Jumat, 20 April 2012

Wajibkah Sertifikasi Halal?


Wajibkah Sertifikasi Halal?
Elvina A Rahayu Wiyono, Auditor Senior Halal,
Lead Auditor Sistem Keamanan Pangan Lembaga Sertifikasi LT IPB
SUMBER : REPUBLIKA, 20 April 2012



Dengan jumlah konsumen Muslim terbesar di dunia, yaitu lebih dari 200 jiwa, Indonesia merupakan potensi pasar produk halal yang prospektif. Tetapi, regulasi tentang jaminan halal masih lemah. Berbagai kasus seperti kasus “lemak babi“ (19871988), “Ajinomoto“ (2000), dan lainlain, menunjukkan jaminan halal di Indonesia bersifat responsif, meskipun sudah ada sejumlah aturan halal.

Regulasi halal dalam perundangan Indonesia dapat ditemukan pada (1) Undang-Undang Pangan No 7/1996, (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8/1999, (3) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan No 69, (4) Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan (5) Undang-Undang No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Segala aturan itu belum cukup memberikan kepastian dan perlindungan hukum sehingga muncullah Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal yang dimajukan DPR RI sejak 2004. Tetapi, setelah hampir delapan tahun, kini pembahasan RUU JPH belum rampung juga.

Kontroversi masih menyertai pembahasan RUU JPH. Pertanyaan pokoknya adalah: apa sebenarnya sistem jaminan produk halal yang akan diterapkan di Indonesia? Penulis yang saat ini sedang merampungkan tesis tentang komparasi skema jaminan halal di beberapa negara akan mencoba untuk menelaah materi krusial dalam RUU JPH.

Isu Penting

Dalam dunia sertifikasi, masalah transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang sangat krusial yang harus dimiliki dalam menjalankan aktivitasnya. Poin tersebut perlu diuji dengan bukti-bukti yang cukup andal sehingga sampai pada kesimpulan bahwa organisasi tersebut memang layak untuk menjalankan fungsi sertifikasi. Salah satu asas penyelenggaraan jaminan produk halal yang tertuang dalam RUU JPH adalah transparansi dan akuntabilitas.

Ini tantangan besar bagi BNP2H selaku badan pelaksana pelat merah. Bagaimana bisa diyakinkan bahwa BNP2H selaku lembaga baru bisa menjalankan asas tersebut sementara jenis kegiatan yang akan dinaungi oleh lembaga tersebut merupakan suatu kegiatan yang sudah cukup mapan dan telah diakui keberadaannya oleh dunia sertifikasi halal di tingkat dunia.

Dalam RUU JPH, BNP2H disebut sebagai lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab kepada presiden melalui kementerian yang berurusan dengan masalah agama. Singkat kata bahwa BNP2H adalah suatu badan pemerintah yang berafiliasi dengan Kementerian Agama, yang terkait dengan agama Islam. BNP2H terdiri atas beberapa unsur dan wakil instansi yang memiliki fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang pengolahan dan pengawasan produk.

Sebenarnya peran yang disampaikan dalam RUU JPH merupakan peran dan fungsi LP POM MUI dan BPOM. Sementara, pengawasan produk pangan olahan di pasaran merupakan tugas dan wewenang dari BPOM. Selama ini, BPOM sudah kewalahan da lam melakukan post market surveillance (terkait dengan dana pelaksanaan) terhadap produk yang beredar, lalu mengapa harus dibentuk suatu badan baru (dengan kapasitas yang belum teruji) untuk melakukan sebagian tugas BPOM?

Pengawasan terhadap produk halal yang beredar tidaklah gampang. Jurnal Halal LP POM MUI pernah melakukan survei pada 2000-an terhadap peredaran produk halal di pasaran. Ditemukan banyak produk impor ilegal ataupun legal yang mengandung babi, tapi tidak terinformasikan kepada konsumen. Nah, BNP2H akan mengambil alih semua fungsi dari MUI (LP POM MUI) dan sekaligus fungsi BPOM dalam hal peng awasan produk halal di pasaran.

Data dari LP POM MUI pada 2010 menunjukkan bahwa produk pangan le gal (yang memiliki nomor registrasi di BPOM) yang beredar di pasar Indone sia baru 36,73 persen yang memiliki ser tifikasi halal. Artinya, produk yang ter jamin kehalalannya di pasaran (me lalui sertifikasi halal) kurang dari 50 persen. Lalu, bagaimana jaminan kehalalan untuk produk yang tidak memiliki sertifikat halal, yaitu 63.27 persen? Tidak ada jaminan dan diserahkan pada konsumen untuk memilih. Lalu, ada wa cana untuk menjadikan sertifikasi halal menjadi wajib.

RUU JPH menyampaikan sangat detail masalah sertifikasi halal dari LPH hingga masalah yang sangat teknis yang terkait dengan bahan. Tetapi, RUU JPH belum membahas bagaimana masalah pengawasan produk impor yang terkait dengan isu halal.

Selama ini, pusat karantina sudah melakukan pengawasan terhadap produk olahan susu, misalnya. Tapi, belum ada payung hukumnya. Masalah sertifikasi halal seharusnya tetap bersifat su karela. Tapi, jaminan produk halal untuk konsumen Muslim Indonesia adalah suatu keharusan.

Sebagai contoh, Arab Saudi dengan 100 persen penduduk Muslim memberlakukan ketentuan semua produk yang masuk harus halal dengan jaminan. Tugas dan peran menyeleksi dilakukan oleh Saudi Food and Drug Authorithy (SFDA). Sehingga, sertifikasi halal di negara itu tidak lagi diperlukan.

Contoh lain, Uni Emirat Arab yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia. Pemerintah UEA menerapkan hal yang sama seperti Arab Saudi, hanya masih membolehkan masuknya daging babi atau daging hewan halal yang tidak disembelih menurut syariat Islam dengan pengawasan ketat.

Singapura, yang penduduk Muslimnya sekitar 15 persen sejak 1978 sudah memiliki Administration of Muslim Law Act (AMLA) yang membolehkan produsen mengklaim bahwa produknya halal. Klaim boleh mereka tempel pada kemasan produk atau gerai. Tetapi, mereka tidak boleh mencantumkan logo halal resmi yang dikeluarkan MUIS yang harus melalui sertifikasi halal. Jika self-claim tersebut tidak benar, sanksi hukumnya berat.

Ketiga contoh tersebut menunjukkan bahwa jaminan produk halal bagi konsumen Muslim tidak semata bertumpu pada sertifikasi halal. Kita dapat mengambil dan mengombinasikannya.●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar