Memaknai
Hari Kartini
Asrudin, Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
SUMBER
: SUARA KARYA, 20 April 2012
"Kamu tahu motto hidupku? 'Aku mau'. Dua kata sederhana ini
telah membawaku melewati gemunung kesulitan. 'Aku tidak mampu' berarti
menyerah. 'Aku mau!' mendaki gunung itu."
Demikian Kartini mengatakan hal itu pada Stella Zeehandelaar
(seorang perempuan Belanda) dalam suratnya pada 23 Agustus 1900. Motto 'aku
mau' bukan tanpa makna. 'Aku mau' menunjukkan keinginan keras Kartini untuk
merubah situasi dan kondisi Indonesia yang saat itu terbilang cukup
memprihatinkan: marjinalisasi terhadap perempuan dan kondisi kolonialisme.
Atas situasi tersebut, Kartini tidak hanya berdiam diri, ia justru
melawannya. Dalam konteks ini, Kartini dapat dipandang sebagai tokoh perempuan
Indonesia yang mewakili suara perempuan yang tertindas, sub-ordinat, dan
no-hegemonik (subaltern).
Kartini adalah anak gadis yang dipingit, yang kemudian harus
tunduk agar mau dinikahkan secara paksa (sub-ordinat).
Tapi, Kartini tidak hanya berdiam diri. Kartini melawan itu semua, bersuara
melawan kesepian karena pingitan, bersuara melawan arus kekuasaan besar
penjajahan, yang dapat ditemukan dalam catatan-catatan pribadinya.
Dalam korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar (1899-1903),
Kartini menulis banyak hal tentang kondisi Indonesia kala itu. Salah satu yang
paling menonjol, adalah ulasannya tentang poligami dan kritiknya terhadap
kolonialisme.
Dalam suratnya kepada Zeehandelaar (6 November 1899), misalnya,
Kartini pernah menulis, "Aku tidak
akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama
kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan, itu tidak kudapatkan dari
seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah
menikah dan sudah menjadi seorang ayah? Yang hanya karena dia sudah bosan
dengan isterinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan
mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak
mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun
skandal. Hukum Islam mengijinkan laki-laki beristeri empat sekaligus. Meski
banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap
menganggap ini sebagai sebuah dosa."
Begitu pula dalam hal kolonialisme, Kartini tetap bersuara kritis.
Melihat rakyat yang hidup dalam kemiskinan, dengan beban pajak yang tinggi,
ditambah lagi adanya pengaruh opium yang merusak para generasi muda akibat
kolonialisme waktu itu, Kartini lantas melontarkan kritik pedasnya pada
orang-orang kolonial. "... Sejumlah
orang Belanda mengumpati Hindia sebagai 'ladang kera yang mengerikan'. Aku naik
pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali
lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong
mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja
tinggal di sini." (Vissia Ita Yulianto, 2004)
Tanpa disadari, sikap Kartini itu telah memberikan semacam wujud
pedagogis bagi rakyat dan perempuan Indonesia agar tidak berdiam diri, tapi
melawan segala bentuk ketidakadilan, agar perubahan dapat segera dilakukan.
Hari Kartini bukan sekadar untuk diselebrasikan, tapi juga untuk
dimaknai dan diaktualisasikan. Kartini melalui tulisannya (surat-suratnya)
telah memberikan semacam pedagogis yang menyokong banyak pemikiran bagi kaum subaltern (sub-ordinat).
Melalui tulisan-tulisanya yang bernuansa pedagogis, secara tidak
sengaja, Kartini telah menyediakan ruang bagi apa yang disebut oleh Gayatri
Spivak sebagai one-on-one epistemic
change. Maksudnya, tulisan-tulisan Kartini secara tidak sengaja, telah
melatih para perempuan satu demi satu untuk melakukan suatu perubahan.
Dengan begitu, para perempuan Indonesia nantinya mampu
mengidentifikasi dan mempertanyakan sistem representasi politik dominan (yang
umumnya didominasi oleh kaum laki-laki), yang membungkam dan mengeksklusi
mereka karena kedudukan kelas mereka.
Pada saat sekarang, contoh paling bagus dapat kita liat dari upaya
para aktivis dan organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang menuntut kuota
30 persen keterwakilan perempuan di DPR. Meskipun belum mencapai sasaran, tapi
upaya tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di
parlemen. Jika tahun 2004 anggota DPR perempuan hanya berjumlah 61 orang, maka
pada Pemilu 2009 jumlahnya meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dari 550
anggota DPR. Begitu pula pada tingkat DPD, jika pada tahun 2004 anggota DPD
perempuan hanya berjumlah 26 orang, maka pada Pemilu 2009 jumlahnya meningkat
menjadi 34 orang (27,27 persen) dari 132 anggota DPD.
Tapi sayangnya, perubahan ini tidak terjadi dalam hal kekerasan
terhadap perempuan yang kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Komnas
Perempuan mencatat, terdapat 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan
sepanjang tahun 2011. Jumlah yang didapat dari 395 lembaga layanan perempuan
korban kekerasan di 33 provinsi Indonesia ini meningkat 13,32% dibandingkan
tahun sebelumnya (2010), 105.103 korban.
Kekerasan itu terjadi karena masih minimnya kesadaran pedagogis
perempuan awam untuk melawan segala bentuk kekerasan. Sehingga, banyak
perempuan korban kekerasan tidak melaporkan kasusnya. Penyebabnya, antara lain
sulitnya korban mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, rasa malu
maupun trauma, dan keterbatasan mengakses layanan yang tersedia.
Dalam spirit Hari Kartini (21/4), adalah tepat kiranya jika suara
Kartini terus digaungkan untuk dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi
perempuan Indonesia. Agar pada saatnya nanti akan datang bagi sebuah era di
mana tidak ada lagi diskriminasi di semua lapangan kehidupan ataupun kekerasan
terhadap perempuan Indonesia. Para perempuan Indonesia berani terus melawan
segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadap mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar