya bukan lagi ekonomi, apalagi kesejahteraan masyarakat,
melainkan lebih karena "gengsi
politik" belaka. Dalam konteks kejawaan, sikap semacam itu lazim
disebut waton suloyo, alias asal beda.
Pada akhirnya, berdasarkan hasil Sidang
Paripurna DPR yang hingga larut malam itu, bukan hanya Fraksi PDIP yang
terperangkap dalam politisasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM), tetapi
nyaris semua fraksi. Kandas pula niat pemerintah untuk mengerek kenaikan harga
BBM per 1 April 2012.
Ironisnya, di tengah hiruk-pikuk perdebatan
politis dan ekonomis kebijakan harga BBM, semua pihak terpaku pada
Undang-Undang tentang APBN 2012 saja. Seolah hanya itu undang-undang yang layak
dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan harga BBM. Padahal, secara normatif,
ada undang-undang yang terlupakan (sengaja dilupakan), yakni UU Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi.
Seharusnya, berbasis UU Energi, maka tidak
akan terjadi perdebatan yang tidak diperlukan ihwal harga BBM. Sebab, UU Energi
inilah yang seharusnya menjadi rujukan utama ("undang-undang payung") bagi pemerintah dan DPR dalam
menggulirkan kebijakan energi nasional, termasuk dalam hal kebijakan harga BBM.
Dengan gamblang UU Energi menyebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan
nilai keekonomian berkeadilan (Pasal 7 ayat 1). Boleh jadi pasal semacam ini
akan dihantam dengan isu pasal neolib, alias kental dengan kepentingan asing.
Lagi-lagi, klaim semacam ini juga kurang tepat. Sebab, Pasal 7 ayat 1 tidak
serta-merta hanya mengacu pada keekonomian an sich, tetapi diikuti
dengan kata "berkeadilan".
Konteks berkeadilan dimaksud dengan gamblang dijawab dengan ketentuan
berikutnya bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi
untuk kelompok masyarakat tidak mampu (Pasal 7 ayat 2).
Dengan demikian, sekalipun basisnya harga
keekonomian, tidak kemudian harga energi mengharamkan subsidi. Tetapi, amanat
UU Energi juga menegaskan bahwa subsidi hanya diberikan kepada kelompok
masyarakat yang tidak mampu. Pertanyaan krusialnya, siapakah yang dimaksud
kelompok masyarakat yang tidak mampu? Jelas bukan pengguna kendaraan pribadi
yang dimaksud, yang selama ini menikmati lebih dari 90 persen BBM bersubsidi.
Jika mengacu pada standar Badan Pusat Statistik, maka yang dimaksud kelompok
masyarakat yang tidak mampu (miskin) adalah masyarakat yang berpenghasilan Rp
18.500 per hari. Atau, di bawah 2 US$ per hari kalau mengacu pada standar World
Bank. Sangat tidak masuk akal kalau pengguna kendaraan pribadi digolongkan
sebagai masyarakat yang tidak mampu (miskin), sekalipun itu pengguna kendaraan
pribadi roda dua (sepeda motor).
Jika mengacu pada keterangan Kementerian
ESDM, idealnya harga keekonomian Premium berkisar Rp 7.500-Rp 8.000 per liter.
Jadi, kalau pemerintah hendak menaikkan harga BBM hingga Rp 1.500 per liter
(untuk Premium), maka artinya harga tersebut masih belum relevan dengan harga
keekonomian, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU tentang Energi. Sekalipun
harga Premium Rp 6.000 per liter, selain belum menyundul harga keekonomian,
juga masih di bawah harga BBM di beberapa negara di wilayah ASEAN.
Lihatlah harga BBM di Singapura (grade
92) Rp 15.695, Filipina (unleaded) Rp 12.147, Thailand (blue gasoline
91) Rp 12.453, dan Malaysia (RON 95) Rp 5.753. Maka, dengan demikian, harga BBM
Rp 4.500 per liter di Indonesia adalah terendah di ASEAN. Tingginya disparitas
harga semacam ini, khususnya di daerah-daerah perbatasan, sangat berbahaya
karena terjadi penyelundupan dan distorsi pasokan yang sangat serius.
Akibatnya, kelangkaan BBM terjadi di berbagai daerah perbatasan.
Sayangnya, keberadaan UU tentang Energi
seperti dibenamkan pada tong sampah. Dan kemudian direduksi habis oleh UU
tentang APBN 2012, yang mengharamkan kenaikan harga BBM; sekalipun toh via
sidang Paripurna DPR kemarin, diselipkan klausul (Pasal 7 ayat 6A) bahwa
pemerintah bisa menaikkan harga BBM jika harga ICP (Indonesian Crude Price) telah telah melewati 15 persen. Padahal,
jika mengacu pada asas hukum, UU tentang Energi seharusnya menjadi "undang-undang payung" untuk
pengelolaan dan kebijakan di bidang energi, termasuk dalam kebijakan harga BBM.
Dengan demikian, adalah bertentangan secara
diametral terhadap Undang-Undang tentang Energi jika pemerintah dan DPR tidak
menjadikan UU Energi sebagai rujukan utama. Apalagi kalau harga BBM masih
kental dijadikan komoditas politik yang berkepanjangan. Karena itu, berbasis UU
Energi, pemerintah (dan DPR) harus mempunyai road map yang jelas,
terukur, dan terarah dalam soal harga dan subsidi BBM ini. Jelas sangat tidak
produktif dari sisi ekonomi dan lingkungan global jika mempertahankan subsidi
BBM.
Sebagai komoditas yang menimbulkan dampak
eksternal yang serius (bagi lingkungan global), seharusnya BBM dijual dengan
harga yang mahal, sebagai bentuk disinsentif. Bahkan, sebagaimana di
negara-negara Eropa, BBM dikenai pajak (gasoline tax). Namun praktek di
negara-negara Eropa juga, kendaraan petani yang dijadikan alat untuk mengangkut
produk pertanian masih diberi subsidi, dengan cara memberikan warna yang
berbeda pada bahan bakarnya. Apakah ini bisa dilakukan di Indonesia, dan
bagaimana pula pengawasannya?
Jadi, payung hukum pengelolaan energi (harga
BBM) yang paling ideal seharusnya adalah UU tentang Energi. Sedangkan
undang-undang yang lain, termasuk UU APBN 2012, hanyalah komplementer. Sudah
saatnya pemerintah dan DPR membebaskan diri dari penjara politisasi kebijakan
subsidi BBM (yang notabene produk Orde Baru), dan kemudian mengelola energi
dengan pendekatan harga yang berkelanjutan, baik dari sisi sosial, ekonomi,
maupun lingkungan global. Tanpa itu, subsidi BBM hanya akan menjadi benalu bagi
sisi anggaran di ABPN (siapa pun rezimnya), dan sektor ekonomi makro. Dan
masyarakat akan makin sulit dipisahkan dari fenomena kecanduan subsidi BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar