Penting
Segera Meningkatkan Surveilans Genomik Covid-19 Tjandra Yoga Aditama ; Direktur Pascasarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan
Direktur WHO SEARO; Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes |
KOMPAS,
12 Maret
2021
Mutasi virus SARS-CoV- 2 penyebab Covid-19
kini jadi bahan pembicaraan utama, khususnya terkait dampaknya pada
penularan, berat ringannya penyakit, dan juga efektivitas vaksin. Pimpinan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
pada 11 Januari 2021 menyatakan, masalah mutasi virus ini akan menjadi
masalah besar (highly problematic) dalam penanganan Covid-19 di dunia. Pada 2 Maret 2021, Direktur Pusat
Pengendalian Penyakit Amerika Serikat menyatakan, kemajuan terkait Covid-19
di AS belakangan ini akan dapat terhapus dengan makin meluasnya mutasi ini. Sudah diketahui bahwa mutasi memang
menyebabkan penyakit jadi lebih mudah menular, bahkan ada yang menyebutkan
peningkatan penularan dapat sampai 30-70 persen. Tentang dampak pada vaksin, para ahli
sepakat bahwa kalau nanti mutasi terus berkepanjangan, produsen vaksin akan
dapat memodifikasi vaksinnya sehingga efektivitasnya tetap terjaga. Mutasi yang dikenal sejak Februari 2020
adalah bentuk D614G, yang kemudian tidak terlalu memengaruhi situasi
epidemiologik. Namun, mutasi di Inggris dalam bentuk B 1.1.7 dan di Afrika
Selatan, yaitu E484K, ternyata punya dampak lebih besar. Apalagi kemudian
sudah dilaporkan bahwa orang dapat terinfeksi dua mutasi sekaligus. Pada 1 Februari 2021, Inggris
mengidentifikasi 11 sampel yang ada mutasi B.1.1.7 dan juga mutasi E484K
sekaligus, sesudah menganalisis 214.159 sampel sekuens. Mutasi sekaligus
B.1.1.7 dan E484K akan secara nyata meningkatkan jumlah antibodi yang
diperlukan untuk menangani infeksi ini sehingga makin sulit untuk diatasi. Hal lain yang juga perlu dapat perhatian
adalah bahwa varian Afrika Selatan (apalagi kalau bersama dengan varian
B.1.17), dapat membuat reinfeksi (infeksi ulangan) lebih mudah terjadi, pada
orang yang tadinya sudah terinfeksi Covid-19 oleh virus yang belum bermutasi. New York juga melaporkan mutasi jenis
B.1526 yang meningkat jumlahnya sebanyak 12,3 persen dalam dua minggu sampai
akhir Februari 2021. Yang kemudian lebih mengkhawatirkan lagi
adalah adanya laporan mutasi ganda B.1.1.7 dari Inggris dan B.1.429 dari
California pada pertengahan Februari 2021 ini. Kejadian ini disebut
recombination yang kemudian membentuk versi hibrid yang amat bermutasi
(heavily mutated hybrid version). Dilaporkan bahwa mutasi berganda ini
mungkin jadi penyebab kenaikan kasus di Los Angeles dan juga mengakibatkan
keadaan kekebalan terhadap antibodi sehingga makin sulit ditangani. Tidak
berlebihan kalau memang disebut bahwa mungkin kita dapat masuk dalam fase
baru dari pandemi sekarang ini. Untuk dapat mengantisipasi situasi ini,
tentu harus selalu dilakukan kegiatan surveilans sekuens genomik yang
terstruktur di suatu negara dengan sistem pengorganisasi yang baik. Surveilans di sini maksudnya adalah
pemeriksaan harus dilakukan secara terus-menerus, tidak hanya pada satu saat.
Sekuens genomik artinya pemeriksaan yang lebih rinci tentang virus, tidak
hanya positif atau negatif saja, tetapi juga akan menunjukkan apakah sudah
ada perubahan-perubahan tertentu dalam virus dalam bentuk mutasi-mutasi ini. Kita ketahui, pada 2 Maret 2021 Indonesia
mulai melaporkan ditemukannya mutasi B 1.1.7 dan perlu mengantisipasi
kemungkinan peningkatan penyebarannya dan juga mutasi jenis yang lain. Karena
itu, peningkatan kegiatan surveilans genomik memang perlu dilakukan dan
kajian di bawah mungkin bisa jadi salah satu pertimbangan. Skala
nasional dan lokal Negara tentu dapat melakukan surveilans
genomik berskala nasional, seperti yang intensif dilakukan Inggris dalam
”Covid-19 Genomics Consortium (COG-UK)” yang kemudian menemukan mutasi N501Y
dan kini dikenal dengan B.1.1.7. Kegiatan COG-UK yang mulai diluncurkan di
Inggris pada Maret 2020 ini bertujuan melakukan sekuensing virus SARS-CoV-2
(severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) pada 230.000 pasien. Dengan informasi ini, maka akan dilakukan
pelacakan pola penyebaran virus SARS-CoV-2 di Inggris, mendeteksi adanya
mutasi dan mengintegrasikannya dengan data kesehatan sehingga didapat
informasi lengkap tentang bagaimana genomik virus berinteraksi dengan
kejadian Covid-19 di negara itu. Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan
penting pengambilan keputusan mengatasi pandemi di negara itu. Surveilans dapat saja tidak berskala
nasional, tetapi dapat juga dilakukan di suatu daerah tertentu. Pada Juni
2020 misalnya, Afrika Selatan meluncurkan ”Network for Genomic Surveillance”
yang pada pelaksanaannya hanya dapat 50-100 sampel dalam seminggu. Walaupun jumlahnya terbatas, hasilnya
ternyata jadi cukup penting karena menemukan varian baru 501Y.V2 yang kini
luas dibicarakan. Jelasnya, walaupun dalam skala kecil, memang mungkin akan
berguna dan untuk itu harus dilakukan secara terstruktur dan konsisten. Data yang ada kemudian dikirim ke GISAID,
organisasi nirlaba yang mengelola database genom virus. Ini perlu dilakukan
agar para pakar dapat memanfaatkan informasi ini untuk mengetahui penyebaran
mutasi secara epidemiologik dan juga melakukan antisipasi pada terapi dan
vaksin Covid-19, kalau sekiranya diperlukan. Panduan
WHO Menurut panduan WHO edisi Februari 2021,
secara umum semua spesimen yang PCR (+) dengan nilai cycle-threshold (Ct) ≤30
merupakan bahan yang tepat untuk dilakukan sekuensing genomik. Kalau akan dilakukan pemeriksaan pada
daerah tertentu dalam sistem sentinel, setidaknya empat hal harus
diperhatikan. Pertama, perlu mencakup beberapa kelompok umur, misalnya nol
sampai kurang dari dua tahun, dua sampai kurang dari lima tahun, lima sampai
kurang dari 15 tahun, 15 sampai kurang dari 50 tahun, 50 sampai kurang dari
65 tahun dan ≥65 tahun. Hal ini perlu dilakukan karena mungkin ada variasi
mutasi pada kelompok umur tertentu. Kedua, kegiatan perlu dilakukan di beberapa
daerah tertentu di suatu negara sehingga sedikit banyak dapat menunjukkan
situasi negara secara keseluruhan. Ketiga, perlunya dilakukan pada beberapa
waktu/bulan yang terpisah, tak hanya pada satu waktu tertentu, untuk melihat
kemungkinan timbulnya pola mutasi pada waktu tertentu dalam satu tahun. Keempat adalah sasaran mereka yang
diprioritaskan untuk diperiksa sekuens genomik. Ini dapat berupa pasien yang
punya gambaran klinik khusus dan atau kelompok tertentu seperti mereka yang
sudah divaksin, kasus yang meninggal, mereka dengan gangguan sistem imun,
pasien yang mendapat pengobatan terapi plasma atau antibodi monoklonal, dan
kasus-kasus kambuh atau terinfeksi ulang Covid-19. Untuk surveilans sentinel virus SARS-CoV-2,
WHO merekomendasi bahwa idealnya dilakukan pemeriksaan 150 spesimen dalam
seminggu. Juga dianjurkan agar negara dapat melakukan pemeriksaan sekuens
genomik pada semua kasus Covid-19 dengan PCR positif dengan angka Ct ≤30. Setidaknya, WHO menganjurkan bahwa
negara-negara dapat melakukan minimal sekali 15 pemeriksaan sampel per minggu
dari sistem surveilans sentinel nasional yang ada, dan membagikan hasilnya ke
database internasional yang ada sehingga dunia dapat memonitornya. Pandemi Covid-19 masih bersama kita dan
berbagai kemungkinan perkembangannya perlu diantisipasi secara mendalam.
Kesiapan menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi harus merupakan
bagian dari program penanggulangan nasional suatu negara. Perlunya diberlakukan sistem surveilans
sekuens genomik merupakan bagian yang amat penting, khususnya karena kita
tahu bahwa virus SARS CoV-2 akan terus bermutasi dan bukan tidak mungkin
kejadian mutasi ini akan memengaruhi kebijakan negara di masa datang yang
perlu disiapkan sejak awal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar