Kamis, 12 April 2012

Kegagalan Pemerintah


Kegagalan Pemerintah
Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS)
SUMBER : SINDO, 12 April 2012


Sidang paripurna DPR pada 30 Maret 2012 memberi wewenang kepada pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jika Indonesia crude price (ICP) selama enam bulan terakhir naik 15% di atas USD105 per barel.

Harga BBM akan naik bila rata-rata ICP telah mencapai USD120,75 per barel. Kapan kenaikan akan terjadi, belum dapat ditentukan. Yang jelas, meskipun harga BBM belum naik,harga-harga kebutuhan pokok telah naik dan menimbulkan inflasi Maret 2012 sekitar 0,08%. Jika harga BBM naik Rp1.500,gubernur BI mengatakan akan terjadi kenaikan inflasi 2,43% sehingga inflasi tahunan 2012 akan menjadi 6,75–6,8%.

Inflasi yang tinggi jelas menambah beban hidup rakyat. Untuk itu, pemerintah memang telah merencanakan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada 18,5 juta keluarga miskin (74 juta jiwa). Namun, pemberian BLSM hingga Rp17,08 triliun patut dipertanyakan. Hal ini dapat diukur dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada kenaikan BBM 2005, 2008, dan 2012.

Pada 2005 kenaikan BBM sebesar 87% menyebabkan inflasi 17%, keluarga miskin penerima BLT 14 juta dan anggaran BLT Rp16,8 triliun. Pada 2008 kenaikan BBM 33%, inflasi 11%,keluarga miskin 15,6 juta, dan anggaran BLT Rp4,9 triliun. Pada 2012 kenaikan harga BBM 33% (menjadi Rp6.000), inflasi 7%, jumlah keluarga miskin 18,5 juta,dan BLSM malah mencapai Rp17,08 triliun!

Statistik di atas memperlihatkan jumlah penduduk miskin pada ketiga momen kenaikan BBM yakni 2005, 2008, dan 2012 terus meningkat masingmasing 14 juta, 15,6 juta, dan 18,5 juta keluarga.Penurunan BLT dari Rp15,6 triliun pada 2005 menjadi Rp4,9 triliun pada 2008 cukup wajar karena inflasi juga turun dari 17% menjadi 11%. Namun, pada 2012 jika dibandingkan dengan 2008, kenaikan BLT (BLSM) hingga Rp17,08 triliun menjadi sangat berlebihan.

Pemberian BLSM bersifat jangka pendek, konsumtif, dan tidak memberdayakan secara berkelanjutan. Karena itu, BLSM harus diturunkan wajarnya menjadi sekitar Rp7 triliun sehingga tersedia dana lebih besar untuk program produktif dan prioritas seperti memberi modal,membangun infrastruktur, membangun sistem transportasi publik dan konversi BBM-BBG. Jika BLSM tetap Rp17,08 triliun, pemerintah mempunyai agenda politik, menyuap rakyat guna pencitraan dan pemulihan nama baik yang terpuruk akibat dugaan kasus-kasus korupsi.

Kegagalan Pemerintah

Selama hampir delapan tahun berkuasa, pemerintah gagal menjalankan tugas-tugas kenegaraan sehingga dampak kenaikan harga BBM 2012 akan semakin berlipat ganda. Minimal ada sembilan kebijakan dan program yang gagal dijalankan.

Pertama, pemerintah gagal mengentaskan kemiskinan. Buktinya, keluarga miskin terus meningkat pada 2005, 2008, dan 2012, yang jumlahnya masing-masing 14 juta,15,6 juta, dan 18,5 juta sesuai program BLT/BLSM. Kedua, pemerintah gagal meningkatkan penerimaan pajak. Selama tujuh tahun terakhir tax ratio (terhadap PDB) hanya berkisar 12% (13% jika ditambah pajak daerah).

Padahal tax ratio negara-negara ASEAN lain lebih tinggi seperti Malaysia 20,17%, Singapura 21,4%, Brunei 18,8%, dan Thailand 17,28%. Hal ini antara lain disebabkan oleh praktik KKN, moral hazard, dan peraturan yang bermasalah. Peningkatan tax ratio akan dapat mengatasi banyak permasalahan APBN.

Ketiga, pemerintah gagal memberantas korupsi sehingga terjadi pemborosan dan perampokan APBN. Diperkirakan, minimal 20% APBN yang setiap tahun defisit dan ditutup dengan utang dikorupsi. Keempat, pemerintah gagal mereformasi birokrasi. Belanja pegawai dan TNI/Polri terus meningkat , namun produktivitas kerja rendah. Fasilitas dan perjalanan dinas terus meningkat seiring dengan pemborosan anggaran. Presiden membeli pesawat kepresidenan. Kementerian Keuangan telah puluhan tahun menikmati remunerasi, tapi korupsi pajak tetap berlangsung!

Kelima, pemerintah gagal menyediakan sistem transportasi publik. Dengan begitu, penggunaan mobil pribadi dan motor terus meningkat sehingga terjadi pemborosan energi secara massal.Keenam, pemerintah gagal mewujudkan program konversi BBM-BBG. Padahal program ini telah dicanangkan sejak 1996 dan diperbaharui 2006.Ternyata jangankan bertambah, justru jumlah kendaraan pengguna BBG berkurang dari 3000-an pada 2000 menjadi 2000-an pada 2010 (- 33%).

Ketujuh, pemerintah gagal menyediakan infrastruktur yang memadai.Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan rakyat memperoleh akses guna berusaha atau meningkatkan kesejahteraan. Kedelapan, pemerintah gagal merevisi UU Migas No 22/2001. Padahal UU ini sangat merugikan, merupakan reinkarnasi UU kolonial Indische Mijn Wet 1899, dan dibuat di bawah tekanan IMF dan Bank Dunia saat krisis 1998. Akibatnya, sektor migas dikuasai asing, cadangan terus berkurang, dan ketahanan energi nasional terancam.

Kesembilan, pemerintah gagal menjalankan amanat konstitusi. Pasal 28 ayat 2 UU Migas yang mengatur harga BBM dilepas ke mekanisme pasar telah ditolak MK pada 2004. Pemerintah mengabaikan putusan MK dan melalui Pasal 72 ayat (2) PP No 36/2004 memberlakukan penjualan pertamax sesuai harga pasar. Hal ini pengkhianatan terhadap konstitusi dan merupakan kebijakan yang harus diproses lebih lanjut oleh MPR sesuai Pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Kenaikan harga BBM mungkin bisa dipahami karena permintaan domestik yang terus naik, cadangan yang minim, kenaikan harga minyak dunia, subsidi tidak tepat sasaran,dan inflasi tahunan. Namun, karena kegagalan di atas, pemerintah lebih layak digugat dan diproses MPR dibanding dimaklumi menaikkan harga BBM. Ke depan harga BBM perlu diatur secara komprehensif dan sistemik.

Untuk itu, suatu formula dan pola penetapan harga BBM yang konstitusional, objektif, berkeadilan, visioner, inflationary, berwawasan lingkungan, dan bebas kepentingan politik perlu ditetapkan dan disepakati oleh seluruh komponen bangsa.

Dengan formula dan pola tersebut misalnya, harga BBM otomatis naik atau turun secara berkala sesuai perubahan berbagai variabel tertentu. Misalnya, harga BBM ditetapkan 15% di bawah harga pasar dan dinaikkan setiap awal Januari sebesar nilai inflasi tahun sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar