Impor
Beras dan Mimpi Menyejahterakan Petani Marenda Ishak S ; Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran |
KOMPAS,
13 Maret
2021
Keputusan pemerintah untuk mengimpor satu
ton beras pada tahun ini merupakan langkah yang mengejutkan, bahkan dapat
dikatakan blunder. Beberapa alasan kuat, bukan semata karena
panen raya yang segera mampu menyuplai gudang Bulog secara nasional, tetapi
juga karena langkah ini semakin menjauhkan petani dari cita-cita
kesejahteraan seutuhnya. Dengan demikian, di manakah kita
menempatkan posisi petani saat ini, subyekkah, atau kebalikannya? Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan
sejak Revolusi Hijau tercapai seolah tak mampu menempatkan petani sebagai
subyek pertanian itu sendiri. Bahkan, langkah dan cita-cita kemandirian
pangan yang hendak dituju sering kali terganjal perilaku kerja pemerintah itu
sendiri. Di sinilah letak urgensi beras terhadap kemandirian pangan penting
untuk kita bahas. Posisi
perberasan Dengan mengacu dan melihat posisi
perberasan saat ini, kita dapat menilai langkah impor yang dilakukan saat
ini. Apakah langkah tersebut merupakan langkah
tepat atau justru sebaliknya, apakah hendak menuju kondisi memperkuat
ketahanan pangan dengan meningkatkan cadangan pangan nasional atau justru
hendak menunjukkan industri perberasan yang sangat pragmatis dan berpihak
pada pasar bebas. Kondisi data perberasan merujuk pada
beberapa data, yang sering kali tidak sinkron, terutama pada data BPS,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog. Kondisi perberasan nasional per akhir bulan
Februari sebenarnya berada dalam kondisi sangat aman. Hal ini tergambar dari
data BPS di mana produksi beras pada Januari-April 2021 berada pada posisi
lebih kurang 14 juta ton. Angka ini bahkan mengalami kenaikan lebih dari 25
persen dari produksi beras pada tahun 2020. Selain itu, posisi panen raya yang akan
berlangsung pada Januari-April mendatang juga membuat kita berpotensi surplus
4,8 juta ton beras. Di sisi lain, sisa stok gudang Bulog pada
tahun 2020 berada pada kondisi cukup memadai, karena pada tahun 2020
pergerakan produksi beras mencapai 54,65 juta ton. Sementara total kebutuhan
beras tahunan umumnya berada pada kisaran 29,6 juta ton. Dengan kondisi seperti itu, hampir dapat
dipastikan neraca perberasan masih dapat surplus. Karena itu, impor beras
hampir dapat dikatakan belum layak dilakukan sekarang. Di balik rencana impor pemerintah, harga
gabah berada pada kondisi tertekan. Di beberapa daerah, bahkan kurang dari Rp
3.500 per kilogram. Dengan harga pembelian pemerintah (HPP)
yang telah ditetapkan Rp 4.200 saja petani masih sulit membayar ongkos
produksi, apalagi dalam kondisi impor beras. Pastinya kondisi petani semakin
tertekan, bahkan hampir dapat dikatakan kesejahteraan petani adalah hal yang
mustahil tercapai. Melihat situasi ini, seharusnya pemerintah
berpikir kembali tentang rencana impor. Serapan hasil panen petani saat ini
seharusnya lebih diutamakan, menimbang belum semua gabah hasil panen mampu
diserap Bulog. Terlebih kondisi tani saat ini merupakan penopang bagi sektor
lain yang terdampak pandemi Covid-19. Kemandiran
pangan Beberapa dekade silam, Indonesia pernah
menjadi salah satu negara yang berhasil melakukan swasembada beras. Hal ini
menjadi momentum serta kebanggaan bagi masyarakat tani. Seiring dengan hal
tersebut, swasembada pangan kian diuji, terutama pada kondisi produksi yang
kian menurun. Kondisi produksi yang menurun bukan saja
diakibatkan dari kurangnya input teknologi, melainkan juga karena hasil
pertanian kian sulit menafkahi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi pertanian juga telah berubah
drastis, infrastruktur pertanian kian tergerus, pupuk sering kali langka,
bahkan asuransi bagi tani juga tak kunjung hadir. Infrastruktur pertanian adalah hal yang
sangat vital. Jaringan irigasi—yang menjadi sarana mutlak agar panen dapat
dilakukan tiga kali setahun atau bahkan lebih (IP 300)—saat ini berada dalam
kondisi yang mengkhawatirkan. Banyak dari jaringan irigasi berubah fungsi
sehingga lahan pertanian semakin terancam. Belum lagi masalah kelompok tani yang
kurang mendapat pendampingan atau kalaupun ada, program-program yang
dilakukan pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Dengan
demikian, kemandirian pangan adalah hal sukar di negeri ini. Kemandirian pangan sudah seharusnya
ditempatkan pada program utama di negeri agraris ini. Bagaimana tidak,
hamparan lahan yang terbentang cukup luas, kesuburan alami yang terbilang
cukup baik, bahkan kondisi curah hujan terbilang tinggi adalah potensi
kemandirian pangan yang seharusnya dapat tercapai. Sayangnya, kita telah gagal mengelola
potensi ini. Bahkan, kita menjadi terjebak pada situasi runyam pangan dan
perberasan di negeri ini. Kondisi ini sudah seharusnya segera disikapi,
menerjemahkan langkah kemandirian pangan. Menyelaraskan kerja kementerian dan lembaga
pemerintah pada tujuan bersama, hingga menyusun data pangan yang
terintegrasi, adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sesegera mungkin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar