Wajibkah
Sertifikasi Halal?
Elvina A Rahayu Wiyono, Auditor Senior Halal,
Lead Auditor Sistem
Keamanan Pangan Lembaga Sertifikasi LT IPB
SUMBER
: REPUBLIKA, 20 April 2012
Dengan jumlah konsumen
Muslim terbesar di dunia, yaitu lebih dari 200 jiwa, Indonesia merupakan
potensi pasar produk halal yang prospektif. Tetapi, regulasi tentang jaminan
halal masih lemah. Berbagai kasus seperti kasus “lemak babi“ (19871988),
“Ajinomoto“ (2000), dan lainlain, menunjukkan jaminan halal di Indonesia
bersifat responsif, meskipun sudah ada sejumlah aturan halal.
Regulasi halal dalam perundangan Indonesia
dapat ditemukan pada (1) Undang-Undang Pangan No 7/1996, (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No 8/1999, (3) Peraturan Pemerintah tentang Label dan
Iklan Pangan No 69, (4) Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan
(5) Undang-Undang No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
Segala aturan itu belum cukup memberikan
kepastian dan perlindungan hukum sehingga muncullah Rancangan Undang-Undang
tentang Jaminan Produk Halal yang dimajukan DPR RI sejak 2004. Tetapi, setelah
hampir delapan tahun, kini pembahasan RUU JPH belum rampung juga.
Kontroversi masih menyertai pembahasan RUU
JPH. Pertanyaan pokoknya adalah: apa sebenarnya sistem jaminan produk halal
yang akan diterapkan di Indonesia? Penulis yang saat ini sedang merampungkan
tesis tentang komparasi skema jaminan halal di beberapa negara akan mencoba
untuk menelaah materi krusial dalam RUU JPH.
Isu
Penting
Dalam dunia sertifikasi, masalah transparansi
dan akuntabilitas adalah hal yang sangat krusial yang harus dimiliki dalam
menjalankan aktivitasnya. Poin tersebut perlu diuji dengan bukti-bukti yang
cukup andal sehingga sampai pada kesimpulan bahwa organisasi tersebut memang
layak untuk menjalankan fungsi sertifikasi. Salah satu asas penyelenggaraan
jaminan produk halal yang tertuang dalam RUU JPH adalah transparansi dan
akuntabilitas.
Ini tantangan besar bagi BNP2H selaku badan
pelaksana pelat merah. Bagaimana bisa diyakinkan bahwa BNP2H selaku lembaga
baru bisa menjalankan asas tersebut sementara jenis kegiatan yang akan dinaungi
oleh lembaga tersebut merupakan suatu kegiatan yang sudah cukup mapan dan telah
diakui keberadaannya oleh dunia sertifikasi halal di tingkat dunia.
Dalam RUU JPH, BNP2H disebut sebagai lembaga
pemerintah yang langsung bertanggung jawab kepada presiden melalui kementerian
yang berurusan dengan masalah agama. Singkat kata bahwa BNP2H adalah suatu
badan pemerintah yang berafiliasi dengan Kementerian Agama, yang terkait dengan
agama Islam. BNP2H terdiri atas beberapa unsur dan wakil instansi yang memiliki
fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang pengolahan dan pengawasan produk.
Sebenarnya peran yang disampaikan dalam RUU
JPH merupakan peran dan fungsi LP POM MUI dan BPOM. Sementara, pengawasan
produk pangan olahan di pasaran merupakan tugas dan wewenang dari BPOM. Selama
ini, BPOM sudah kewalahan da lam melakukan post
market surveillance (terkait dengan dana pelaksanaan) terhadap produk yang
beredar, lalu mengapa harus dibentuk suatu badan baru (dengan kapasitas yang
belum teruji) untuk melakukan sebagian tugas BPOM?
Pengawasan terhadap produk halal yang beredar
tidaklah gampang. Jurnal Halal LP POM MUI pernah melakukan survei pada 2000-an
terhadap peredaran produk halal di pasaran. Ditemukan banyak produk impor
ilegal ataupun legal yang mengandung babi, tapi tidak terinformasikan kepada
konsumen. Nah, BNP2H akan mengambil alih semua fungsi dari MUI (LP POM MUI) dan
sekaligus fungsi BPOM dalam hal peng awasan produk halal di pasaran.
Data dari LP POM MUI pada 2010 menunjukkan
bahwa produk pangan le gal (yang memiliki nomor registrasi di BPOM) yang
beredar di pasar Indone sia baru 36,73 persen yang memiliki ser tifikasi halal.
Artinya, produk yang ter jamin kehalalannya di pasaran (me lalui sertifikasi
halal) kurang dari 50 persen. Lalu, bagaimana jaminan kehalalan untuk produk
yang tidak memiliki sertifikat halal, yaitu 63.27 persen? Tidak ada jaminan dan
diserahkan pada konsumen untuk memilih. Lalu, ada wa cana untuk menjadikan
sertifikasi halal menjadi wajib.
RUU JPH menyampaikan sangat detail masalah
sertifikasi halal dari LPH hingga masalah yang sangat teknis yang terkait
dengan bahan. Tetapi, RUU JPH belum membahas bagaimana masalah pengawasan
produk impor yang terkait dengan isu halal.
Selama ini, pusat karantina sudah melakukan
pengawasan terhadap produk olahan susu, misalnya. Tapi, belum ada payung
hukumnya. Masalah sertifikasi halal seharusnya tetap bersifat su karela. Tapi,
jaminan produk halal untuk konsumen Muslim Indonesia adalah suatu keharusan.
Sebagai contoh, Arab Saudi dengan 100 persen
penduduk Muslim memberlakukan ketentuan semua produk yang masuk harus halal
dengan jaminan. Tugas dan peran menyeleksi dilakukan oleh Saudi Food and Drug Authorithy (SFDA). Sehingga, sertifikasi halal
di negara itu tidak lagi diperlukan.
Contoh lain, Uni Emirat Arab yang mayoritas
penduduknya Muslim seperti Indonesia. Pemerintah UEA menerapkan hal yang sama
seperti Arab Saudi, hanya masih membolehkan masuknya daging babi atau daging
hewan halal yang tidak disembelih menurut syariat Islam dengan pengawasan
ketat.
Singapura, yang penduduk Muslimnya sekitar 15
persen sejak 1978 sudah memiliki Administration
of Muslim Law Act (AMLA) yang membolehkan produsen mengklaim bahwa
produknya halal. Klaim boleh mereka tempel pada kemasan produk atau gerai.
Tetapi, mereka tidak boleh mencantumkan logo halal resmi yang dikeluarkan MUIS
yang harus melalui sertifikasi halal. Jika self-claim
tersebut tidak benar, sanksi hukumnya berat.
Ketiga contoh tersebut
menunjukkan bahwa jaminan produk halal bagi konsumen Muslim tidak semata
bertumpu pada sertifikasi halal. Kita dapat mengambil dan mengombinasikannya.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar