Kamis, 12 April 2012

Liberalisasi BBM

Liberalisasi BBM
Kusfiardi, Pengamat Ekonomi dan Pemerhati Kebijakan Publik
SUMBER : SINDO, 12 April 2012


Pro dan kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengundang aksi protes di berbagai tempat sebenarnya bukan semata soal teknis hitungan harga dan besaran subsidi dalam APBN.

Konteks persoalannya harus dilihat bahwa BBM adalah komoditas strategis. Selain faktor penggerak perekonomian, BBM juga memiliki daya tarik bisnis yang keuntungannya menggiurkan. Dengan demikian, pertarungan politik dalam mempengaruhi kebijakan harga BBM tidak sekadar tarik-menarik kepentingan politik di dalam negeri Indonesia. Pertarungan tersebut selain melibatkan kelompok kepentingan di Indonesia, juga melibatkan pihakpihak eksternal yang berkepentingan untuk melepas kebijakan harga BBM kepada mekanisme pasar.

Kepentingan eksternal tersebut bisa dilihat setidaknya sejak pemerintah menandatangani letter of intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1998. Sejak saat itu pemerintah sudah menjalankan agenda liberalisasi dengan menghapuskan subsidi harga BBM. Kemudian dilanjutkan pada 1999 melalui rancangan UU Migas. Pada 2000 pemerintah menerima utang dari Amerika dan melalui USAID yang bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank (WB) untuk menyiapkan draf UU Migas yang mengakomodasi semangat liberalisasi sektor energi secara menyeluruh.

Salah satu bentuknya adalah liberalisasi harga yang dimuat dalam UU Migas, pasal 28 ayat 2 yang menyatakan bahwa harga BBM dilepas ke mekanisme pasar. Pada saat UU Migas disahkan, pemerintah telah membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk beroperasi di sektor migas Tanah Air,mulai dari hulu sampai ke hilir.Pemerintah juga memberikan izin kepada perusahaan asing membuka SPBU, kepada lebih dari 40 perusahaan.

Masing-masing perusahaan diperbolehkan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Tindakan pemerintah tersebut sekaligus menghilangkan posisi dominan Pertamina sebagai perusahaan negara yang selama ini memiliki hak monopoli untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional.

Kedudukan Pertamina diposisikan sama dengan perusahaan asing dan didorong untuk berkompetisi termasuk dalam bisnis SPBU. Sejalan dengan kepentingan bisnis SPBU,dengan pengesahan UU Migas, pemerintah menargetkan harga BBM bisa segera dilepas ke pasar pada 2005.Pemerintah juga merencanakan sektor swasta bisa masuk ke bisnis eceran migas secara penuh pada 2010.

Mengawali proses tersebut, setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada 2005, Shell, Petronas, dan perusahaan asing lainnya mulai membuka SPBU di wilayah Jabodetabek. Langkah tersebut merupakan tahapan dalam merealisasikan izin dari pemerintah untuk membuka 20.000 SPBU di seluruh Indonesia oleh lebih dari 40 perusahaan yang sudah mengantongi izin.

Melawan Konstitusi

Sadar akan ancaman liberalisasi tersebut, serikat pekerja Pertamina mengajukan judicial review terhadap UU Migas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Walaupun tidak membatalkan keseluruhan, MK melalui proses persidangan menyimpulkan bahwa Pasal 28 tentang pelepasan harga ke pasar dinilai bertentangan dengan konstitusi. Dengan kesimpulan tersebut, keputusan MK adalah membatalkan Pasal 28 dalam UU Migas.

Keputusan MK tersebut setidaknya bisa menjadi penghambat berlakunya harga pasar pada BBM pada 2005 dan menunda target menghilangkan subsidi dan melepas harga BBM ke pasar.Keputusan tersebut juga menghalangi SPBU asing yang sudah beroperasi dan ingin mendapat keuntungan maksimal dari penjualan produk BBM.

Setelah MK menyatakan Pasal 28 tentang pelepasan harga ke pasar dalam UU Migas bertentangan dengan konstitusi, pemerintah menggunakan istilah baru untuk mengganti harga pasar yaitu “harga keekonomian”. Penggantian istilah tersebut berlanjut dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan mengurangi subsidi secara bertahap. Pemerintah menargetkan pada 2009 harga BBM tidak ada lagi subsidi dan sudah sesuai dengan harga pasar minyak dunia.

Kemudian diikuti dengan mengakhiri monopoli Pertamina, membuka peluang bagi asing untuk berbisnis eceran BBM. Gambaran tersebut menunjukkan keteguhan pemerintah melaksanakan agenda liberalisasi sektor migas melalui kenaikan harga BBM. Sulit rasanya untuk menafikan bahwa keputusan paripurna DPR adalah keputusan yang dibuat untuk melapangkan jalan bagi liberalisasi BBM.

Apalagi dalam keputusan tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.Alasan untuk melakukan penyesuaian tersebut adalah selisih antara harga minyak mentah dan ICP mencapai 15% dalam enam bulan terakhir. Keputusan DPR ini bisa dimaknai juga sebagai kemenangan politik kelompok pendukung liberalisasi BBM. Keputusan tersebut akan memberikan kekuatan hukum pada pemerintah untuk bisa menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan.

Meskipun memiliki kekuatan hukum, tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan DPR tersebut telah mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 28 UU Migas dan menetapkan bahwa harga BBM yang diserahkan ke mekanisme pasar bertentangan dengan konstitusi.Keputusan MK tersebut adalah keputusan yang bersifat final dan mengikat. Tampaknya liberalisasi BBM akan diupayakan bisa terlaksana dengan segala cara.

Termasuk dengan cara-cara yang melawan konstitusi. Patut kita ingat betul bahwasanya pelanggaran konstitusi tidak hanya terjadi sekali.Selain UU Migas pasal mengenai harga pasar batal karena melanggar konstitusi, sebelumnya juga sudah diputuskan oleh MK bahwa UU Listrik batal demi hukum karena melanggar konstitusi.Kemudian UU Penanaman Modal pasal mengenai hak guna usaha juga melanggar konstitusi dan UU APBN tiga tahun berturut-turut juga melanggar konstitusi.

Menurut perkiraan Jimly Asshiddiqie, waktu masih menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, sebanyak 27% UU melanggar konstitusi. Tindakan pemerintah yang mendapat legitimasi DPR tersebut, yang kita tahu sangat dipaksakan, akan menambah daftar pelanggaran konstitusi dalam kebijakan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar