Parodi Solusi Masalah BBM
Budiyati Abiyoga, Produser
Film
SUMBER : KORAN TEMPO, 03 April 2012
Di ruang tunggu rumah sakit tempat suami saya
sedang dirawat di ICU, di antara kantuk berat karena sudah berhari-hari kurang
tidur, saya mengikuti tayangan televisi yang menampilkan demo mahasiswa dan
masyarakat kebanyakan di Senayan, di depan istana presiden dan di berbagai
daerah. Saya menulis pendapat ini karena tidak tahan mengikuti situasi yang
sudah makin panas sebulan terakhir.
Sama halnya dengan perhitungan pemerintah,
telaah harga BBM dari banyak ahli menunjukkan kenaikan harga BBM adalah opsi
yang tidak bisa dihindari. Perhitungan sangat berbeda antara lain berasal dari
Kwik Kian Gie dan sejumlah ahli lainnya. Banyak juga ahli yang hitungannya sama
dengan pemerintah, tetapi dengan catatan agar penggunaan income
dialokasikan untuk prasarana yang bermanfaat buat rakyat banyak.
Menurut Jusuf Kalla, kenaikan harga BBM
memang perlu. Tetapi, dari pengalaman sewaktu menjabat wakil presiden, kenaikan
harga merupakan satu paket kebijakan dengan penghematan di segala bidang,
antara lain penggunaan energi listrik dengan prioritas pada lingkungan
pemerintah, yang diikuti perusahaan-perusahaan swasta sampai stasiun televisi
pun mengurangi waktu penayangannya. Karena itu, sekalipun ada demo di
sana-sini, tidak timbul pergolakan yang mengkhawatirkan. Penghematan yang
seharusnya sampai sekarang pun diperlukan menerus itu, pada kenyataannya, sudah
dilupakan. Sementara listrik gebyar-gebyar di banyak kantor dan rumah-rumah
menengah-atas, masih ada penduduk yang belum terjangkau aliran listrik.
Dengan sangat intensif menjelaskan kalkulasi
bahwa APBN bakal jebol kalau harga BBM tidak naik, terkesan pemerintah ibarat
menghadapi kiamat saja. Lupa bahwa sewaktu krisis ekonomi yang membuat
pengusaha-pengusaha besar bergelimpangan di masa lalu, negeri kita bertahan
justru karena kekuatan perputaran uang di akar rumput, yang barangkali tidak
bisa dikalkulasi pakai ilmu yang canggih-canggih.
Di antara pendapat ahli yang di antaranya
berseberangan itu, mahasiswa dan para pendemo lainnya barangkali tidak bisa
mengimbangi dengan perhitungan yang cukup rasional, sehingga ada anggapan
alasan penolakan mereka tidak jelas. Ditambah lagi ada ekses sampingan
perusakan sarana publik. Argumentasi pendemo bertumpu pada kekecewaan sampai
kemarahan, mengingat beban rakyat yang sudah bertumpuk akan bertambah lagi
karena dampak berantai pada harga semua bahan pokok dan semua barang serta
jasa, termasuk yang tidak berhubungan langsung dengan BBM.
Atmosfer sama sekali tidak mendukung:
pemerintah baru menaikkan remunerasi pegawai negeri sipil, setiap hari ada
tontonan perampokan besar-besaran uang rakyat, tebang pilih, pisau hukum tajam
ke bawah-tumpul ke atas, MDG's menurunkan angka kemiskinan ibarat fatamorgana
karena, sekalipun income naik, harga-harga lebih dulu naik berkali
lipat.
Sebagai warga negara biasa yang bukan anggota
koalisi maupun oposisi, sejujurnya saya merasa sangat mendesak mengingatkan
pemerintah, untuk keputusan yang sedemikian penting berdampak langsung pada
hajat hidup rakyat banyak, perbedaan sekecil apa pun harus direspons melalui
telaah ulang yang sungguh-sungguh. Andaikan toh keputusannya tidak berubah,
perlu ada periode waktu pembenahan prioritas dengan arah yang jelas, yang semua
warga negeri ini bisa mengikutinya dengan ikhlas.
Perlu penghematan total di semua bidang.
Sumbangan bantuan pemerintah kalau, memang memungkinkan, silakan saja. Tapi
kaitkan dengan kewajiban sekecil apa pun, misal untuk orang tua, sebisanya
mulai sekadar mendongengi anak balita yatim, membersihkan tempat tinggalnya
sendiri sampai saluran dan jalan di depan rumahnya.
Jadi, tangannya tidak
sekadar menengadah, sehingga akan tumbuh harga diri yang akan menjadi dorongan
produktivitas lingkungan sekitarnya. Yang sangat penting justru bantuan
seluas-luasnya untuk tenaga produktif yang bisa menampung tenaga kerja dengan
sekadar tambahan sarana, misal penjahit dengan tambahan satu mesin jahit--yang
bisa menampung tambahan pemesan dan karena itu menambah tenaga kerja. Kasus
seperti ini banyak ditemui di akar rumput.
Terkesan pemerintah sangat percaya diri
dengan keputusan yang akan diambil. Penjelasan Wiranto tentang penghormatannya
kepada penegakan demokrasi sepertinya juga dijadikan indikasi tidak ada upaya
pelengseran yang didukung "orang-orang
kuat" eks Orde Baru. Itu pun TNI masih dilibatkan untuk menghadapi
demo. Padahal kegelisahan rakyat yang ibarat mengalir di dasar saluran akan
sulit diperhitungkan periode waktu berlangsungnya, apakah beberapa hari, satu
bulan, satu tahun, dan seterusnya. Akan banyak energi dan biaya yang terbuang
tidak produktif sama sekali, termasuk perluasan dampak negatifnya. Aliran bawah
itu bisa berubah menjadi back flow arus gelombang tidak terkendali yang
akan menghantam klep penahan sebesar apa pun klep itu.
Terkait dengan pengambilan keputusan serba
kalkulatif yang melenceng, ada parodi dari eks negara jajahan Rusia yang pernah
saya baca 20-an tahun lalu, kalau tidak salah dari buku tipis berjudul Mati
Ketawa Cara Rusia yang saya lupa penulisnya. Salah satu cerita saya
modifikasi seperti berikut ini.
Ada pencuri malam-malam masuk gedung mewah
milik orang kaya lewat jendela lantai atas yang didorongnya kuat-kuat karena
mengira jendela itu pasti kokoh. Ternyata engselnya rapuh, sehingga dia
terjatuh sampai patah kaki. Dia mengadukan si kaya kepada Hakim Wilayah. Sesuai
dengan kalkulasi, tinggi jendela memungkinkan patah kaki kalau terjatuh dari
situ. Si kaya dijatuhi hukuman gantung, tapi bisa mengelak karena sudah
membayar mahal tukang sesuai dengan kalkulasi remunerasi untuk tenaga terampil
senior. Si tukang beralasan, waktu pasang engsel, ada perempuan berbaju mini
lewat yang sesuai dengan kalkulasi jarak pandang memang bisa menggugah berahi.
Si baju mini menyalahkan tukang jahit karena, sesuai dengan kalkulasi, stok
kain cukup untuk rok midi yang dipesannya.
Sialnya, si tukang jahit tidak punya alasan.
Dengan demikian, diputuskan untuk segera menggantungnya. Hakim dengan puas dan
percaya diri mengadakan konferensi pers tentang keputusannya yang bijaksana.
Mendadak petugasnya melapor, eksekusi batal karena si tukang jahit terlalu
tinggi sehingga, sesuai dengan kalkulasi, tali gantungan tidak bisa dijeratkan.
Hakim Wilayah marah besar: "Solusinya
kan gampang sekali: cari tukang jahit yang pendek!" Nah, ada tukang
jahit pendek diseret ke tiang gantungan karena, sesuai dengan kalkulasi "dari data BPS", tingginya sangat
pas dengan ukuran tiang gantungan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar