Rabu, 10 Maret 2021

 

Satu Dekade Perang yang Mengubah Timur Tengah

 Musthafa Abd Rahman ; Wartawan Kompas dari Kairo, Mesir

                                                        KOMPAS, 09 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada Maret ini, genap 10 tahun perang saudara berkecamuk di Suriah. Setelah 10 tahun perang saudara, banyak kisah pilu terekam di negeri berpenduduk sekitar 17,5 juta jiwa itu. Perang saudara bermula dari hanya gerakan protes sejumlah pemuda di kota kecil Deraa, kota berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, di Suriah selatan, terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad pada 6 Maret 2011. Protes tersebut kemudian meluas ke beberapa kota di Suriah pada 15 Maret 2011.

 

Gerakan protes itu ternyata tidak hanya mengubah peta Suriah, tetapi juga segera mengubah peta geopolitik Timur Tengah. Profil negeri Suriah yang seksi memang cukup menggiurkan kekuatan regional dan internasional untuk melakukan intervensi militer secara langsung di negeri itu. Bagi kekuatan-kekuatan tersebut, Suriah menjadi pijakan untuk menyelamatkan kepentingan mereka, tidak hanya di Suriah, tetapi juga di kawasan Timur Tengah.

 

Suriah memiliki semua nilai strategis dalam konteks kacamata geopolitik. Negeri itu bertepi ke Laut Tengah yang menjadi tepian negara-negara pusat peradaban Yunani, Romawi, dan Islam. Laut Tengah bagian timur juga diperkirakan  menyimpan 120 triliun meter kubik gas yang kini menjadi rebutan negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur.

 

Negeri Suriah secara geografis berbatasan langsung dengan Israel, membuat Suriah menjadi sangat penting dalam kacamata konflik Arab-Israel. Dalam konteks dunia Arab, Suriah berbatasan dengan Lebanon di sebelah barat, Irak di sebelah timur, dan Jordania di sebelah selatan. Dalam konteks peta Timur Tengah, negara itu berbatasan dengan Turki di sebelah utara.

 

Adapun dalam peta politik kekuasaan di Suriah, situasinya juga cukup sensitif. Kaum minoritas Syiah Alawite, yakni mazhab yang dianut keluarga besar Assad, berkuasa di tengah mayoritas penduduk Sunni di negeri itu sejak 1969. Ideologi nasionalisme Arab, yang dominan di kancah peta politik dan ideologi di Suriah, berandil besar mengantarkan keluarga besar Assad berkuasa sangat lama di negeri itu. Keluarga besar Assad mengusung jargon ideologi nasionalisme Arab dalam kekuasaannya. Hal ini menjadi titik temu kepentingan dengan kaum mayoritas Sunni di Suriah.      

 

Saat gerakan Musim Semi Arab tahun 2010-2011 meletus dari Tunisia, lalu merambah ke sejumlah negara Arab, termasuk Suriah, semua nilai strategis yang dimiliki Suriah tersebut segera menjadi rebutan kekuatan regional dan internasional. Inilah latar belakang yang membuat krisis Suriah, meskipun sudah 10 tahun berkecamuk, semakin rumit dan belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat.

 

Benturan kepentingan

 

Kini sudah terlalu mendalam kaki kekuatan regional dan internasional menginjak bumi Suriah, menghadirkan peta politik baru di negeri itu. Tentu tidak mudah mereka bersedia meninggalkan bumi Suriah tanpa ada jaminan bahwa kepentingan mereka dilindungi di negeri itu. Kepentingan mereka satu sama lain berseberangan sehingga tak mudah, untuk tidak mengatakan mustahil, mencari titik temu.    

 

Iran dan loyalisnya, terutama Hezbollah, yang mengirimkan kekuatan militer ke Suriah sejak awal tahun 2013, kini bercokol di sekitar kota Damaskus, khususnya Distrik Sayyidah Zainab, selatan Damaskus, serta di Provinsi Deir El Zor, Suriah timur yang berbatasan dengan Irak. Iran membangun mitra strategis dengan rezim Assad sejak revolusi Iran tahun 1979. Teheran memandang rezim Assad dan bumi Suriah sebagai akses langsung dalam membangun perlawanan terhadap Israel.

 

Iran juga melihat rezim Assad, sebagai kekuatan Syiah yang berkuasa, bisa membantu terwujudnya impian bulan sabit Syiah yang membentang dari Teheran, Baghdad, Damaskus, hingga Beirut. Karena itu, Iran akan mempertahankan keberadaannya di Suriah saat ini dengan harga berapa pun dan dengan cara apa pun.

 

Rusia memasok kekuatan militernya langsung ke Suriah sejak September 2015 dengan dalih menyelamatkan rezim Assad. Mereka telah mendapat imbalan keberadaan secara permanen di Pelabuhan Tartus dan Pangkalan Udara Khmeimim, Provinsi Latakia.

 

Bagi Rusia, kehadirannya kembali di Suriah sejak ambruknya Uni Soviet tahun 1989 membuka pintu dan peluang hidupnya kembali pengaruh Rusia tidak hanya di Suriah, tetapi juga Timur Tengah dan Laut Tengah. Moskwa sejak era Uni Soviet sampai saat ini sudah memiliki tradisi politik bahwa Suriah merupakan titik tolak pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.

 

Turki pun, dengan dalih melindungi keamanan nasionalnya di perbatasan selatan dengan Suriah, ikut bercokol di Provinsi Idlib dan wilayah Suriah utara lainnya. Kepentingan terbesar Turki di Suriah adalah meredam gerakan milisi Kurdi dari Unit Pelindung rakyat (YPG) dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serta terhentinya arus pengungsi Suriah. Turki kini telah menampung lebih dari 3 juta pengungsi Suriah.

 

Israel turut pula masuk ke Suriah lewat serangan udara rutin atas sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah. Menurut laporan tahunan Lembaga Pemantau HAM di Suriah (SOHR) yang dirilis pada akhir Desember 2020, Israel selama tahun 2020 telah melancarkan 40 kali serangan udara terhadap berbagai sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah.

 

AS juga turut melakukan intervensi militer di Suriah. Pasukan darat AS mulai ditempatkan di Suriah pada akhir 2015. Seperti dilansir televisi Al Jazeera, jumlah mereka kini sekitar 2.000 personel. Misi utama pasukan AS tersebut adalah untuk memerangi NIIS dan membantu YPG dalam perang melawan NIIS.

 

Pertarungan kekuatan regional dan internasional itu sangat menghambat misi PBB yang ingin mencari solusi politik di Suriah. Hal ini juga membuat rakyat Suriah semakin menjadi korban dan memperparah bencana kemanusiaan dahsyat di negara itu.

 

Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), pengungsi Suriah di luar negeri mencapai 6,6 juta jiwa dari 13,1 juta jiwa yang  terpaksa meninggalkan rumah mereka di Suriah. Akibat konflik berkepanjangan, sebanyak 12,4 juta jiwa terancam kelaparan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar