Minggu, 14 Maret 2021

 

Renungan Nyepi :  Dari Penyadaran hingga Covid-19

 GPB Suka Arjawa  ; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

                                                        KOMPAS, 13 Maret 2021

 

 

                                                           

Hari Raya Nyepi tahun 2021 merupakan yang kedua kalinya bagi masyarakat Indonesia, khususnya Hindu Bali, melaksanakannya dalam situasi pandemi Covid-19.

 

Apabila Nyepi dibaca dan ditafsirkan sebagai sebuah perayaan yang sifatnya massal, Nyepi memberikan nilai, norma, dan metode praktik untuk menekan serta mencegah penyebaran Covid-19.

 

Paling tidak, Nyepi memberikan inspirasi untuk itu. Ia memberikan penyadaran bahwa di dunia ini selalu ada hal baik dan buruk, rwa-bhineda, tetapi dengan penyadaran bahwa manusia mampu mengatasinya. Manusia dikodratkan untuk menghadapi tantangan dan mampu mengatasinya.

 

Penyadaran

 

Secara tradisional, masyarakat Hindu Bali memandang Nyepi adalah nilai dan kemudian norma yang mesti ditaati. Ia dinyatakan sebagai amati geni, amati lelungaan, amati karya, dan amati lelanguan. Dari konsepsi ini kemudian dikatakan bahwa saatnya masyarakat untuk berdiam diri, istirahat total dari segala kegiatan.

 

Namun, jika digali dalam konteks yang modern, Nyepi sejatinya merupakan sumber daya besar yang menyadarkan dan kemudian menggerakkan seluruh aktivitas sosial. Nyepi menggali sumber daya itu manakala penyadaran sudah dapat dicapai. Kemudian, penyadaran diri akan dapat dilakukan manakala kita berhenti total dari segala rutinitas.

 

Pada hakikatnya, hidup manusia dibelenggu dengan rutinitas sosial. Nyepi menjeda hal itu untuk memberi kesempatan raga dan pikiran melakukan evaluasi diri.

 

Dari titik ini sesungguhnya membaca Nyepi mesti dimulai dari hari Pengerupukan, yang jatuh sehari menjelang hari Nyepi. Hari Pengerupukan mempunyai peran signifikan untuk membimbing manusia introspeksi, memandang ke dalam diri.

 

Dalam pemahaman tradisional, hari Pengerupukan dimaknai sebagai upaya mengusir makhluk jahat yang mengganggu kehidupan. Masyarakat Hindu Bali memukul kentongan atau menimbulkan suara bising agar kekuatan jahat itu menyingkir.

 

Dalam konteks modern, momen itu merupakan bentuk peringatan akan lingkungan dan penyadaran diri bahwa dunia ini penuh dengan gangguan, penyakit, dan kotoran yang harus disingkirkan.

 

Suara kentongan (keributan) tersebut merupakan peringatan terhadap kekeliruan kita dalam mengelola diri dan lingkungan, serta peringatan kepada sesama akan adanya bentuk-bentuk kekeliruan dan adanya ancaman tersebut.

 

Dalam kaitan dengan hari Nyepi, segala kotoran tersebut harus dihapuskan setiap penutupan tahun untuk selanjutnya membuka lembaran baru yang bersih. Karena itu, hari Pengerupukan merupakan inspirasi bahwa pembersihan tersebut harus dilakukan manusia untuk dapat memulai saat yang baru (tahun baru).

 

Secara mikro, dapat kemudian ditafsirkan bahwa kita harus membersihkan kotoran itu setiap sore hari agar setiap pagi dapat bekerja kembali dengan baik. Atau, dapat dikatakan pembersihan kotoran itu setiap jam agar suasana selalu bersih.

 

Jika setiap unsur sosial mempunyai kesadaran seperti itu, dunia akan terpelihara dengan bersih.

 

Dalam konteks sumber daya, pembersihan yang dilakukan pada hari Pengerupukan itu mendorong kontemplasi maksimal yang dilakukan pada saat hari Nyepi. Hari ini adalah titik nol untuk memberikan energi baru guna melaksanakan kehidupan yang lebih baik di hari selanjutnya.

 

Inilah sumber daya yang akan mendorong cara pandang yang jauh lebih bersemangat dan kemampuan mengontrol diri pada masa mendatang.

 

Pada konteks ini, Nyepi dapat dimaknai sebagai inspirasi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sebagai sebuah inspirasi, Nyepi dapat dikatakan tidak berlangsung setiap tahun. Kesadaran dan pemupukan sumber daya itu terlalu lama jika harus menunggu setahun.

 

Beberapa tahun lalu, penulis pernah menuliskan bahwa Nyepi dalam praktik diri dapat berlangsung setiap bulan, setiap hari, bahkan setiap jam. Maknanya orang memerlukan jeda waktu untuk mengevaluasi diri sehingga dapat memulai sesuatu yang baru dengan semangat yang lebih baik.

 

Contoh Nyepi yang paling mudah adalah ketika kita setiap jam mampu menyadarkan diri, memejamkan mata sesaat untuk mengontrol diri terhadap emosi, lalu menjalankan tindakan baru di jam berikutnya.

 

Di sini, bukan hanya penyadaran yang akan didapatkan, melainkan juga energi dari kesadaran yang lebih kuat.

 

Nyepi dan Covid-19

 

Sebagai sebuah sikap metodis, Nyepi seharusnya punya sumbangan besar kepada dunia.

 

Dari konteks itu, wabah Covid-19 merupakan kegagalan pemerintah, negara, dan umat manusia untuk mendalami penyadaran: bahwa dunia ini di samping memberikan hal-hal yang sifatnya positif, juga dapat memberikan hal negatif apabila kita gagal menyelami makna sebuah pembaruan.

 

Covid-19 konon bermula dari sebuah pasar di Wuhan, China, yang menurut berita kondisinya kotor di mana berbagai daging mentah, bahkan dari unggas hidup, juga diperdagangkan di tempat tersebut. Ada juga yang mengatakan wabah Covid-19 bermula dari sebuah kegagalan eksperimen laboratorium.

 

Konsepsi Pengerupukan memberi sumbangan pemikiran bahwa Covid-19 adalah kotoran dunia, haruslah ada pengusiran atau pembersihan dalam satu satuan waktu, untuk menjaga agar berbagai penyakit tidak muncul dan menular dari wilayah itu.

 

Dalam konteks penyebaran ke negara-negara luar, suasana ribut dalam hari Pengerupukan dapat diinspirasikan bukan hanya untuk mengusir kekotoran atau kekuatan jahat, melainkan juga sebagai sebuah peringatan atau pesan kepada tetangga bahwa ada kekuatan negatif yang mengancam sehingga negara-negara lain dapat siaga.

 

Bahwa kemudian virus ini menyebar ke mana-mana, menandakan negara yang mengalami korban besar telah gagal menjaga diri terhadap peringatan tersebut.

 

Hari Raya Nyepi bukan hanya sekadar memberikan nuansa kontemplasi kepada umat manusia untuk sadar dengan kekeliruan yang dilakukannya dan kemudian membentuk sumber daya baru berdasarkan penyadaran. Dalam hal wabah Covid-19, juga memberikan contoh nyata dalam tindakan.

 

Dalam praktiknya, Nyepi dilakukan dengan berdiam diri di rumah, tidak melakukan aktivitas dalam kehidupan sosial. Ini merupakan sebuah pembelajaran bagi masyarakat untuk berdisiplin diam di rumah.

 

Jika masyarakat mampu melakukan penyepian, diam di rumah dalam waktu dua minggu saja, wabah Covid-19 akan dapat ditekan.

 

Apa artinya dua minggu jika kemudian keselamatan dan kesehatan manusia dapat dijamin selama puluhan tahun ke depan? Harga saham tidak akan anjlok jika dua minggu kita serempak di bumi ini untuk menahan diri, tidak keluar, dan sudah tentu mempersiapkan segala perbekalan selama dua minggu itu. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1943. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar