Senin, 01 Maret 2021

 

Membaca Pemakzulan Terhadap Trump

 Todung Mulya Lubis  ;  Duta besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia

                                                     KOMPAS, 27 Februari 2021

 

 

                                                           

Paman Sam bukan lagi negara adidaya yang dikagumi dunia. Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks Demokrasi yang baru saja diluncurkan oleh Transparency International dan The Intelligence Unit of the Economist tak memberikan tempat terhormat kepada Amerika Serikat (AS).

 

Di sana banyak korupsi dan tak pula bisa dirujuk sebagai kampiun demokrasi. Negara-negara Skandinavia sekarang merajai papan atas negara terbersih dari korupsi dan paling demokratis. Tapi apapun yang terjadi di AS selalu menarik perhatian.

 

Pemilihan presiden yang berekor pada klaim curang dan pemberontakan (insurrection) ke Capitol Hill menjadi berita paling dibaca karena tak pernah terjadi presiden petahana mengklaim pilpres curang, tak pernah ada presiden petahana memprovokasi pendukungnya untuk melakukan pemberontakan dan menguasai Capitol Hill dalam sejarah panjang AS.

 

Apa yang terjadi pada 6 Januari 2021 di Capitol Hill adalah tragedi nasional, sebuah aib nasional, tonggak kemunduran demokrasi dalam bentuknya yang purba. Joe Biden sudah menjadi presiden, Trump gagal menghentikan pelantikan Biden sebagai presiden meski dia sudah menggiring massa untuk menduduki Capitol Hill, seolah mereka sedang melakukan revolusi dan kudeta. Beberapa orang meninggal dunia dan tak terbilang yang luka-luka.

 

Dunia tercengang melihat ’pemberontakan’ yang terjadi di negara yang dianggap maha guru demokrasi. Hasutan yang dilakukan Trump adalah pemberontakan, percobaan kudeta. Karena itu Trump harus dimakzulkan (impeach).

 

Kongres yang dimotori Demokrat bergerak cepat menjatuhkan pemakzulan kepada Trump. Selain anggota Kongres Partai Demokrat, ikut pula bergabung 10 anggota Kongres Partai Republik. Pemakzulan itu disebut pemakzulan bipartisan. Itu terjadi sebelum pelantikan Biden sebagai presiden.

 

Seharusnya pemakzulan itu diproses di Senat semasa Trump masih menjabat presiden tetapi Senator Mitch McConnell, ketua Senat pada waktu itu, mengatakan Senat tak akan memproses pemakzulan karena sibuk mempersiapkan pelantikan presiden terpilih Biden. Senat akan menerima berkas pemakzulan dari Kongres seusai pelantikan dan baru setelah itu proses pemakzulan itu bisa dilakukan.

 

Persoalannya apakah pemakzulan bisa dilakukan terhadap seseorang yang tak lagi menjabat sebagai presiden? Ini pertanyaan konstitusional yang menyelimuti semua anggota Kongres dan Senat termasuk para ahli hukum konstitusi.

 

Setahu saya pemakzulan itu adalah forum yang disediakan oleh konstitusi untuk memberhentikan presiden yang sedang menjabat. Mayoritas anggota Senat dan Kongres Partai Republik menafsirkan pemakzulan secara sempit dan hanya beberapa saja yang menganggap pemakzulan terhadap mantan presiden bisa dilakukan. Sudah ada preseden untuk itu.

 

Praktis semua anggota Senat dan Kongres dari Demokrat menganggap pemakzulan bisa dilakukan karena apa yang dilakukan Trump sudah melewati batas, melanggar konstitusi dan hukum, mencederai republik, menggoyahkan pilar-pilar bernegara dan berbangsa. Memang hasutan yang dilakukan Trump sangat telanjang dan mati-matian, dia tak menerima kalah dan dia melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk tetap bertahan di sepatu kekuasaan.

 

Pidato Trump membakar dan menyulut kemarahan, dan itu dilakukan bukan hanya pada 6 Januari 2021 tetapi jauh sebelum itu. Cuitan di Twitter yang dikeluarkannya begitu berbahaya membuat orang cemas bahwa akan ada perang saudara, bahwa AS akan terpecah (padahal AS sudah terbelah, divided society). Pasukan media sosialnya bekerja menggergaji dan meneror massa pendukungnya untuk bergerak.

 

Dia berjanji bersama para perusuh dan memuji mereka sebagai patriot. Syukurlah berbagai platform medsos seperti Facebook, YouTube dan Twitter melakukan blokir, secara permanen. Ini pun saya tak mengerti mengapa ini bisa dilakukan. Pemblokiran secara permanen adalah pelanggaran HAM, pelanggaran demokrasi. Namun harus diakui setidaknya waktu itu, pemblokiran ikut meredam kegaduhan dan kemarahan.

 

Proses politik

 

Terlepas dari polemik setuju atau tak setuju pemakzulan digelar, faktanya pemakzulan akhirnya berhasil dilangsungkan. Manajer Pemakzulan dari Kongres menyampaikan dakwaannya dengan komprehensif dan menggetarkan, membuat siapapun yang melihat video dan jejak yang ditampilkan terpana. Tak terbayang apa yang terjadi kalau para perusuh berhasil menemukan anggota Kongres, Senat dan Wakil Presiden Mike Pence.

 

Tak terbayang kesalahan dan keteledoran kecil akan membuat hitam semua proses demokrasi di AS. Para perusuh yang sangar, berang dan bersenjata tajam pasti membuat nyali ciut. Bendera Konfederasi yang dibawa ke dalam Capitol Hill menghidupkan kembali keterbelahan AS, penolakan terhadap ide AS sebagai melting pot, tempat pengadu nasib semua imigran yang berlabuh mengejar ‘the American dream’.

 

Manajer Pemakzulan menyatakan vonis pemakzulan harus dijatuhkan tanpa keraguan. Pembelaan oleh kuasa hukum Trump sangat lemah karena hanya menekankan bahwa tak ada hasutan dan apa yang diucapkan oleh Trump dilindungi oleh Konstitusi AS Amandemen Pertama (First Ammendment).

 

Kuasa hukum Trump juga mengatakan sidang pemakzulan harus berjalan sesuai proses hukum yang berlaku. Tapi semua itu tak terjadi. Meski Manajer Pemakzulan dan kuasa hukum diberikan waktu yang seimbang, para senator kedua partai juga diberikan waktu yang seimbang, aspek due process of law tak kita temukan karena memang proses pemakzulan ini pada dasarnya bukanlah proses pengadilan.

 

Jadi salah kalau mengharapkan proses pemakzulan sebagai proses peradilan biasa. Proses ini adalah proses politik yang memang terdapat dasar konstitusionalnya. Pada pemakzulan terhadap presiden petahana, Ketua Mahkamah Agung akan memimpin proses pemakzulan. Tetapi Ketua Mahkamah Agung John Robert tak bersedia memimpin proses pemakzulan ini karena yang dimakzulkan sudah tak menjabat presiden.

 

Karena itu yang memimpin proses pemakzulan anggota Senat Partai Demokrat tertua, Senator Patrick Leahy. Itupun lebih sebagai timekeeper. Lantas apa yang ingin dicapai dengan proses pemakzulan ini? Mayoritas senator Partai Republik menganggap proses pemakzulan inkonstitusional, sementara semua senator Demokrat dan beberapa senator Partai Republik menganggap konstitusional.

 

Tetapi tujuan utama proses pemakzulan ini adalah menghukum Trump untuk tak bisa maju lagi di pilpres mendatang. Selain itu untuk menggambarkan betapa AS dalam bahaya kalau insureksi seperti ini tak diungkapkan dan tak dipersoalkan. Bukankah pemakzulan yang digelar kemarin sebuah overdoing? Tapi setidaknya sejarah harus ditegakkan.

 

Apa yang terjadi? Pemakzulan tak berhasil dijatuhkan. Trump dibebaskan, karena batas dukungan untuk pemakzulan tak bisa didapatkan dari 17 suara Partai Republik seperti dipersyaratkan. Harus ada 67 suara untuk melakukan pemakzulan. Mayoritas sederhana 50+1 tak bisa memakzulkan. Hasil pemungutan suara menunjukkan 57 suara setuju pemakzulan, 43 suara tak setuju dengan pemakzulan.

 

Hukuman untuk Trump

 

Sebanyak 100 senator yang terdiri dari masing-masing 50 senator mewakili Partai Republik dan Demokrat, yang menjadi juri telah menjatuhkan putusan, membebaskan Trump.

 

Apakah Trump bebas dari tanggung jawab perdata dan tanggung jawab pidana? Belum tentu. Pemimpin Minoritas Senat, Senator Mitch McConnell mengatakan bahwa tanggung jawab hukum bisa diproses melalui peradilan biasa. Tapi secara politik Trump telah dihukum, secara moral dia tak akan bisa lagi memimpin Partai Republik. Dia telah kehilangan legitimasi, dan dengan berjalannya waktu dia juga akan kehilangan otot politiknya.

 

McConnell mengatakan, pemberontakan yang terjadi 6 Januari adalah provokasi dan hasutan dari Trump, memalukan dan kelalaian tugas yang memalukan. Tapi McConnell ikut memutuskan pembebasanTrump walau dia mengatakan Trump bersalah, hanya saja forumnya tidak berada di Senat.

 

Lagipula, kata McConnell, yang melakukan pemberontakan ke Capitol Hill hanya ratusan orang. Janganlah menghukum 74 juta pemilih Trump yang berdiam di rumah. Pada akhirnya, hanya satu orang yang bertanggung jawab yaitu Trump. Ini kata McConnell,

 

Tentu anggota Kongres dan Senat dari Partai Demokrat tak setuju. Proses pemakzulan ini adalah proses politik, bukan proses hukum. Fakta-fakta hukum tak sepenuhnya menentukan suara para senator dan anggota Kongres. Politik menjadi panglima. Hasil pemungutan suara adalah cermin politik AS yang terbelah, bukan kebenaran yang terungkap.

 

Semua itu adalah bagian dari ‘tawar-menawar politik’ menuju 2022 ketika pemilihan sela dilakukan, saat di mana akan ditentukan peta pilpres di 2024. Inilah cara pandang yang lebih realistis. Jadi melihat absennya due process of law, jangan heran melihat para senator yang jadi juri mengajukan pertanyaan (tak hanya mendengar) dan senator Partai Republik menemui kuasa hukum di kamarnya.

 

Pada peradilan biasa itu tak terjadi, dan tak boleh terjadi. Proses pemakzulan adalah proses politik yang diputuskan oleh ‘tawar menawar politik’ para pihak. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar